Orik menyadari, menang dan kalah adalah dua hal yang harus ada dalam sebuah pertandingan. Kemenangan tentu akan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan membanggakan bagi si pemenang. Sedangkan kekalahan bagi pihak yang kalah tentu saja akan membuat rongga dada terasa semakin sempit karena disesaki oleh rasa kesal, malu dan merasa tidak memiliki mental juara. Saat ini, ia sebagai orang yang kalah, tentu saja ketiga rasa tidak nyaman itu mutlak memenuhi dadanya.
Orik masih tenggelam dalam lamunannya di gazibu taman belakang rumahnya. Berulang kali ia berusaha menenteramkan hatinya dengan menyapukan pandangannya ke koleksi bunga-bunga kesayangan bundanya yang tumbuh indah di sekeliling taman itu, namun tetap saja bayang-bayang kekalahan itu enggan meninggalkan pikirannya. Bayangkan saja, kemarin malam, dalam pertandingan final Liga Futsal SMU se-Pekanbaru, dua kali ia gagal memanfaat dua peluang emas yang bolak-balik di depan matanya. Pertama, ia gagal membuat gol ketika tendangan first timenya menyambut assist matang dari Mario, hanya menyentuh mistar gawang lawan. Kedua, di masa injury time, tendangan penaltinya yang terlalu lemah dapat ditangkap dengan mudah oleh kiper lawan. Sial, sial! Rutuk batinnya.
Sekarang, benaknya terus saja mengkalkulasi angka-angka dan mengutak-atik berbagai kemungkinan, seperti… padahal, kalau saja kedua peluang itu bisa dikonversikannya menjadi dua buah gol, tentu saja skor 2 – 3 itu akan berubah menjadi 4 – 3, dan timnya, SMU Pulau Permai tentu tidak akan kalah dengan skor 2 – 3, dan merelakan gelar juara jatuh ke tangan tim SMU Nusa Indah.
Tubuh Orik semakin melorot dalam duduknya, menyandar di tiang gazibu dengan kepala mendongak menatap langit sore. Kegeraman masih enggan meninggalkan dadanya. Bagaimana tidak, ia dan timnya memulai pertandingan dengan baik. Bahkan ia mampu mencetak dua gol bagi timnya, dua buah gol yang membuat timnya unggul 2 – 1 di babak pertama. Di babak kedua timnya semakin agresif mengobrak-abrik pertahanan tim lawan, dan karena asyik menyerang, mereka seperti melupakan pertahanan sendiri. Akibatnya, tim lawan yang hanya mengandalkan counter attack malah berhasil menyarangkan dua gol, dan membalikkan skor menjadi 3 – 2 untuk keunggulan tim lawan. Di sisa waktu, timnya tidak berhasil mengejar ketertinggalan walaupun sudah menggunakan berbagai cara, termasuk ketika mendapatkan dua peluang berharga itu. Orik tidak mengerti bagaimana bisa begitu saja ia melewatkan dua peluang yang seharusnya menjadi gol itu, padahal selama ini ia di kenal sebagai striker yang haus gol, gelar top skor yang diraihnya sebagai bukti kehandalannya dalam urusan mencetak gol. Walaupun saat ini, gelar top skor itu terasa tidak cukup berperan untuk menghapus rasa sesak di dadanya.
Tahun lalu tim gue gagal di babak awal, begitu berhasil masuk final tahun ini, eh malah kalah. Nggak ada lagi kesempatan buat ngedapatin gelar juara tahun depan, kecuali kalo gue rela nggak lulus tahun ini, sial! Tak henti-hentinya gerutuan kekesalan diumpatkan batinnya dalam lamunan tak nyaman itu. Begitu asyiknya ia melamun sehingga tidak memedulikan sesosok bayangan yang mendekatinya dan tertangkap oleh pandangan samarnya. Tiba-tiba…bugh! Sebuah tinju bersarang di mulutnya. Kepalanya terasa pusing sesaat dengan pandangan berkunang-kunang. Belum sempat ia menyadari apa yang baru saja menimpanya, sepasang tangan telah mencengkram erat krah bajunya.
