Jumat, 16 Januari 2015

BINTANG REDUP BERSINAR LAGI (Bagian 1)

Sinar matahari memancar pucat saat pagi menjelang siang itu, seperti enggan menunjukkan sinar garangnya. Langit yang mendung perlahan menurunkan rintik-rintik air halus ke bumi. Namun hal itu tidak menurunkan aderanalin dua grup band yang tampil heboh di pelataran sebuah mall di Denpasar. Hari itu adalah launching Denpasar Deluxe Mall. Mall yang melengkapi beberapa buah mall yang sebelumnya sudah bercokol di ibu kota propinsi Bali itu. Pihak mall tahu betul cara berpromosi, mengenalkan diri untuk menarik pengunjung. Selain mengadakan jumbo sale dan discount gila-gilaan, mereka juga mengadakan konser musik di pelataran mall. Dua grup band diundang, yaitu Rapidly Band, grup band terkenal berlabel nasional asal Jakarta, dan satu lagi grup band lokal asal Denpasar yang sedang naik daun dan mampu mencuri perhatian penikmat musik di kota itu, yaitu No Collaps Band.

Dalam konser yang bertajuk Duel Conser itu, kedua grup band silih berganti menunjukkan aksi panggung dan aksi musikal terbaiknya. Sebagai grup band terkenal di Indonesia, Rapidly Band―yang mengusung aliran punk rock―tampil memukau dengan lagu hitsnya ‘Mawar nge-punk’. No Collaps Band tak mau kalah, dengan lagu hitnya ‘Lucky Jomblo’―grup band yang beraliran modern rock dan digawangi empat pelajar SMU itu―mampu membuat antusiasme para penonton bergejolak hebat. Ribuan penikmat konser yang didominasi oleh para remaja tidak menghiraukan udara lembab dan basah akibat tetesan hujan gerimis yang menerpa mereka. Mereka tetap bersemangat berlompat ria sambil mengikuti lirik-lirik lagu yang dinyanyikan secara bergantian oleh kedua grup band itu.

Jam dua belas siang, konser berdurasi sekitar tiga jam itu berakhir. Tapi adrenalin penonton belum surut, sebab satu lagi acara yang paling ditunggu mereka, yaitu acara jumpa fans. Agar teratur panitia membagi acara dalam dua sesi. Sesi pertama giliran Rapidly Band yang diberi kesempatan untuk menjumpai fans-nya lalu memainkan beberapa games berhadiah beberapa buah CD dari album terbaru mereka, plus pembagian tanda tangan. Acara berlangsung tertib.

Kemudian giliran  No Collaps Band yang tampil. Para penonton terutama remaja putri berteriak histeris ketika Iqbal sang gitaris merangkap vokalis, Raka si pembetot bas, Alit si penggebuk drum dan Fahri sang keyboardis, muncul menjumpai fans-nya. Seorang remaja putri berkaos pink dan bercelana jins biru tampak meringsek maju di antara desakan fans―tangan kanannya memegang setangkai bunga mawar merah. Ia terus berlari mendekati Iqbal yang sedang sibuk menebar senyum dan melambaikan tangan. Gadis itu menubruk Iqbal, berusaha memeluknya. Iqbal terkejut, menghindar dengan cara yang halus dan berusaha menguasai diri.

“Bang Iqbal, aku Rani, penggemar berat Abang. Ini bunga buat Abang!” serunya penuh keriangan―di tengah riuhnya suara fans yang lain―sambil menyodorkan setangkai bunga ke tangan Iqbal. Iqbal menyambutnya dengan senyuman namun tak mampu berkata-kata.

“Tolong tanda tangan di sini, Bang. Yang jelas Bang, ya?” pinta Rani sambil menyediakan tempat di baju kaos bagian perutnya, lalu memberikan spidol pada Iqbal.

Dengan sedikit rikuh Iqbal memenuhi permintaan Rani. “Udah,” Iqbal tersenyum ramah.

 “Bang, foto bareng ya?” ajak Rani, segera menyiapkan kamera HP-nya.
Walaupun agak risih Iqbal menurut saja berpose di samping Rani yang merapatkan diri dengannya. Cuma beberapa detik. Selesai.

“Makasih ya, Bang,” ucap Rani dengan keriangan yang belum memudar. Sejenak menatap Iqbal dengan senyum manisnya lalu membalikkan badan, berlalu, menyibak kerumunan orang yang memenuhi tempat itu. Ia mencoba mendekati personil No Collaps Band lainnya, tak berhasil sebab tubuh mungilnya terhalang oleh puluhan manusia lain yang sedang mengerubuti incarannya. Tapi gadis mungil itu tetap berada pada posisinya, berdiri sambil sesekali melompat-lompat ringan sambil mencari celah di antara kerumunan orang.

