Kamis, 26 Maret 2015

Polisi Muda, Perampok Dan Penjual Topeng

“Darimana kau dapat sepeda motor itu?” Tanya Bapak dengan nada menyelidik.
Polisi Muda itu menghentikan kunyahannya. “Bukan urusan Bapak,” sahutnya ketus, sedetik menatap tak senang pada Bapak lalu menggigit roti tawar di tangannya.
“Kau itu baru satu setengah tahun jadi polisi, mana cukup gajimu buat membeli sepeda motor seharga enam puluh jutaan,” Bapak kembali mencecar Polisi Muda. “Bapak tahu, setiap bulan kau masih mengemis uang jajan pada kakekmu karena gaji bulananmu tak cukup buat menyokong gaya hidupmu yang sok kelas atas itu.”
Polisi Muda meletakkan sisa roti tawarnya di atas piring. “Aku dapat motor itu bukan dari hasil gajiku tapi dari usahaku yang lain, puas!”
Bapak mendesah risau. “Nak, kau itu masih muda, minim pengalaman. Hati-hati, kau itu Polisi, jangan gunakan profesimu itu untuk mengambil keuntungan dengan jalan yang tidak benar. Kau itu penegak hukum, jangan malah melanggar hukum. Tahan Nak, tahan nafsumu. Jangan berlagak hidup mewah.”
Polisi Muda menggeram, namun tak buka suara.
Bapak menatap Polisi Muda dengan lembut. “Nak, jadilah polisi jujur seperti Jenderal Hoegeng(1), petinggi polisi di masa lalu yang sanggup bertahan dengan gaya hidup sederhana, bahkan hampir tidak punya apa-apa di saat pensiunnya.”
“Aku hidup zaman serba modern, Pak. Bukan zaman usang seperti zamannya Jenderal yang selalu Bapak bangga-banggakan itu!” sentak Polisi Muda. “Sejak aku jadi polisi, Bapak selalu saja mengulang-ulang kisah usang itu. Aku bosan mendengarnya.”
“Aku wajib menasehatimu karena kau anakku!” suara Bapak meninggi.
Polisi Muda tergelak. “Aku memang anak Bapak, tapi apa pernah Bapak mampu mencukupi kebutuhanku? Pak, sejak SMP sampai sekarang aku jadi Polisi itu semua karena kakek. Tidak ada campur tangan Bapak sedikitpun!”
Bapak menghela nafas. “Itulah sebabnya, kau terbiasa hidup manja di bawah asuhan kakekmu. Tak seperti Abang dan Kakakmu. Keduanya sukses di  bawah didikanku. Keduanya selalu berprestasi baik di sekolah hingga dapat beasiswa ke jenjang kuliah. Abangmu kuliah di Jerman, dapat kerja bagus dan hidup mapan di sana. Kakakmu juga, jadi dokter. Semua itu terjadi karena keduanya mau dan mampu mengikuti pola hidup yang Bapak terapkan yaitu taat beragama, hidup sederhana, kerja keras dan disiplin! Keduanya dapat pekerjaaan dan hidup sukses tanpa menyogok sepeserpun!”
“Seperti aku!” teriak Polisi Muda sambil menggebrak meja.
“Ya, kau itu tidak percaya diri sehingga kau merengek-rengek pada kakekmu agar dia mau menyediakan uang untuk menyogok oknum hingga kau bisa lulus masuk Sekolah Polisi Negara. Beginilah jadinya sekarang. Bagaimana kau bisa jadi polisi lurus kalau untuk masuk ke institusi terhormat itu kau masuki dengan cara tak lurus!”
Polisi Muda mencibir. “Zaman sekarang mana ada orang masuk polisi tanpa menyogok!”
Sontak sorot mata Bapak menyala marah. “Kau merendahkan institusimu sendiri! Kau tidak pantas jadi polisi! Apa kau tidak tahu? Juniormu di Yogyakarta sana masuk polisi tanpa menyogok sepeserpun. Dari mana dia dapat uang buat menyogok, dia tinggal di bekas kandang sapi sejak sebelum jadi polisi. Berangkat ke kantor saja dia harus berjalan kaki sampai berkilo-kilo meter. Tidak seperti kau, naik motor mahal hasil pemberian cukong tukang suap!”
Kali ini Polisi Muda menanggapi perdebatan dengan tertawa merendahkan. “Benar kata kakek, Bapak itu kelewatan jujur, sok suci. Seharusnya Bapak jadi ustadz bukan jadi polisi. Masa, pensiunan Komisaris Besar Polisi tinggal di rumah sempit kayak gini, kemana-mana naik motor butut lagi. Malu aku punya orang tua kayak Bapak,” pungkasnya sambil berdiri dari tempat duduk dan keluar rumah dengan menghempas pintu.
“Anak celaka!” geram Bapak. “Astaghfirullah.”
***
“Aku perampok hebat,” desis pemuda itu kepada pantulan dirinya di dalam cermin. Sejenak ia mematut-matut dirinya  di depan cermin sambil memainkan Type 67 Silenced Pistol di tangannya. “Aku penerus Billy The Kid(2).”
Puas mematut diri, ia melemparkan pistol berperedam suara buatan China itu ke atas kasur, lalu duduk di kursi dekat meja kecil sambil menyeruput kopi. Lagaknya seperti konglomerat kelas dunia. Matanya berputar mengeliling kamar kos tiga kali tiga meter itu. “Suatu saat nanti akan kutinggalkan tempat kumuh ini dan pindah ke apartemen mewah.”
“Aku tidak mau jadi koruptor bodoh seperti papa yang meringkuk di dalam penjara. Tapi walau bagaimanapun bodohnya dia adalah papaku, dan ia pasti bangga kalau tahu anaknya sekarang jadi perampok hebat yang tak terlacak oleh polisi manapun. Hahaha.”
Ia menghirup kopinya lagi. “Puahhh,” ia menyemburkan kopinya. Seketika raut mukanya menampakkan kejijikan. “Negara kurang ajar, seenaknya memiskin keluarga koruptor. Sita sana blokir sini. Sepeserpun tak disisakan!” rutuknya. “Kalian memang mampu membuat keluargaku bangkrut dan hidup sengsara. Mamaku terkena stroke lalu meninggal akibat serangan jantung karena tak mampu menanggung malu dan beban hidup. Adik-adikku harus hidup dengan mengharap belas kasihan orang, menumpang di rumah kerabat. Tapi aku tidak sengsara karena aku kuat, dan sebentar lagi aku akan kembali bisa hidup dalam kemewahan seperti dulu.”
Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Ia membuka pintu lemari dan memandangi isinya―yang sarat muatan dengan ikatan-ikatan uang yang disusun rapi, emas batangan, dan berlian―penuh kegairahan sekaligus takjub akan kehebatan dirinya. Minimal tiga kali dalam sehari ia melongok ke dalam lemari itu. Melihat hasil rampokannya itu bagaikan candu yang harus dihirupnya untuk menyemangati hidupnya sekaligus membuat nafsunya semakin membuncah untuk melakukan aksi-aksi perampokan selanjutnya.