“Kucing air lo, Rik! Pagar makan tanaman. Teganya lo menghianati persahabatan kita!” orang yang baru saja memukulnya bersuara dengan nada bergetar.
“Gila lo, Yo! Apa-apaan nih. Lo kemasukan setan mau beranak, ya?! Datang-datang main tonjok aja, jontor nih bibir gue! Sarap lo!” berondong Orik begitu matanya sudah bisa melihat dengan jelas Mario berdiri sangar di hadapannya dengan kedua tangan masih mencengkram erat krah bajunya.
“Elo yang gila, Rik. Lo nyadar nggak sih, kelakuan lo yang maksa gue ngelakuin hal sarap kayak gini!” sentak Mario masih dengan nafas yang tersengal-sengal dan sinar mata yang menyala.
“Enyahkan dulu tangan lo dari baju gue!” Orik mendorong Mario hingga terjajar ke depan, cengkraman tangannya terlepas. Ia bangkit dari lantai gazibu, sesaat meraba bibirnya yang terasa nyeri. “Oh, jadi masih masalah itu. Gara-gara tendangan penalti gue nggak masuk di penghujung waktu trus tim kita kalah. Heh, monyong! Elo nggak bisa nimpahin kesalahan sepenuhnya ke gue. Biar bagaimanapun gue tetap pengumpul gol terbanyak buat tim kita. Enak aja lo nyalahin gue. Tapi kenapa baru sekarang lo ngamuk-ngamuk. Kemarin, bareng ana-anak, lo masih masih besar-besarin hati gue biar bisa nerima kekalahan. Tadi waktu di sekolah lo juga kelihatan normal-normal aja,” ia diam sejenak sambil menghela nafas dan menatap wajah penuh kegeraman temannya yang masih belum menyurut. “Obat lo abis, ya!!!” lanjutnya keras.
Mario menyeringai galak. “Bukan itu Codot! Lo nggak usah belagak bego gitu! Lo tau kan kalo Nindy gebetan gue! Tadi lo abis jalan sama dia, kan ?!” Tuduhnya sengit, dan raut wajahnya semakin mengeras. “Sobat model apaan lo, nelikung teman dari belakang. Dasar, pagar makan tanaman!”
Orik tersentak, terdiam sejenak sambil mengingat sesuatu. Sial, gue kirain masih masalah kemarin, nggak taunya malah masalah gebetan. Lalu dengan raut wajah tak kalah geram ia berkata sambil menunjuk-nunjuk temannya itu. “Kamfretz! Jadi itu yang buat lo mukulin gue. Benar-benar picik otak lo, Yo. Elo tau nggak, Nindy itu siapa. Yang pasti setau lo, Nindy itu anak baru di sekolah kita, cantik dan tiba-tiba jadi perhatian banyak orang, termasuk lo!”
Orik diam lagi, berusaha menahan gejolak di dadanya, lalu berkata lagi. “Mario sohibku yang ganteng kayak banteng hobi nyeruduk. Buka kuping lo lebar-lebar. Dengar, Nindy-itu-tetangga-baru-gue, tolol! Mamanya teman lama Bunda gue. Tadi siang, abis pulang sekolah, dia minta tolong diantarin ke mall buat nyari barang-barang keperluan dia. Paham lo!”
Mendengar penjelasan Orik, mendadak gerak tubuh Mario berubah rikuh. Raut wajahnya melunak. “Ja…di, Nindy itu tetangga lo, Rik. Anak te…teman Bunda lo. Waduh, mati gue!” Katanya sambil menepuk jidatnya. “Sorry beribu sorry deh, Orik temen gue yang juga cuakep kayak buanteng. Eh sorry, maksud gue, kayak, kayak, kayak… ” ia semakin salah tingkah, perasaannya serba kikuk, bingung mau bicara apa.