Iqbal dan teman-temannya mulai kewalahan melayani berbagai macam permintaan para fans. Beberapa orang di antrian paling belakang mulai tidak sabar menunggu giliran, memaksa meringsek maju. Dan entah siapa yang memulai tiba-tiba ada dorongan dari arah belakang. Seketika suasana berubah menjadi tidak terkendali. Ribuan orang yang terdiri dari remaja tanggung itu berserabutan. Iqbal hampir terjatuh ditimpa puluhan orang yang jatuh akibat dorongan dari belakang. Ia berhasil menguasai dirinya. Sejenak hanyut dalam suasana kacau dan panik. Para panitia dan puluhan petugas keamanan bertindak sigap. Segera mengevakuasi para personil No Collaps Band ke tempat yang aman. Tapi suasana tidak membaik malah berubah rusuh. Pekik teriak penuh kepanikan tiba-tiba memenuhi tempat itu. Iqbal yang sedang dituntun oleh seorang petugas keamanan untuk meninggalkan tempat itu sempat melirik ke belakang. Ia tersentak, puluhan bahkan mungkin ratusan remaja terjatuh akibat desakan dan dorongan.

Iqbal tercekat, langkahnya tertahan. Matanya menangkap sosok mungil berbaju kaos pink dengan celana jins biru muda termasuk dalam salah satu orang yang terjatuh itu. Gadis itu terlihat pucat, lemas, tangannya seperti hendak menggapai sesuatu, berusaha berdiri, dan tiba-tiba tubuhnya menghilang di balik tubuh-tubuh jatuh yang menimpa tubuhnya.

“Rani!” teriak Iqbal penuh kecemasan, mencoba membalikkan badan, berniat menolong gadis itu, tapi  gerakannya tertahan, lengannya ditarik begitu kuat oleh seorang petugas keamanan berbadan kekar yang sedari tadi menuntunnya. Ia pasrah membawa tubuhnya bergerak menjauhi tempat kacau itu.

Gadis itu…ugh, keluh batinnya ketika terduduk lemas di atas sofa di ruangan dalam mall yang disediakan panitia. Ia masih shock dengan peristiwa kacau di luar sana. Berkali-kali ia hanya mereguk softdrink tanpa berkata-kata. Teman-temannya―Alit, Raka dan Fahri―juga berlaku sama, merenung bungkam seperti orang baru terjaga dari mimpi buruk.

Seorang pria sekitar tiga puluhan tahun dan berpenampilan rapi mendekati mereka, lalu ikut duduk di sofa. Iqbal segera menegurnya dengan nada suara yang agak bergetar. “Bli Awie. Aku sama teman-teman pulang dulu. Semuanya  Bli aja yang urus. Tolong ya, Bli. Aku masih shock nih.”

Ketiga rekannya tampak mengangguk menyetujui.

Bli Awie tersenyum tipis. “Iya, Bli yang akan mengurus semuanya, itu sudah tanggung jawab Bli. Bli paham apa yang kalian rasakan. Sekarang kalian bisa pulang duluan. Nanti Bli kasi kabar mengenai perkembangan situasi di sini.”

“Tapi kami lewat mana nih, Bli?” tanya Raka, raut wajahnya masih pucat. Ia takut kalau saat mereka keluar dari mall masih ada fans yang mengincar mereka.

“Kalian tak usah kuatir. Kalian naik mobil petugas dulu sampai ke tempat yang aman, setelah itu kalian bisa pindah ke mobil kalian yang sudah dibawa duluan oleh petugas yang lain,” jelas Bli Awie.

Semua personil No Collaps Band berhasil keluar mall dengan selamat dengan menggunakan mobil petugas seperti yang diskenariokan Bli Awie―manajer grup band mereka. Lalu mereka berpindah ke mobil Iqbal yang sudah disiapkan petugas di depan pos polisi di perempatan jalan, sekitar dua ratus meter dari mall.

“Kamu aja yang nyupir, Ra,” suruh Iqbal saat memasuki mobilnya.
“Iya deh,” Raka menuruti.

Dan mobil Nissan Juke itu pun melaju elegan membelah jalan Jenderal Gatot Subroto, Denpasar.