Ia pemain tunggal, selalu melakukan aksinya sendiri. Ia perampok yang ambisius, menyukai tantangan, dan hampir mendekati gila―hanya melakukan perampokan di siang bolong. Aksi pertamanya merampok SPBU, penuh kepanikan sebagai pemula. Ia berhasil menggertak petugas SPBU dengan pistol mainan. Aksinya hampir gagal―ketika ia sudah berhasil menguras uang dan memindahkan ke tasnya―saat hendak kabur sepeda motornya mendadak mogok. Namun ia berhasil kabur setelah merampas sepeda motor pengantre di SPBU.
Aksi selanjutnya semakin matang dan penuh percaya diri karena didukung oleh perencanaan cermat, terukur dan bersenjata pistol sungguhan. Money canger, perusahaan pembiayaan, showroom mobil dan terakhir ia menguras habis isi toko emas dan berlian terbesar di kota itu. Rencana berikutnya sebuah bank yang sudah diamatinya sejak sebulan lalu.
***
“Aku sarjana dengan predikat cum laude, tapi hari ini jadi Penjual Topeng,” batin seorang pemuda ketika bergerak keluar dari halaman rumahnya sambil memikul rak bambu, tempat menyangkutkan puluhan topeng dengan bermacam karakter wajah superhero idola anak-anak bahkan orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Sebenarnya ia enggan berjualan topeng. Tapi tidak bisa menolak ketika ayahnya menyuruhnya berjualan topeng. “Masih ada dua hari tersisa sebelum kau mengikuti tes interview di perusahaan besar itu. Daripada menghabiskan waktu sia-sia di rumah lebih baik kau gantikan Ayah berjualan topeng. Ayah tidak bisa berjualan hari ini, harus datang ke acara akikah anak pamanmu.”
Ayah tersenyum teduh ketika melihat wajah sang anak berubah muram. “Ayah tahu, ini tentu pengalaman pertamamu berjualan topeng. Jangan malu, Nak. Kau itu bisa sekolah dan kuliah hingga jadi sarjana dari hasil Bapak berjualan topeng.” 
Ia tidak terbiasa menolak permintaan Ayah―yang seorang diri merawatnya dari kecil hingga dewasa setelah ibunya meninggal ketika melahirkannya. Ia terlalu hormat dan terlalu sayang kepada Ayah yang tidak menikah lagi setelah ibunya meninggal. Baginya hanya ada empat kata ketika Ayah menyuruhnya melakukan sesuatu yaitu “Aku dengar aku taat”. Lagi pula Ayah tidak pernah menyuruhnya dengan nada memaksa, selalu dengan nada lembut.
Tapi tetap saja pengalaman pertama itu terasa berat baginya. Dari pagi ia berjalan kaki dari rumah ke pasar, ke komplek perumahan, sekolah-sekolah sampai akhirnya ia terduduk lelah siang itu di bawah pohon seberang trotoar, tak satupun topeng jualannya laku terjual. Ia mendesah gelisah, tapi berusaha sabar, dan itu yang diperjuangkannya dari tadi, sabar.
 “Bang, beli topeng.”
Di tengah rasa lelah, haus dan perut yang mulai lapar, ia menduga dirinya sedang berhalusinasi. Ia  tak menghiraukan suara itu.
“Bang, beli topeng.”
Kali ini suara itu begitu jelas di kedua telinganya. Ia mendongak. Seorang pria―tak jelas berapa umurnya, berewokan dan berkumis tebal, rambut gondrong di bawah topi, berjaket kulit cokelat, celana jins hitam, bersepatu kulit koboi, dan menyandang tas ransel besar―sedang mengamati topeng-topeng yang bergelayutan di rak bambunya.
“Ini berapa?” pria itu menunjuk topeng bergambar wajah ultraman.
“Se…sepuluh ribu,” gagapnya, gugup menyambut pembeli pertama hari itu.
“Saya beli dua,” Pria itu mengambil dua topeng dan menyodorkan selembar seratus ribuan.
Kembali Penjual Topeng tergagap. “U…uang pas, Pak. Tak ada kembalian.”
“Tak usah, ambil semuanya, rezeki kau itu,” sahut pria itu datar. Memutar tubuh dan berjalan berderap di atas sepatu koboinya menjauhi Penjual Topeng yang ternganga bingung.
Pria bersepatu koboi itu terus melangkah gagah menuju perempatan jalan. Lampu merah menyala. Ia menyeberang melewati zebra cross, melompat gesit ke trotoar dan lanjut berjalan sambil mengenakan satu topeng ultraman, mengeluarkan kantong plastik hitam dari ransel, memasukkan topeng kedua ke dalamnya. Ia menuju sebuah bank yang dijaga seorang polisi muda bersenjata laras panjang dan seorang satpam setengah baya.
Ketika mendekat telinganya menangkap percakapan kedua petugas keamanan yang duduk di kursi sisi pintu masuk bank.
“Aku ke belakang sebentar, mules nih,” kata satpam sambil bangkit.
Polisi Muda mengangguk. “Jangan lama-lama. Aku juga mulai mules.”
“Beres. Tapi hati-hati. Toko emas dan berlian “Cleopatra” dirampok saat siang seperti ini,” sambung satpam mengingatkan.
Polisi Muda mendengus. “Aku muak, dari kemarin itu saja yang kaubicarakan. Kalau perampok sial itu berani ke sini―” sahutnya seraya mengelus senjata laras panjangnya. “tinggal kokang ini, senjata menyalak, mati itu orang!”
“Mantap,” satpam bergegas berlalu dengan setengah berlari, meninggalkan bunyi pret beruntun.
“Kurang ajar, kau,” sungut Polisi Muda sambil menahan nafas ketika bau angin tak sedap menyinggahi hidungnya.
Pria bersepatu koboi bertopeng ultraman menghampiri Polisi Muda. “Mau beli topeng, Pak?” sapanya sembari mengeluarkan topeng ultraman dari dalam kantong plastik hitam.
Polisi Muda meneliti pria yang menghampirinya. Kesalnya belum surut sehabis diasapi angin busuk, eh sekarang malah ada orang aneh bertopeng yang menawarkan topeng padanya. Ia terlalu geram untuk menyahut. Ia hanya menggelengkan kepala, menegakkan dada, menepuk senjata laras panjangnya dan menatap tajam mengancam ke orang bertopeng di depannya.
“Oh, kalau Bapak tidak suka yang ini, ada satu lagi. Sebentar―” pria bersepatu koboi bertopeng ultraman mencampakkan topeng itu ke lantai lalu memasukkan tangannya ke dalam kantong plastik hitam. “Bapak pasti suka yang ini. Saya pasangkan langsung, ya?” sambungnya sambil mengangkat tangan kanannya yang masih berada di dalam kantong plastik hitam sejajar dengan dada Polisi Muda.
Polisi Muda semakin menggeram marah, tapi hanya sedetik. “Pluphhh,” pistol berperedam suara yang bersembunyi di dalam kantong plastik hitam memuntahkan peluru. Cukup satu peluru untuk membuat Polisi Muda―yang bahkan tak sempat mengokang senjata laras panjangnya, apalagi membuatnya menyalak―tersentak pelan di kursinya, lalu terkulai dengan mata membelalak dan dada tertembus peluru, menghentikan pompaan jantungnya.