Beberapa saat Mario hanya bisa bungkam. Ia malu sekali atas prasangka buruk berbuntut pemukulannya terhadap Orik, sohibnya. Semua itu terjadi karena ia memang lagi naksir berat sama Nindy, adik kelasnya, siswi baru kelas satu di SMU Pulau Permai. Dan beberapa jam lalu, sewaktu ia mengantar Mamanya belanja ke Mal Ciputra, dari jauh dilihatnya Orik dan Nindy lagi berjalan di pelataran parkir menuju mobil Orik, belum sempat ia menghampiri, mobil Orik sudah bergerak meninggalkan parkiran. Setelah itu kegeraman menguasainya, sangkanya Orik yang memang tahu bahwa ia menyukai Nindy telah menelikungnya dari belakang, juga berniat menggebet gadis itu. Tapi sekarang, setelah ia terlanjur berprasangka, memukul Orik, dan mendengar penjelasan Orik. Wah, ia jadi malu banget. Kenapa tadi gue main tonjok aja, nggak nanya-nanya dulu. Sial, sial! Sesalnya.
Orik yang juga sempat terdiam, menangkap penyesalan yang diekspresikan Mario. Walaupun masih kesal, ia berusaha menerima kejadian itu dengan lapang dada bahwa apa yang baru saja dilakukan Mario hanyalah karena kesalahpahaman belaka. Nggak mungkin gue ngorbanin persahabatan lima tahun gue sama nih anak cuma gara-gara hal kayak gini.
Tapi tiba-tiba ia menampakkan seringainya menyusul ide nyeleneh yang muncul di benaknya. “Ok, permintaan sorry lo, gue terima. Tapi makan dulu nih ketupat bengkulu gratisan dari gue,” tiba-tiba kepalan tinju Orik mampir di mulut Mario. “Mulut di bayar mulut! Nah, sekarang kita impas, ok?” senyum Orik mengembang puas.
“Sialan lo, Rik, puyeng nih kepala gue,” Mario meringis sambil memegangi mulutnya. Baru tahu dia rasanya kena pukul. Memang sih ia sempat panas juga sehabis dipukuli Orik, tapi ia segera sadar bahwa ia yang mulai duluan, jadi yah, benar kata Orik, impaslah.
Dan pukulan balasan Orik agaknya juga membuat penyumbatan-penyumbatan di otak Mario terlepas. Sekarang, otak sadarnya berpikir bahwa sohibnya itu malah bisa membantunya mendekati Nindy. “Jadi Nindy itu anak teman Bunda lo, ya? Elo kok nggak pernah ngasih tau gue, sih. Tapi hal itu udah nggak penting lagi, kok,” raut wajahnya melunak. “Ngng… kalo gitu lo bisa dunk bantuin gue buat deketin si Nindy. Elo kan sohib gue yang paling baek sedunia. Bantuin gue, ya? Plizzz…” rayu Mario sambil ngelus-ngelus mulutnya yang masih rada berdenyut.
Orik mendengus. “Enak aja. Usaha sendiri dunk. Deketin aja kalo lo bisa. Elo tau nggak kalo nyokapnya Nindy galak banget!” sahutnya ketus.
“Jadi lo masih marah sama gue. Ya… nggak pa-pa deh, kalo gitu nasib lo buat deketin Farah ikut kandas juga dunk. Gue nggak mau lagi bantu lo buat deketin Farah. Asal…” Mario tak melanjutkan kata-katanya, hanya membiarkan senyum kemenangan mulai mengembang di wajahnya.