“Kok pada diam sih?” Alit membuka pembicaraan.

Iqbal yang duduk samping Raka yang lagi konsen menyetir menghela nafasnya. “Aku nggak nyangka bakal begini kejadiannya. Sungguh, aku masih shock sama kejadian tadi. Mimpi apa aku semalam. Firasat nggak enak kayaknya juga nggak ada. Uhh,” keluhnya sambil meremas telapak tangannya yang dingin.

“Padahal saat konser berlangsung suasananya enak banget, seru tapi nggak kacau,” Raka menimpali.

“Aku juga nggak ngerti. Kenapa saat acara jumpa fans kekacauan itu muncul,” tambah Fahri. “Mudah-mudahan nggak ada korban karena peristiwa barusan.”

Semua mengamini.

Iqbal tenggelam dalam diamnya. Senyum riang Rani tiba-tiba terlintas dalam imajinasi benaknya. “Rani. Semoga gadis itu selamat. Semoga tak terjadi apa-apa sama dia,” gumam Iqbal dalam hati seraya menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang masih terasa dingin.

Setelah mengantar ketiga temannya, Iqbal langsung pulang ke rumahnya, mengemudikan mobilnya dengan perasaan gundah, bayangan rusuh saat acara jumpa fans sehabis konser tadi masih membekas di benaknya. Dan entah kenapa sosok Rani, gadis yang memberinya setangkai bunga mawar beberapa saat sebelum kerusuhan terjadi seakan tak mau hilang dari ingatannya. Senyum riang gadis belia itu…

Tiba-tiba Iqbal menghentikan laju mobilnya. Di sisi jalan, tepat di atas trotroar, seorang gadis berbaju kaos berwarna pink dan mengenakan jins biru muda sedang berjalan di sana, lalu menoleh ke arahnya sambil menampakkan senyum riang.

“Rani,” gumam Iqbal. Segera ia turun dari mobilnya, melangkah mendekati gadis itu. “Rani, sedang apa di sini?” tanyanya begitu berada di sisi gadis itu. Ia lega melihat gadis itu dalam keadaan baik-baik saja.

“Rani???” Gadis itu malah diam sejenak seperti orang bingung, namun segera menampakkan senyum manis. “Maaf, saya Citra bukan Rani.”

Iqbal tersentak. “Astaghfirullah,” refleks menggosok-gosok kedua matanya. “Maaf, saya… kira kamu… Rani. Maaf, ya?” ujarnya gelagapan begitu penglihatan sadarnya melihat bahwa gadis itu ternyata bukan Rani.

Gadis itu menatapnya agak dalam. Mengamati. Dan lagi-lagi dengan cepat raut wajahnya berubah cerah. “Kamu Iqbal Syarif, kan? Personil No Collaps Band!”

Iqbal mencoba tersenyum, gagal karena mimik wajahnya masih tampak resah. “Ya, saya… Iqbal. Maaf, udah ganggu kamu. Saya permisi dulu,” ujarnya sambil membalikkan badan.

“Tunggu!” Citra menahan langkah Iqbal. “Wah, kebetulan saya ketemu kamu di sini. Sebenarnya tadi saya mau nonton konser grup band kamu sama grup band dari Jakarta itu, tapi karena hujan gerimis saya nggak jadi ke sana. Konsernya pasti seru ya?” ujarnya dengan mata yang berbinar.
Iqbal tidak berminat menanggapi perkataan Citra. Ia larut dalam diam sesaatnya.

“Iqbal? Halo?” tegur Citra sambil menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Iqbal yang tampak seperti berada di dunia lain.

“He, eh…” Iqbal tersentak.

“Kamu kenapa?” Citra menangkap keanehan dari ekspresi yang ditunjukkan Iqbal.

“Oh, nggak apa-apa. Saya permisi dulu.”
“Tapi saya minta foto kamu dulu, ya?” pinta Citra seraya mengambil HP dari dalam tas kecilnya. “Mmm, foto bareng aja.”

Iqbal menurut, memaksakan diri tersenyum lagi. Sesaat mereka berpose. Setelah berfoto bareng dengan Iqbal, dan mengambil beberapa foto tunggal Iqbal, Citra pamit dan melanjutkan lagi perjalanannya, begitu juga Iqbal.

***

Iqbal menghentikan mobilnya di depan gerbang sebuah rumah mewah style Bali berlantai dua. Pintu gerbang otomatis terbuka, seorang pria berseragam ala security berwarna biru tua tampak berdiri di sisi pos jaga yang terletak di sebelah dalam pekarangan. “Silahkan masuk Bang Iqbal,” ucapnya penuh hormat.