Pria bersepatu koboi bertopeng ultraman membuka pintu kaca, memasuki bank yang tak berpengawal. Ia melangkah tenang sambil menenteng pistol―tak memedulikan puluhan pasang mata yang mulai tegang dan dijalari ketakutan―mendekati empat orang kasir yang berjejer di depan peralatan kerjanya. Ia menodongkan pistolnya ketika berdiri di depan salah seorang kasir lalu melemparkan tas ransel besar ke meja kasir. “Pindahkan semua uang yang ada di sini ke dalam tas itu!”
Si kasir―wanita muda dan cantik―menggigil pucat.
“Kalian juga,” desis pria bersepatu koboi bertopeng ultraman kepada tiga kasir lainnya.” Saya beri waktu dua menit dari sekarang!”
Pistol terangkat ke samping. “Pluphhh,” senjata berperedam suara itu menyalak pelan, pelurunya menghantam aquarium besar di sudut ruangan, pecah berantakan menghamburkan isinya. Puluhan pengunjung bank di kursi antrian semakin membeku ketakutan, dan  keempat kasir tak berpikir panjang lagi, berserabutan memasukkan ikatan-ikatan uang ke dalam ransel.
“Pas dua menit, terima kasih,” ucap pria bersepatu koboi bertopeng ultraman sambil menyambar tas penuh uang di meja kasir, lalu memutar badan ke arah pengunjung bank yang sedari tadi tak berani bergerak di tempat melihat aksi perampokan di siang bolong itu. Dua detik ia melambaikan tangan ke arah CCTV di sudut atas ruangan, lalu bergegas menuju pintu, dan keluar tanpa melirik Polisi Muda yang terkulai tak bernyawa di kursi samping pintu.
Ia terus berjalan hingga dua blok dari bank, berbelok ke sebuah gang  sempit. Dua menit kemudian seorang pria―berpakaian lusuh, mengenakan topi lebar kumal, berwajah cemong dan bertelanjang kaki―keluar dari mulut gang dengan memanggul karung berisi penuh uang, sebuah pistol berperedam dan sekotak peluru. “Aku perampok hebat,” batinnya jumawa sambil lanjut melangkah menuju perempatan, lampu merah menyala, ia menyeberang. Ia tersenyum geli melirik Penjual Topeng yang masih duduk termangu―memandangi selembar uang seratus ribu di tangannya―di dekat rak topeng dagangannya di bawah pohon.
Pria berpakaian lusuh masih berjalan di atas trotoar dengan pikiran penuh kekaguman pada dirinya, membuat matanya tak melihat beling hasil pecahan botol pemabuk semalam yang menggeletak di lantai trotoar. “Akh, sialan!” ia mengumpat keras ketika beling tajam itu menusuk telapak kaki telanjangnya. Spontan, tanpa sadar ia melompat ke jalan raya, lalu membungkuk hendak mencabut beling yang tertancap di telapak kakinya. “Teeeeeettttttt,” bunyi klakson panjang mobil yang melaju kencang mendahului sebelum menabrak tubuhnya. Saat bersamaan terjadi hujan uang di jalan raya ketika karung pria berpakaian lusuh itu terlempar ke udara dan memuntahkan isinya.
Dua puluh meter dari tempat kecelakaan, Penjual Topeng ternganga ngeri melihat tubuh pria berpakaian lusuh itu tersangkut di bawah batang pohon di seberang trotoar―kepalanya pecah dengan benak berhamburan, mati.
Penjual Topeng buru-buru bangkit sambil meraih rak dagangannya ketika kepalanya mulai pusing dan rasa mual naik ke tenggorokannya melihat benak berhamburan itu. Ia bergegas berjalan memutar arah, mengabaikan lembaran uang seratus ribunya yang tergeletak di trotoar setelah terlepas dari tangannya karena terkejut menyaksikan kecelakaan maut itu, tidak memedulikan banyak orang yang hiruk-pikuk memperebutkan uang-uang yang berterbangan dan bertaburan di jalan raya, dan tidak menghiraukan raungan sirine mobil polisi yang mendekat.
Sepuluh menit kemudian Penjual Topeng terhenyak di teras sebuah musholla kecil. Tubuhnya lelah, linglung, dan masih bergetar mengingat bayangan buruk kecelakaan maut tadi. Suara kumandang azan zuhur menyadarkannya. Ia bangkit dan menuju tempat berwudhu. Usai sholat berjamaah ia termenung lagi di teras musholla, memikirkan banyak hal. Tanpa sadar sebulir air menetes di sudut matanya, begitu membayangkan hari-hari―selama hampir seusia dirinya―yang dijalani ayahnya sebagai penjual topeng, demi mencukupi kebutuhan hidup mereka berdua dan biaya pendidikannya.
“Kenapa Dik?”
Ia buru-buru menyeka matanya sebelum menoleh ke sumber suara, dan menemukan pria setengah baya berpenampilan rapi sedang duduk di sampingnya sambil mengenakan sepatu kulit hitam mengkilat. Ia hanya tersenyum rikuh, tak punya pilihan kata untuk menjawab sapaan ramah pria itu.
“Ada masalah?” kembali pria berpenampilan rapi itu bertanya.
“Ah, tidak Pak,” ia menyahut dengan suara hampir tercekik, lalu pura-pura membenahi rak topeng dagangannya.
Pria berpenampilan rapi itu tersenyum. “Sudah lama berjualan topeng?”
“Baru hari ini, Pak.”
Pria berpenampilan rapi itu mengernyitkan dahi. “Baru pertama kali?”
“Iya, Pak, menggantikan ayah saya.”
“Sebelum ini apa kegiatannya?”
“Kuliah, Pak. Baru diwisuda sih sebenarnya. Ini juga lagi nunggu waktu tes interview.”
“Kalau boleh tahu, Adik kuliah di mana?”
Penjual Topeng menyebut nama sebuah perguruan tinggi negeri ternama.
Pria berpenampilan rapi itu mengangguk-angguk. “Tes interview-nya di mana?”
Penjual Topeng menyebut nama sebuah perusahaan besar di kota itu.
“Oh,” pria berpenampilan rapi itu tersenyum simpul. “Ini kartu nama saya,” lanjutnya sambil berdiri. “Hubungi saya kalau adik ada keperluan.”
Penjual Topeng menerima kartu itu dan membaca sesaat. Di bagian paling atas kartu tercetak nama sebuah perusahaan besar yang telah diincarnya sejak masih kuliah. Di bagian tengah ada nama seseorang dengan keterangan ‘Direktur Utama’ lengkap dengan nomor teleponnya. Ia tertegun, lalu menoleh ke pria berpenampilan rapi di depannya.
Pria itu tersenyum lagi. “Saya pergi dulu. Jangan lupa datang, tes interview-nya dua hari lagi. Assalammu’alaikum.”
Penjual Topeng terpana sejenak memperhatikan pria berpenampilan rapi yang berjalan menuju mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan depan musholla. “Wa ‘alaikum salam,” sahutnya lirih, pikirannya berusaha meyakinkan dirinya akan peruntungannya di tengah hari itu. Tubuhnya bergetar lagi lalu tersungkur dalam sujud syukur. “Alhamdulillah…Ya Arhamarrahimin...Allahu Akbar.”