Mario tahu Orik sangat menyukai Farah, yang juga adik kelas mereka. Farah kebetulan juga bertetangga dengannya. Hubungan keluarga Mario dan keluarga Farah pun akrab banget, bahkan Farah sudah seperti adik bagi Mario karena Farah sering main ke rumahnya dan cukup akrab dengan Elvi, adiknya yang masih kelas tiga SMP. Belakangan Orik selalu minta bantuan Mario untuk menyampaikan berbagai pesan mulai dari bingkisan-bingkisan kecil hingga bunga-bunga hasil petikan dari taman Bundanya, dan tak jarang cuma sekadar nitip salam ke Farah.
Sial, gagal deh akting sewot gue. Wajah Orik sedikit melunak. “Huh, elo emang paling bisa nyari kelemahan orang. Ok, kalo gitu. Gue bantuin lo dan lo bantuin gue, deal?”
“Deal! Hehehe…” Mario melompat-lompat kegirangan sambil mengguncang-guncang bahu Orik.
“Heh, kira-kira dunk, baut bahu gue hampir copot nih,” Sungut Orik sedikit meringis. “Girang amat. Kayak bocah lagi ngeliat topeng monyet!”
“Iya, dan lo monyetnya… ups, sorry choy! Maklumin aja, ekspresi man, ekspresi!”
“Ekspresi sih ekspresi. Tapi jangan ngatain gue monyet dunk, mbek!”
“Iya deh, lo boleh balas ngatain gue, mbek. Gue rela kok. Yang penting kita harus saling mendukung supaya misi cinta kita sukses!”
“Jadi lo rela gue panggil mbek, Yo,” Orik memandang Mario dengan pandangan meledek.
“Untuk sekali tadi aja, nyet!” sentak Mario sewot.
Orik tergelak ringan. “Hihihi… Ssst, mbek, eh Yo. Tuh liat gebetan lo datang,” bisiknya tiba-tiba sambil menjawil lengan Mario.
Mulut Mario seketika ternganga begitu halusinasinya memperlihatkan seorang puteri nan cantik jelita bergaun putih salju dan bermahkotakan rangkaian bunga nan indah sedang berdiri anggun di samping pot bunga adenium. Sang puteri melambaikan tangannya sembari tersenyum manis.
“Oh, Puteri Nindy, senyummu… manis banget...” Celetuk Mario tanpa sadar sambil mengembangkan senyum culun.
Nih anak malah ngigau lagi. “Hoi, nyadar! Sore gini ngimpi!” teriak Orik sambil menepuk pundak Mario.
Dor! Seketika mimpi Mario buyar meninggalkan semu merah di wajahnya, malu. Sekarang di matanya, Puteri cantik bergaun putih salju telah berubah menjadi gadis manis berambut halus sebahu, berkaos pink, mengenakan jins biru sebetis, dan masih tersenyum.
“Ha…i, Nindy,” sapa Mario agak tergagap.
“Hai juga Bang Mario,” sambut Nindy riang.
Mario seperti melayang mendengar suara lembut Nindy. Abang? Oh, Nindy manggil gue abang. “Nindy, kamu cantik banget deh. Cantik kayak… kayak apa ya…” Mario bingung mau ngomong apa lagi, mulutnya mendadak terkunci rapat. Sial, kenapa gue nggak ngonsep kata dulu dari tadi.
“Kenapa bang, kok diam. Yah, nggak pa-pa deh. Ntar aja mikiran lanjutan kalimat tadi,” ujar Nindy yang masih betah menampakkan senyum manisnya yang membuat Mario semakin mabuk kepayang.
Nindy, kamu kok cantik banget sih. Diberi makan apa ya sama nyokapnya, kok bisa jadi cantik gitu. Batin Mario lagi, masih asyik membuai-buai hayalannya.
“Awas ada ular sawah!!!” teriak Orik tiba-tiba, persis di depan telinga Mario.
“Ular, ular, mana ularnya! Biar gue matiin!” Mario melompat kaget sambil pasang kuda-kuda dan memamerkan jurus-jurus kacau begitu mendengar teriakan usil Orik.