Iqbal mendesah. Walaupun Ia sudah berulang kali melarang, I Wayan Puger―pria sekitar empat puluh tahun itu―selalu menambahkan sebutan ‘bang’ di depan namanya.

“Makasih Pak Puger,” balas Iqbal, segera menjalankan mobilnya memasuki halaman rumah.

Begitu keluar dari mobil Iqbal menghampiri Pak Puger di Posnya. “Papa sama Mama ada di rumah, Pak Puger?”

“Bapak sudah keluar sejak Bang Iqbal pergi tadi pagi. Ibu juga menyusul pergi sejam jam yang lalu,” Jelas Pak Puger.

“Fiuhhh,” Iqbal menghembuskan nafasnya. Ini kan hari minggu, hari libur. Kok pada keluar juga sih. Huh, Papa dan Mama sama aja. Nggak bisa membedakan hari kerja dengan hari libur. Payah, sibuk melulu. Mana bisa menikmati hidup? Batinnya geram.

“Kenapa Bang Iqbal?” tanya Pak Puger heran melihat anak majikannya itu merenung dengan raut muka gusar.

“Nggak apa-apa, Pak Puger. Saya ke dalam dulu.”
 “Ya, silahkan.”

Dengan langkah gontai Iqbal melangkah menuju pintu rumahnya.

***

Malam itu Iqbal duduk santai di atas ranjangnya, mencoba menghilangkan bayang-bayang kerusuhan tadi siang dengan bersenandung kecil sambil memetik senar gitar kesayangannya, dan sejauh ini cukup berhasil. Tenggelam dalam keasyikan bernyanyi dan bermain gitar sedikit menenangkannya dan membuat bayang-bayang yang tidak menyenangkan itu berangsur-angsur meninggalkan benaknya.

“Mama egois!”

Ada apalagi ini? spontan Iqbal menghentikan permainan gitarnya. Turun dari ranjang, berjalan berjingkat menuju pintu kamarnya, keluar dan melihat ke bawah, lantai satu. Tampak papa dan mamanya sedang beradu argumen dengan sengit. Dengan cepat kegeraman menguasainya, dadanya bergemuruh, dan tangannya terkepal erat.

“Seharusnya Mama selalu ada di rumah, mengurusi segala sesuatu urusan rumah tangga, bukannya malah sibuk berbisnis di luar rumah. Cari uang itu tugas Papa. Sampai saat ini Papa masih mampu memenuhi semua kebutuhan penghuni rumah ini!”

“Ya, Mama juga tau kalau cari uang itu emang tugas Papa sebagai kepala rumah tangga. Tapi bukan berarti itu sebuah alasan yang tepat untuk mengekang Mama untuk terus berada di dalam rumah. Mama bosan di rumah terus.”

“Masa di rumah sendiri bosan. Aneh!”

“Apa maksud Papa apa ngatain Mama aneh, gila gitu ya? Heh Pa, Papa jangan asal ngomong, ya? Jangan seenaknya! Ingat, selama ini Mama tidak pernah bergantung sama  Papa. Modal butik yang Mama kelola semuanya berasal dari Mama sendiri, warisan orang tua Mama.”

“Itu saja yang selalu kamu banggakan. Dasar kampungan!”

“Papa tuh yang kampungan. Sok hebat, sok ngatur!”

“Papa ini suami Mama dan memang berhak mengatur semua orang yang ada di rumah ini. Kalau ada yang tak mau diatur, yaah…silahkan keluar dari rumah ini.”

“Papa emang keterlaluan. Baik, Mama juga bosan berantem terus, buang-buang energi. Ceraikan Mama! Heh, dengar nggak?”

Sesaat Papa malah terkekeh remeh namun wajahnya segera menegang ketika Mama menjerit lagi.

“Saya serius, saya minta cerai!”

Wajah Papa semakin menegang, tapi kemudian tersenyum sinis. “Sudah siap jadi janda rupanya. Baik, saya turuti. Saya akan ceraikan kamu secepatnya. Saya juga nggak mau lagi punya istri pembangkang seperti kamu.”

“Dan saya juga nggak mau lagi punya suami yang arogan, sok berkuasa seperti kamu. Nggak usah pakai kata-kata ‘secepatnya’. Tegaskan, jatuhkan talak tiga sekarang juga. Dan besok kita ajukan gugatan cerai ke KUA!”
“Oke, siapa takut!