Gianyar, 26 Maret 2015


Catatan:
1)   Jenderal Hoegeng Imam Santoso : Salah satu tokoh kepolisian Indonesia yang terkenal dengan kejujuran dan dedikasinya yang tinggi dalam menjalankan tugas sebagai aparat negara. Pernah menjabat sebagai Kapolri ke-5 yang bertugas dari tahun 1968-1971. Wafat pada tanggal 14 Juli 2004 dalam usia 82 tahun.
2)      Billy The Kid : Penjahat legendaris di Amerika Serikat yang ditembak mati pada 14 Juli 1881.

Jumat, 16 Januari 2015

BINTANG REDUP BERSINAR LAGI (Bagian 1)

Sinar matahari memancar pucat saat pagi menjelang siang itu, seperti enggan menunjukkan sinar garangnya. Langit yang mendung perlahan menurunkan rintik-rintik air halus ke bumi. Namun hal itu tidak menurunkan aderanalin dua grup band yang tampil heboh di pelataran sebuah mall di Denpasar. Hari itu adalah launching Denpasar Deluxe Mall. Mall yang melengkapi beberapa buah mall yang sebelumnya sudah bercokol di ibu kota propinsi Bali itu. Pihak mall tahu betul cara berpromosi, mengenalkan diri untuk menarik pengunjung. Selain mengadakan jumbo sale dan discount gila-gilaan, mereka juga mengadakan konser musik di pelataran mall. Dua grup band diundang, yaitu Rapidly Band, grup band terkenal berlabel nasional asal Jakarta, dan satu lagi grup band lokal asal Denpasar yang sedang naik daun dan mampu mencuri perhatian penikmat musik di kota itu, yaitu No Collaps Band.

Dalam konser yang bertajuk Duel Conser itu, kedua grup band silih berganti menunjukkan aksi panggung dan aksi musikal terbaiknya. Sebagai grup band terkenal di Indonesia, Rapidly Band―yang mengusung aliran punk rock―tampil memukau dengan lagu hitsnya ‘Mawar nge-punk’. No Collaps Band tak mau kalah, dengan lagu hitnya ‘Lucky Jomblo’―grup band yang beraliran modern rock dan digawangi empat pelajar SMU itu―mampu membuat antusiasme para penonton bergejolak hebat. Ribuan penikmat konser yang didominasi oleh para remaja tidak menghiraukan udara lembab dan basah akibat tetesan hujan gerimis yang menerpa mereka. Mereka tetap bersemangat berlompat ria sambil mengikuti lirik-lirik lagu yang dinyanyikan secara bergantian oleh kedua grup band itu.