“Huh, sialan lo, Rik. Ngagetin gue aja. Sport jantung nih gue,” gerutu Mario sambil mengusap dadanya, dan menampakkan mukanya yang memerah menahan malu melihat Nindy tertawa geli karena aksi mendadak latahnya barusan, padahal ia bukan termasuk orang yang divonis mengidap penyakit pengejut seperti itu.
“Salah lo sendiri, latah dipiara. Hihihi…” Ledek Orik sambil cekikikan. “Hoi! Kok bengong lagi kayak kebo kekenyangan, ngomong dunk. Elo kesambet jin gagu, ya. Hihihi…” sambungnya ketika melihat Mario masih kelimpungan seperti orang yang uangnya habis ketipu ratusan juta rupiah.
Nindy hanya tersenyum geli melihat polah tingkah Orik dan Mario. “Bang Orik, aku mau minta tolong nih,” dan suara lembutnya membuat Orik menghentikan aksi cekikikannya.
Dahi Orik mengernyit. “Minta tolong? Kalo minta tolong bukan di sini dek, ke kantor polisi aja,” jawabnya asalan.
Nindy merengut manja. “Iiih, Bang Orik kok gitu sih. Aku serius nih. Tolong bikinin blog buat Nindy.”
“Blog apaan sih, Yo,” kata Orik sambil menyikut Mario.
Mario membelalakkan matanya. “Orik??? Hari genee, nggak tau blog. Kemana aja lo. Makanya, jangan suka nongkrong sambil mancing kodok di pinggir selokan! Hihihi,” ledeknya, begitu antusias membalas aksi usil Orik yang tadi sempat mengerjai dan membuatnya malu di depan sang gebetan.
Kontan memancing reaksi Orik. “Santai aja tuh mulut. Gue cuma pura-pura nggak tau aja, dodol!” sentaknya lalu mengalihkan pandangannya pada Nindy yang kebingungan melihat dua orang badut lagi berdebat sengit.
Tapi Orik segera bisa mengendalikan diri, dan raut wajahnya tampak sedikit lebih serius menyusul sekelebat ide yang beredar di pikirannya.“Sorry Nin, kali ini aku nggak bisa bantuin kamu, lagi banyak tugas, nih. Tapi tenang aja. Mario aja yang aku kasih mandat bikin blog itu buat kamu,” katanya sambil melirik Mario. “Yo, lo mau kan terima mandat dari gue!” lanjutnya dengan nada berwibawa yang dibuat-buat.
“Eh, elo kok malah ngelimpahin tugas ke gue, sih. Emangnya gue asisten lo, apa?!” semprot Mario gusar. Tapi buru-buru ia menutup mulutnya begitu melihat Nindy meringis seraya mengernyitkan dahinya.
“Mbek, lo kok bego amat sih. Nyadar bro! Gue kan lagi bukain jalan buat lo untuk deketin Nindy,” bisik Orik geram.
“Iya, iya. Gue lupa. Abis gue nervous banget sih,” Jawab Mario juga dengan berbisik. “Maaf, Nin. Aku tadi cuma becanda aja kok. Aku mau kok bantuin kamu bikin blog. Kapan aja aku selalu siap sedia membantu kamu,” ujarnya setelah mampu menguasai diri.
Nindy tersenyum. “Tapi… ntar, aku malah nyusahin Bang Mario. Soalnya aku sekalian mau belajar cara bikin blog yang praktis sekaligus dengan tampilan keren.”
Wah bakal untung besar nih gue. Batin Mario kegirangan. “Ah, nggak apa-apa, Nin. Nggak usah kuatir, pokoknya aku bakal buatin kamu blog yang super keren, deh. Kalo perlu aku kasih les private gratis khusus mata pelajaran bikin blog.”
“Ssst, santai bro, pakai nawarin les private segala. Buat blog palingan setengah jam juga udah beres. Lagian mana ada mata pelajaran bikin blog. Kebodohan lo jangan diperjelas dunk,” bisik Orik lagi.