Tubuh Iqbal melemas, melorot, dan menelentang kuyu di atas lantai keramik yang keras dan dingin. Kepalanya memberat seperti dihimpit batu besar, dadanya sesak menyempit. Muak menelentang, ia bangkit, dan berdiri di ambang pintu kamar dengan rasa geram, marah dan kecewa menjadi satu. “Kalian berdua sama-sama egois!!!” ia berteriak sekuat-kuatnya sampai tenggorokannya terasa tercekik, lalu masuk ke kamarnya dengan membanting pintu.

Iqbal menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Hatinya hancur. Pertengkaran malam ini antara papa dan mamanya adalah untuk yang kesekian kalinya, dan malam ini adalah pertengkaran terhebat. Masih membekas di benaknya, lima tahun lalu saat ia masih SMP, kebahagian dan ketenangan masih dinikmatinya di rumah itu. Mama senantiasa berada di rumah, mengurusi segala sesuatunya dengan penuh dedikasi dan kasih sayang sebagai ibu rumah tangga yang baik. Papanya pemilik sebuah Showroom mobil, adalah sosok kepala rumah tangga yang bijaksana dan bertanggung jawab, masih sering menyempatkan waktu untuk berkumpul bersama keluarga di rumah, setidaknya mereka masih bisa berkumpul saat makan malam. Itu adalah saat-saat bahagia dan menyenangkan dalam hidup Iqbal. Walaupun ada beberapa letupan kecil tapi tak pernah memuncak menjadi sebuah pertengkaran menakutkan di rumah itu.

Tapi semuanya perlahan berubah ketika usaha Papa maju pesat. Papa kemudian membuka cabang usaha di luar kota Denpasar, yaitu di Gianyar dan Singaraja. Papa semakin sibuk, dan jarang berada di rumah, pergi pagi dan pulang hingga hampir larut malam. Mama mulai uring-uringan. Puncaknya, saat kakeknya―ayah Mama yang tinggal di Riau―meninggal dunia dan mewariskan semua harta peninggalannya kepada Mama sebagai anak tunggal. Mama kemudian membuka butik. Tak cukup sampai di situ, bahkan Mama menambah kesibukannya dengan menjalankan bisnis permata. Konflik-konflik mulai bermunculan. Pertengkaran selalu mewarnai kehidupan di rumah itu.

Dan Iqbal semakin kesepian, merasa terasing di rumah sendiri ketika empat tahun lalu, Ikhsan, abangnya―saudara satu-satunya―melanjutkan pendidikan di Hannover, Jerman. Untunglah bakatnya bermain musik sedikit membantunya mengusir rasa sepinya.

Tiga bulan yang lalu Ikhsan sudah kembali ke Denpasar karena sudah menyelesaikan pendidikannya di Jerman. Iqbal senang sekali dan berharap abangnya itu bisa meredakan ketegangan di antara kedua orang tua mereka. Namun harapan Iqbal pupus karena Ikhsan tetap tak berdaya mendamaikan perselisihan kedua orang tua mereka yang semakin meruncing. Dan Iqbal semakin merasa tidak mempunyai tempat mengadu atau sekadar mencurahkan kegelisahannya ketika Ikhsan memutuskan untuk menerima tawaran seniornya sewaktu masih kuliah di Jerman, untuk bekerja di perusahaan pertambangan minyak di Brunei Darussalam. Baru seminggu yang lalu Ikhsan berangkat ke Brunei. Sebelum berangkat abangnya itu cuma berpesan, “Beberapa bulan lagi kamu akan tamat SMU. Kalau kamu jadi meneruskan kuliah di Jerman, nanti biar Abang hubungi teman Abang di sana untuk mengurus segala keperluanmu. Kamu jangan kuatir, kamu standby aja. Atau kamu mau ikut Abang aja ke Brunei, kuliah di sana aja, mau?”

“Lihat ntar aja, Bang,” jawab Iqbal lesu waktu itu.

Dulu, sejak abangnya kuliah di Jerman, Iqbal sangat antusias sekali untuk mengikuti jejak abangnya itu. Tapi saat ini keinginan itu seperti terkikis habis. Saat ini di benaknya hanya dipenuhi oleh bayangan-bayangan konflik antara papa dan mamanya. Bayang-bayang bahwa papa dan mamanya bakal bercerai selalu menghantuinya, membuat asanya dalam menatap masa depan jadi kosong tanpa minat dan tujuan yang jelas.