Jam dua belas siang, konser berdurasi sekitar tiga jam itu berakhir. Tapi adrenalin penonton belum surut, sebab satu lagi acara yang paling ditunggu mereka, yaitu acara jumpa fans. Agar teratur panitia membagi acara dalam dua sesi. Sesi pertama giliran Rapidly Band yang diberi kesempatan untuk menjumpai fans-nya lalu memainkan beberapa games berhadiah beberapa buah CD dari album terbaru mereka, plus pembagian tanda tangan. Acara berlangsung tertib.

Kemudian giliran  No Collaps Band yang tampil. Para penonton terutama remaja putri berteriak histeris ketika Iqbal sang gitaris merangkap vokalis, Raka si pembetot bas, Alit si penggebuk drum dan Fahri sang keyboardis, muncul menjumpai fans-nya. Seorang remaja putri berkaos pink dan bercelana jins biru tampak meringsek maju di antara desakan fans―tangan kanannya memegang setangkai bunga mawar merah. Ia terus berlari mendekati Iqbal yang sedang sibuk menebar senyum dan melambaikan tangan. Gadis itu menubruk Iqbal, berusaha memeluknya. Iqbal terkejut, menghindar dengan cara yang halus dan berusaha menguasai diri.

“Bang Iqbal, aku Rani, penggemar berat Abang. Ini bunga buat Abang!” serunya penuh keriangan―di tengah riuhnya suara fans yang lain―sambil menyodorkan setangkai bunga ke tangan Iqbal. Iqbal menyambutnya dengan senyuman namun tak mampu berkata-kata.

“Tolong tanda tangan di sini, Bang. Yang jelas Bang, ya?” pinta Rani sambil menyediakan tempat di baju kaos bagian perutnya, lalu memberikan spidol pada Iqbal.

Dengan sedikit rikuh Iqbal memenuhi permintaan Rani. “Udah,” Iqbal tersenyum ramah.

 “Bang, foto bareng ya?” ajak Rani, segera menyiapkan kamera HP-nya.
Walaupun agak risih Iqbal menurut saja berpose di samping Rani yang merapatkan diri dengannya. Cuma beberapa detik. Selesai.

“Makasih ya, Bang,” ucap Rani dengan keriangan yang belum memudar. Sejenak menatap Iqbal dengan senyum manisnya lalu membalikkan badan, berlalu, menyibak kerumunan orang yang memenuhi tempat itu. Ia mencoba mendekati personil No Collaps Band lainnya, tak berhasil sebab tubuh mungilnya terhalang oleh puluhan manusia lain yang sedang mengerubuti incarannya. Tapi gadis mungil itu tetap berada pada posisinya, berdiri sambil sesekali melompat-lompat ringan sambil mencari celah di antara kerumunan orang.

Iqbal dan teman-temannya mulai kewalahan melayani berbagai macam permintaan para fans. Beberapa orang di antrian paling belakang mulai tidak sabar menunggu giliran, memaksa meringsek maju. Dan entah siapa yang memulai tiba-tiba ada dorongan dari arah belakang. Seketika suasana berubah menjadi tidak terkendali. Ribuan orang yang terdiri dari remaja tanggung itu berserabutan. Iqbal hampir terjatuh ditimpa puluhan orang yang jatuh akibat dorongan dari belakang. Ia berhasil menguasai dirinya. Sejenak hanyut dalam suasana kacau dan panik. Para panitia dan puluhan petugas keamanan bertindak sigap. Segera mengevakuasi para personil No Collaps Band ke tempat yang aman. Tapi suasana tidak membaik malah berubah rusuh. Pekik teriak penuh kepanikan tiba-tiba memenuhi tempat itu. Iqbal yang sedang dituntun oleh seorang petugas keamanan untuk meninggalkan tempat itu sempat melirik ke belakang. Ia tersentak, puluhan bahkan mungkin ratusan remaja terjatuh akibat desakan dan dorongan.

Iqbal tercekat, langkahnya tertahan. Matanya menangkap sosok mungil berbaju kaos pink dengan celana jins biru muda termasuk dalam salah satu orang yang terjatuh itu. Gadis itu terlihat pucat, lemas, tangannya seperti hendak menggapai sesuatu, berusaha berdiri, dan tiba-tiba tubuhnya menghilang di balik tubuh-tubuh jatuh yang menimpa tubuhnya.

“Rani!” teriak Iqbal penuh kecemasan, mencoba membalikkan badan, berniat menolong gadis itu, tapi  gerakannya tertahan, lengannya ditarik begitu kuat oleh seorang petugas keamanan berbadan kekar yang sedari tadi menuntunnya. Ia pasrah membawa tubuhnya bergerak menjauhi tempat kacau itu.

Gadis itu…ugh, keluh batinnya ketika terduduk lemas di atas sofa di ruangan dalam mall yang disediakan panitia. Ia masih shock dengan peristiwa kacau di luar sana. Berkali-kali ia hanya mereguk softdrink tanpa berkata-kata. Teman-temannya―Alit, Raka dan Fahri―juga berlaku sama, merenung bungkam seperti orang baru terjaga dari mimpi buruk.

Seorang pria sekitar tiga puluhan tahun dan berpenampilan rapi mendekati mereka, lalu ikut duduk di sofa. Iqbal segera menegurnya dengan nada suara yang agak bergetar. “Bli Awie. Aku sama teman-teman pulang dulu. Semuanya  Bli aja yang urus. Tolong ya, Bli. Aku masih shock nih.”

Ketiga rekannya tampak mengangguk menyetujui.

Bli Awie tersenyum tipis. “Iya, Bli yang akan mengurus semuanya, itu sudah tanggung jawab Bli. Bli paham apa yang kalian rasakan. Sekarang kalian bisa pulang duluan. Nanti Bli kasi kabar mengenai perkembangan situasi di sini.”

“Tapi kami lewat mana nih, Bli?” tanya Raka, raut wajahnya masih pucat. Ia takut kalau saat mereka keluar dari mall masih ada fans yang mengincar mereka.

“Kalian tak usah kuatir. Kalian naik mobil petugas dulu sampai ke tempat yang aman, setelah itu kalian bisa pindah ke mobil kalian yang sudah dibawa duluan oleh petugas yang lain,” jelas Bli Awie.