“Bodo!” sentak Mario dengan suara tertahan.
Nindy cuma tersenyum simpul. “Makasih Bang Mario. Kalo gitu ntar malam abang bisa kan datang ke rumah aku?” katanya.
“Oh, bisa, bisa. Tapi ngapain Nin?” Mario malah balik nanya.
“Yah bikin blog lah, yo-yo Mario!” ledek Orik.
“Lho, bukannya di warnet,” Mario pasang wajah o’on.
“Di rumah aku ada internet connection, kok bang,” Jelas Nindy sambil tersenyum geli.
“Dasar katrok!” tembak Orik, kontan membuat wajah Mario memerah bak udang goreng hampir gosong.
“Ya, udah kalo gitu aku ke dalam dulu, ya? Mau ketemu sama Tari. Jangan lupa ntar malam jam tujuh ya, Bang Mario?” kata Nindy mengingatkan, lalu melangkah menuju pintu samping.
“Yes, yes!” Mario langsung melompat-lompat kegirangan ketika Nindy menghilang di balik pintu.
“Yas-yes, yas-yes! Nasib gue gimana nih. Elo sih enak udah gue tolongin ngebukain jalan buat ketemuan ntar malam sama Nindy. Sedang gue… Huh, masa ntar malam gue cuma bengong di rumah sambil ngebanyangin lo lagi berduaan sama tetangga gue itu di rumahnya. Kamfretz lo!” sungut Orik sambil menghenyakkan pantatnya di lantai gazibu, duduk bertopang dagu.
“Oh, Orik. Don’t say me kamfretz. Don’t worry be Efi…” Mario masih menari-nari sambil memelihara kegirangan hatinya.
“Efi muke lo penyok. Pikirin dunk gimana caranya supaya gue juga bisa ketemuan sama Farah malam ini,” desak Orik kesal.
Mario terdiam sejenak, mencoba berpikir. Kasian juga Orik, dia kan sohib sejati gue. Orik, You’re my true friend. Gue happy, lo juga harus ikut happy. Lagian dia juga udah bantu gue. Gue harus cari akal biar dia bisa ketemuan sama Farah ntar malam. Tapi nyari akal di mana, otak gue di penuhin bayangan Nindy semua.
Teeet….bomb!!! Mario buru-buru merogoh saku celananya begitu mendengar bunyi letusan dahsyat dari dalamnya. “Halo?”
“Sialan lo, Yo! Ngagetin orang aja. Hobi banget sih pakai ring tone ngebom kayak gitu! Kampungan!” sentak Orik tambah kesal.
Mario cuek, terus saja nyap-nyap kesana-kemari dengan HPnya. “Nggak bisa Fa, ntar malam aku ada janji sama teman. Mmm, gini aja deh. Biar Orik aja yang bantuin kamu. Tenang aja deh, tuh anak jinak banget. Bisa di suruh-suruh kok.”
Orik mendelik. “Maksud lo?”
Mario tetap cuek. “Bagus deh kalo kamu setuju. Nggak usah kuatir. Orik pasti mau kok. Ok, jam tujuh malam, ya? Bye…”
Orik melepas topangan dagunya. “Heh, mbek. Maksud lo apa sih, tadi ngatain gue jinak banget en bisa di suruh-suruh. Emangnya gue pembokat lo, apa?!” semprotnya segera.
Mario melotot geram. “Nyet, kalo lo di suruh-suruh sama Farah, mau nggak?!”
“Nggak!” jawab Orik mantap, dadanya membusung. Tapi, “Apa? Farah?” dadanya mengempis lagi. “Ya, mau lah. Dia kan gebetan gue,” lanjutnya malu-malu.
“Kalo gitu, ntar jam tujuh malam, lo datang ke rumah Farah,” kata Mario santai.
“Hah???” Orik malah melongo, heran.