“Huaaah,” Iqbal menguap. Kantuk menyerangnya akibat lelah fisik dan lelah batin. Semenit kemudian tubuhnya sudah terkulai sambil memeluk gitar.

* * *

 “Bang Iqbal,” sapaan lembut itu menyambangi telinga Iqbal yang sedang duduk di taman belakang rumahnya.

Iqbal memindahkan pandangan ke arah suara, dan dalam keremangan malam ia melihat ada gadis manis berpakaian serba putih berdiri di sisi taman. Suasana tak biasa segera menyelimutinya. Ia mempertajam pandangannya dan bisa mengenali gadis itu. “Rani? Bagaimana kamu bisa ada di sini? Kamu kok tau rumah saya?”

“Ya, tau lah. Masa ya tau dong,” gadis remaja tanggung berparas manis itu tertawa renyah. Sebelah tangannya berada di balik punggungnya, seperti menyembunyikan sesuatu. Sejenak gadis itu tersenyum dalam diam. Bibir merahnya yang mungil sedikit bergerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Wajahnya mulai bersemu merah. “Bang Iqbal, Rani mau ngasih sesuatu buat Abang.

  “Tapi Bang Iqbal tebak dulu, apa yang mau Rani kasih ke Abang,” lanjut Rani dengan senyum manis yang masih belum memudar.

Iqbal mengerutkan keningnya. “Mengapa harus begitu?”

“Pokoknya Abang tebak dulu deh. Please...” harap Rani dengan nada manja.

“Oke deh. Mmm… kayaknya kamu bakal ngasih aku coklat. Ngngng… atau mungkin juga sebuah buku, CD…”

“Ayo, Bang Iqbal. Nebaknya yang benar dong,” desak Rani sambil tertawa-tawa kecil.

Iqbal menggaruk-garuk kepalanya. “Yaaah, aku nyerah deh. Terserah kamu mau ngasih aku apa aja, aku terima.”

“Aaa… kok nyerah sih,” protes Rani pura-pura cemberut. Tapi hanya beberapa detik, lalu senyum manisnya mengembang lagi. “Um, nggak apa-apa deh.” Tiba-tiba Rani menarik tangannya dari balik punggungnya. “Tarraaa… nih buat Abang!” serunya riang seraya menyodorkan setangkai bunga mawar merah kepada Iqbal.

Spontan Iqbal berucap. “Kok bunga mawar lagi? Tadi siang kan udah.”

Iqbal menyesali ucapannya ketika melihat keriangan Rani langsung menguap, wajah imut gadis itu berubah sendu. “Abang nggak suka ya sama bunga ini. Padahal bunga ini Rani petik dari taman di rumah. Rani sendiri yang menanam dan merawatnya.”

Iqbal buru-buru tersenyum dan segera mengambil bunga itu dari tangan Rani. Mencium kelopaknya sesaat. “Hmm, harum. Aku suka kok bunga ini. Indah ya? Kamu pasti merawatnya dengan baik,” Pujinya mencoba membesarkan hati gadis di depannya.

Senyum Rani kembali mengembang. “Syukur deh kalo Abang suka. Rani senang banget,” namun setelah berucap kembali wajah manis itu beraut mendung. “Tapi, itu bunga terakhir yang bisa Rani berikan buat Abang.”

“Bunga terakhir? Maksud kamu?” heran Iqbal.

“Ya, itu bunga terakhir Rani untuk Abang. Soalnya Rani mau pergi jauh, jauuuh banget,” bibir gadis itu bergetar. “Rani pergi dulu, Bang. Doain Rani, ya Bang, biar masuk surga,” tiba-tiba gadis itu membalikkan badannya, berlari ke arah gerbang belakang.

Iqbal melongo sesaat. “Rani tunggu!”

Rani terus saja berlari hingga tubuh mungilnya menghilang di balik gerbang.
Iqbal mengejarnya hingga ke mulut gerbang, tapi sial bajunya seperti tersangkut sesuatu di sisi gerbang. Ia terjatuh bergulingan di rerumputan basah. Pandangannya gelap.

“Ah, cuma mimpi,” desahnya lirih ketika membuka mata dan menemukan dirinya terbaring di atas ranjang di kamarnya, bermandikan keringat. Matanya melirik jam dinding. “Jam setengah empat, hampir subuh,” gumamnya lagi. “Rani…”

***
Bersambung ke bagian 2

Tulisan-tulisan Firman Al Karimi lainnya bisa dibaca di:
www.kompasiana.com/firman.alkarimi