Semua personil No Collaps Band berhasil keluar mall dengan selamat dengan menggunakan mobil petugas seperti yang diskenariokan Bli Awie―manajer grup band mereka. Lalu mereka berpindah ke mobil Iqbal yang sudah disiapkan petugas di depan pos polisi di perempatan jalan, sekitar dua ratus meter dari mall.

“Kamu aja yang nyupir, Ra,” suruh Iqbal saat memasuki mobilnya.
“Iya deh,” Raka menuruti.

Dan mobil Nissan Juke itu pun melaju elegan membelah jalan Jenderal Gatot Subroto, Denpasar.

“Kok pada diam sih?” Alit membuka pembicaraan.

Iqbal yang duduk samping Raka yang lagi konsen menyetir menghela nafasnya. “Aku nggak nyangka bakal begini kejadiannya. Sungguh, aku masih shock sama kejadian tadi. Mimpi apa aku semalam. Firasat nggak enak kayaknya juga nggak ada. Uhh,” keluhnya sambil meremas telapak tangannya yang dingin.

“Padahal saat konser berlangsung suasananya enak banget, seru tapi nggak kacau,” Raka menimpali.

“Aku juga nggak ngerti. Kenapa saat acara jumpa fans kekacauan itu muncul,” tambah Fahri. “Mudah-mudahan nggak ada korban karena peristiwa barusan.”

Semua mengamini.

Iqbal tenggelam dalam diamnya. Senyum riang Rani tiba-tiba terlintas dalam imajinasi benaknya. “Rani. Semoga gadis itu selamat. Semoga tak terjadi apa-apa sama dia,” gumam Iqbal dalam hati seraya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang masih terasa dingin.

Setelah mengantar ketiga temannya, Iqbal langsung pulang ke rumahnya, mengemudikan mobilnya dengan perasaan gundah, bayangan rusuh saat acara jumpa fans sehabis konser tadi masih membekas di benaknya. Dan entah kenapa sosok Rani, gadis yang memberinya setangkai bunga mawar beberapa saat sebelum kerusuhan terjadi seakan tak mau hilang dari ingatannya. Senyum riang gadis belia itu…

Tiba-tiba Iqbal menghentikan laju mobilnya. Di sisi jalan, tepat di atas trotroar, seorang gadis berbaju kaos berwarna pink dan mengenakan jins biru muda sedang berjalan di sana, lalu menoleh ke arahnya sambil menampakkan senyum riang.

“Rani,” gumam Iqbal. Segera ia turun dari mobilnya, melangkah mendekati gadis itu. “Rani, sedang apa di sini?” tanyanya begitu berada di sisi gadis itu. Ia lega melihat gadis itu dalam keadaan baik-baik saja.

“Rani???” Gadis itu malah diam sejenak seperti orang bingung, namun segera menampakkan senyum manis. “Maaf, saya Citra bukan Rani.”

Iqbal tersentak. “Astaghfirullah,” refleks menggosok-gosok kedua matanya. “Maaf, saya… kira kamu… Rani. Maaf, ya?” ujarnya gelagapan begitu penglihatan sadarnya melihat bahwa gadis itu ternyata bukan Rani.

Gadis itu menatapnya agak dalam. Mengamati. Dan lagi-lagi dengan cepat raut wajahnya berubah cerah. “Kamu Iqbal Syarif, kan? Personil No Collaps Band!”

Iqbal mencoba tersenyum, gagal karena mimik wajahnya masih tampak resah. “Ya, saya… Iqbal. Maaf, udah ganggu kamu. Saya permisi dulu,” ujarnya sambil membalikkan badan.

“Tunggu!” Citra menahan langkah Iqbal. “Wah, kebetulan saya ketemu kamu di sini. Sebenarnya tadi saya mau nonton konser grup band kamu sama grup band dari Jakarta itu, tapi karena hujan gerimis saya nggak jadi ke sana. Konsernya pasti seru ya?” ujarnya dengan mata yang berbinar.
Iqbal tidak berminat menanggapi perkataan Citra. Ia larut dalam diam sesaatnya.

“Iqbal? Halo?” tegur Citra sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Iqbal yang tampak seperti berada di dunia lain.

“He, eh…” Iqbal tersentak.

“Kamu kenapa?” Citra menangkap keanehan dari ekspresi yang ditunjukkan Iqbal.

“Oh, nggak apa-apa. Saya permisi dulu.”
“Tapi saya minta foto kamu dulu, ya?” pinta Citra seraya mengambil HP dari dalam tas kecilnya. “Mmm, foto bareng aja.”

Iqbal menurut, memaksakan diri tersenyum lagi. Sesaat mereka berpose. Setelah berfoto bareng dengan Iqbal, dan mengambil beberapa foto tunggal Iqbal, Citra pamit dan melanjutkan lagi perjalanannya, begitu juga Iqbal.

***

Iqbal menghentikan mobilnya di depan gerbang sebuah rumah mewah style Bali berlantai dua. Pintu gerbang otomatis terbuka, seorang pria berseragam ala security berwarna biru tua tampak berdiri di sisi pos jaga yang terletak di sebelah dalam pekarangan. “Silahkan masuk Bang Iqbal,” ucapnya penuh hormat.

Iqbal mendesah. Walaupun Ia sudah berulang kali melarang, I Wayan Puger―pria sekitar empat puluh tahun itu―selalu menambahkan sebutan ‘bang’ di depan namanya.

“Makasih Pak Puger,” balas Iqbal, segera menjalankan mobilnya memasuki halaman rumah.

Begitu keluar dari mobil Iqbal menghampiri Pak Puger di Posnya. “Papa sama Mama ada di rumah, Pak Puger?”

“Bapak sudah keluar sejak Bang Iqbal pergi tadi pagi. Ibu juga menyusul pergi sejam jam yang lalu,” Jelas Pak Puger.

“Fiuhhh,” Iqbal menghembuskan nafasnya. Ini kan hari minggu, hari libur. Kok pada keluar juga sih. Huh, Papa dan Mama sama aja. Nggak bisa membedakan hari kerja dengan hari libur. Payah, sibuk melulu. Mana bisa menikmati hidup? Batinnya geram.