“Ha-ho, ha-ho! Yang nelpon gue tadi itu, Farah. Dia minta tolong gue bikin blog. Kan tadi lo dengar kalo gue bilang nggak bisa, en gue ngasih orderan itu ke lo,” terang Mario sambil ikut duduk di lantai gazibu.
“Bikin blog? Kok bisa!” kata Orik, masih heran.
Mario tergelak renyah. “Maksud lo, kok bisa sama dengan Nindy, gitu. Orik, Orik. Kok lo jadi pikun gitu, sih. Farah itu kan sekelas sama Nindy. Mereka berdua sama-sama dapat tugas dari guru aplikasi komputer untuk bikin blog.”
“Ya amprut. Kok gue bisa lupa ya, kalo Nindy sama Farah itu sekelas,” Orik menepuk jidatnya. “Yo, kita harus berterima kasih sama Pak Gun-Gun, karena udah bukain jalan kita buat deketin gebetan.”
“Yap , gue setuju, Rik. Tapi bukan cuma sama Pak Gun-Gun, tapi juga sama Pak Kepala sekolah yang berkenan menerima Pak Gun-Gun sebagai guru honorer mata pelajaran aplikasi komputer,” sambut Mario dengan ekspresi konyol.
“Tanggung Yo, sekalian aja lo ngucapin terima kasih sama orang yang pertama kali nyiptain blog itu,” tambah Orik tak kalah konyol.
“Ok, stop! Lo uber aja sendiri orang yang nyiptain blog itu. Sekarang gue mau pulang dulu. Nyiapin jasmani dan rohani buat ntar malam,” Mario bangkit dari duduknya dan melangkah pergi. Namun begitu sampai di ujung taman ia berhenti dan menoleh ke Orik. “Aduh, hampir aja gue lupa. Rik, rumah Nindy di mana sih!” teriaknya.
“Tuh, di balik pagar,” tunjuk Orik dengan memonyongkan mulutnya ke arah rumah bercat biru muda di sebelah luar pagar pekarangannya.
Mario terpaku di posisi berdirinya. “Udah lebih lima tahun gue nongkrong di rumah lo. Kok gue nggak tau ya, kalo itu rumah Nindy.”
Orik menggeram. “Nindy itu baru sebulan yang lalu pindah ke rumah itu, mbek!”
“Iya, iya. Tapi jangan ngatain gue mbek terus, nyet! Ya udah, gue pulang!” gerutu Mario lalu meneruskan langkah menuju halaman depan, menaiki motornya dan segera meluncur keluar dari gerbang depan rumah Orik.
Sedangkan Orik langsung merebahkan tubuhnya di lantai gazibu. Bayang-bayang kekalahan bercampur rasa kesal yang mendalam itu terhapus tak berbekas di benaknya, berganti dengan bayangan cantik gebetannya, Farah. Dadanya juga terasa lega, dipenuhi getar-getar indah yang nyaman.
Mario meninggalkan kompleks perumahan itu dengan hati terbuai indah, hanya melajukan pelan motornya sambil menikmati memandang bunga-bunga taman di sisi jalan yang terlihat begitu indah sore itu.
Sejak pertamakali melihat Nindy, ia sudah memendam harapan untuk menjalin hubungan spesial dengan gadis itu, dan nanti malam ia akan memulai merintis jalan untuk mewujudkan harapan nan indah itu.
Begitu sampai di depan pos jaga di mulut masuk perumahan, dengan riang ia menyapa security yang duduk sambil membaca koran di depan posnya. “Sore Pak Jaya. Hari ini indah, ya?” sapanya riang sambil terus membelokkan motornya ke jalan utama dan mulai mengencangkan laju motornya.
“He, eh” hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Pak Jaya. Apanya yang indah. Pantat gue udah pegal duduk seharian di sini. Mana mulut gue asem lagi, nggak ngerokok dari tadi.
Bersambung Ke Bagian 2