“Kenapa Bang Iqbal?” tanya Pak Puger heran melihat anak majikannya itu merenung dengan raut muka gusar.

“Nggak apa-apa, Pak Puger. Saya ke dalam dulu.”
 “Ya, silahkan.”

Dengan langkah gontai Iqbal melangkah menuju pintu rumahnya.

***

Malam itu Iqbal duduk santai di atas ranjangnya, mencoba menghilangkan bayang-bayang kerusuhan tadi siang dengan bersenandung kecil sambil memetik senar gitar kesayangannya, dan sejauh ini cukup berhasil. Tenggelam dalam keasyikan bernyanyi dan bermain gitar sedikit menenangkannya dan membuat bayang-bayang yang tidak menyenangkan itu berangsur-angsur meninggalkan benaknya.

“Mama egois!”

Ada apalagi ini? spontan Iqbal menghentikan permainan gitarnya. Turun dari ranjang, berjalan berjingkat menuju pintu kamarnya, keluar dan melihat ke bawah, lantai satu. Tampak papa dan mamanya sedang beradu argumen dengan sengit. Dengan cepat kegeraman menguasainya, dadanya bergemuruh, dan tangannya terkepal erat.

“Seharusnya Mama selalu ada di rumah, mengurusi segala sesuatu urusan rumah tangga, bukannya malah sibuk berbisnis di luar rumah. Cari uang itu tugas Papa. Sampai saat ini Papa masih mampu memenuhi semua kebutuhan penghuni rumah ini!”

“Ya, Mama juga tau kalau cari uang itu emang tugas Papa sebagai kepala rumah tangga. Tapi bukan berarti itu sebuah alasan yang tepat untuk mengekang Mama untuk terus berada di dalam rumah. Mama bosan di rumah terus.”

“Masa di rumah sendiri bosan. Aneh!”

“Apa maksud Papa apa ngatain Mama aneh, gila gitu ya? Heh Pa, Papa jangan asal ngomong, ya? Jangan seenaknya! Ingat, selama ini Mama tidak pernah bergantung sama  Papa. Modal butik yang Mama kelola semuanya berasal dari Mama sendiri, warisan orang tua Mama.”

“Itu saja yang selalu kamu banggakan. Dasar kampungan!”

“Papa tuh yang kampungan. Sok hebat, sok ngatur!”

“Papa ini suami Mama dan memang berhak mengatur semua orang yang ada di rumah ini. Kalau ada yang tak mau diatur, yaah…silahkan keluar dari rumah ini.”

“Papa emang keterlaluan. Baik, Mama juga bosan berantem terus, buang-buang energi. Ceraikan Mama! Heh, dengar nggak?”

Sesaat Papa malah terkekeh remeh namun wajahnya segera menegang ketika Mama menjerit lagi.

“Saya serius, saya minta cerai!”

Wajah Papa semakin menegang, tapi kemudian tersenyum sinis. “Sudah siap jadi janda rupanya. Baik, saya turuti. Saya akan ceraikan kamu secepatnya. Saya juga nggak mau lagi punya istri pembangkang seperti kamu.”

“Dan saya juga nggak mau lagi punya suami yang arogan, sok berkuasa seperti kamu. Nggak usah pakai kata-kata ‘secepatnya’. Tegaskan, jatuhkan talak tiga sekarang juga. Dan besok kita ajukan gugatan cerai ke KUA!”
“Oke, siapa takut!

Tubuh Iqbal melemas, melorot, dan menelentang kuyu di atas lantai keramik yang keras dan dingin. Kepalanya memberat seperti dihimpit batu besar, dadanya sesak menyempit. Muak menelentang, ia bangkit, dan berdiri di ambang pintu kamar dengan rasa geram, marah dan kecewa menjadi satu. “Kalian berdua sama-sama egois!!!” ia berteriak sekuat-kuatnya sampai tenggorokannya terasa tercekik, lalu masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.

Iqbal menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Hatinya hancur. Pertengkaran malam ini antara papa dan mamanya adalah untuk yang kesekian kalinya, dan malam ini adalah pertengkaran terhebat. Masih membekas di benaknya, lima tahun lalu saat ia masih SMP, kebahagian dan ketenangan masih dinikmatinya di rumah itu. Mama senantiasa berada di rumah, mengurusi segala sesuatunya dengan penuh dedikasi dan kasih sayang sebagai ibu rumah tangga yang baik. Papanya pemilik sebuah Showroom mobil, adalah sosok kepala rumah tangga yang bijaksana dan bertanggung jawab, masih sering menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, setidaknya mereka masih bisa berkumpul saat makan malam. Itu adalah saat-saat bahagia dan menyenangkan dalam hidup Iqbal. Walaupun ada beberapa letupan kecil tapi tak pernah memuncak menjadi sebuah pertengkaran menakutkan di rumah itu.

Tapi semuanya perlahan berubah ketika usaha Papa maju pesat. Papa kemudian membuka cabang usaha di luar kota Denpasar, yaitu di Gianyar dan Singaraja. Papa semakin sibuk, dan jarang berada di rumah, pergi pagi dan pulang hingga hampir larut malam. Mama mulai uring-uringan. Puncaknya, saat kakeknya―ayah Mama yang tinggal di Riau―meninggal dunia dan mewariskan semua harta peninggalannya kepada Mama sebagai anak tunggal. Mama kemudian membuka butik. Tak cukup sampai di situ, bahkan Mama menambah kesibukannya dengan menjalankan bisnis permata. Konflik-konflik mulai bermunculan. Pertengkaran selalu mewarnai kehidupan di rumah itu.

Dan Iqbal semakin kesepian, merasa terasing di rumah sendiri ketika empat tahun lalu, Ikhsan, abangnya―saudara satu-satunya―melanjutkan pendidikan di Hannover, Jerman. Untunglah bakatnya bermain musik sedikit membantunya mengusir rasa sepinya.

Tiga bulan yang lalu Ikhsan sudah kembali ke Denpasar karena sudah menyelesaikan pendidikannya di Jerman. Iqbal senang sekali dan berharap abangnya itu bisa meredakan ketegangan di antara kedua orang tua mereka. Namun harapan Iqbal pupus karena Ikhsan tetap tak berdaya mendamaikan perselisihan kedua orang tua mereka yang semakin meruncing. Dan Iqbal semakin merasa tidak mempunyai tempat mengadu atau sekadar mencurahkan kegelisahannya ketika Ikhsan memutuskan untuk menerima tawaran seniornya sewaktu masih kuliah di Jerman, untuk bekerja di perusahaan pertambangan minyak di Brunei Darussalam. Baru seminggu yang lalu Ikhsan berangkat ke Brunei. Sebelum berangkat abangnya itu cuma berpesan, “Beberapa bulan lagi kamu akan tamat SMU. Kalau kamu jadi meneruskan kuliah di Jerman, nanti biar Abang hubungi teman Abang di sana untuk mengurus segala keperluanmu. Kamu jangan kuatir, kamu standby aja. Atau kamu mau ikut Abang aja ke Brunei, kuliah di sana aja, mau?”

“Lihat ntar aja, Bang,” jawab Iqbal lesu waktu itu.

Dulu, sejak abangnya kuliah di Jerman, Iqbal sangat antusias sekali untuk mengikuti jejak abangnya itu. Tapi saat ini keinginan itu seperti terkikis habis. Saat ini di benaknya hanya dipenuhi oleh bayangan-bayangan konflik antara papa dan mamanya. Bayang-bayang bahwa papa dan mamanya bakal bercerai selalu menghantuinya, membuat asanya dalam menatap masa depan jadi kosong tanpa minat dan tujuan yang jelas.

“Huaaah,” Iqbal menguap. Kantuk menyerangnya akibat lelah fisik dan lelah batin. Semenit kemudian tubuhnya sudah terkulai sambil memeluk gitar.

* * *

 “Bang Iqbal,” sapaan lembut itu menyambangi telinga Iqbal yang sedang duduk di taman belakang rumahnya.

Iqbal memindahkan pandangan ke arah suara, dan dalam keremangan malam ia melihat ada gadis manis berpakaian serba putih berdiri di sisi taman. Suasana tak biasa segera menyelimutinya. Ia mempertajam pandangannya dan bisa mengenali gadis itu. “Rani? Bagaimana kamu bisa ada di sini? Kamu kok tau rumah saya?”

“Ya, tau lah. Masa ya tau dong,” gadis remaja tanggung berparas manis itu tertawa renyah. Sebelah tangannya berada di balik punggungnya, seperti menyembunyikan sesuatu. Sejenak gadis itu tersenyum dalam diam. Bibir merahnya yang mungil sedikit bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Wajahnya mulai bersemu merah. “Bang Iqbal, Rani mau ngasih sesuatu buat Abang.

  “Tapi Bang Iqbal tebak dulu, apa yang mau Rani kasih ke Abang,” lanjut Rani dengan senyum manis yang masih belum memudar.

Iqbal mengerutkan keningnya. “Mengapa harus begitu?”

“Pokoknya Abang tebak dulu deh. Please...” harap Rani dengan nada manja.

“Oke deh. Mmm… kayaknya kamu bakal ngasih aku coklat. Ngngng… atau mungkin juga sebuah buku, CD…”

“Ayo, Bang Iqbal. Nebaknya yang benar dong,” desak Rani sambil tertawa-tawa kecil.

Iqbal menggaruk-garuk kepalanya. “Yaaah, aku nyerah deh. Terserah kamu mau ngasih aku apa aja, aku terima.”

“Aaa… kok nyerah sih,” protes Rani pura-pura cemberut. Tapi hanya beberapa detik, lalu senyum manisnya mengembang lagi. “Um, nggak apa-apa deh.” Tiba-tiba Rani menarik tangannya dari balik punggungnya. “Tarraaa… nih buat Abang!” serunya riang seraya menyodorkan setangkai bunga mawar merah kepada Iqbal.

Spontan Iqbal berucap. “Kok bunga mawar lagi? Tadi siang kan udah.”

Iqbal menyesali ucapannya ketika melihat keriangan Rani langsung menguap, wajah imut gadis itu berubah sendu. “Abang nggak suka ya sama bunga ini. Padahal bunga ini Rani petik dari taman di rumah. Rani sendiri yang menanam dan merawatnya.”

Iqbal buru-buru tersenyum dan segera mengambil bunga itu dari tangan Rani. Mencium kelopaknya sesaat. “Hmm, harum. Aku suka kok bunga ini. Indah ya? Kamu pasti merawatnya dengan baik,” Pujinya mencoba membesarkan hati gadis di depannya.

Senyum Rani kembali mengembang. “Syukur deh kalo Abang suka. Rani senang banget,” namun setelah berucap kembali wajah manis itu beraut mendung. “Tapi, itu bunga terakhir yang bisa Rani berikan buat Abang.”

“Bunga terakhir? Maksud kamu?” heran Iqbal.

“Ya, itu bunga terakhir Rani untuk Abang. Soalnya Rani mau pergi jauh, jauuuh banget,” bibir gadis itu bergetar. “Rani pergi dulu, Bang. Doain Rani, ya Bang, biar masuk surga,” tiba-tiba gadis itu membalikkan badannya, berlari ke arah gerbang belakang.

Iqbal melongo sesaat. “Rani tunggu!”

Rani terus saja berlari hingga tubuh mungilnya menghilang di balik gerbang.
Iqbal mengejarnya hingga ke mulut gerbang, tapi sial bajunya seperti tersangkut sesuatu di sisi gerbang. Ia terjatuh bergulingan di rerumputan basah. Pandangannya gelap.

“Ah, cuma mimpi,” desahnya lirih ketika membuka mata dan menemukan dirinya terbaring di atas ranjang di kamarnya, bermandikan keringat. Matanya melirik jam dinding. “Jam setengah empat, hampir subuh,” gumamnya lagi. “Rani…”

***
Bersambung ke bagian 2

Tulisan-tulisan Firman Al Karimi lainnya bisa dibaca di:
www.kompasiana.com/firman.alkarimi