Senin, 10 Januari 2011

True Friend (Obama feat SBY), Bagian 8 : Never Give Up, oleh Firman Al Karimi


Mario terbangun ketika mencium bau terasi asem menyinggahi hidungnya. Ketika membuka mata ia menemukan dirinya tengah bergelung di ujung kaki Opa, persis seperti seekor anak kucing yang sedang melingkar karena kedinginan. Ia mendorong kaki Opa yang tadi seenaknya memarkir jempol kaki di hidungnya.
Sayup-sayup terdengar suara azan subuh dari musholla kompleks.
 Udah pagi. Aman, jam-jam segini biasanya makhluk-makhluk gaib itu udah pada balik ke kandangnya. Ia menguap beberapakali seraya meregangkan tubuhnya yang terasa agak kaku, lalu dengan kepala sedikit pusing ia bangkit dan keluar dari kamar Opa.
Di ruang tengah ia menemukan makhluk berjubah hitam yang beberapa jam lalu menyatroni kamarnya sedang tiduran di sofa dengan wajah kusut.
“Hoi, bangun! Malah molor di sini, lagi,” katanya sambil menjawil pundak Elvi yang masih betah berada dalam bungkusan selimutnya.
Elvi menggeliat malas. “Jam berapa?” ia sedikit membuka mata.
“Jam tujuh!” seru Mario sambil berkacak pinggang.
Spontan Elvi langsung terlompat dan membuang selimutnya, tapi kemudian ia kembali terhenyak di sofa setelah melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul lima subuh. “Huh, kirain. Abang usil banget sih. El masih ngantuk nih,” sungutnya sambil menarik selimutnya.
Mario ikutan duduk di sofa. “El, semalam ngapain lo datang ke kamar gue. Sengaja mau nakut-nakutin gue, ya?” ia tahu kalau makhluk berjubah hitam yang semalam membuatnya sport jantung adalah Elvi karena ketika ia sedang menggedor-gedor panik pintu kamar Opa semalam, di saat yang sama makhluk berjubah hitam bersuara adiknya itu juga sedang berteriak-teriak histeris di depan pintu kamar Papa dan Mama.
Elvi menegakkan tubuhnya  di sandaran sofa. “Abis, semalam El nggak bisa tidur, ngebayangin yang aneh-aneh mulu. Dan karena ketakutan terus, El nyamperin abang ke kamar, eh malah ada hantu berselubung yang melompat dari kasur. El baru tau kalo makhluk yang El kiraian setan itu ternyata abang ketika makhluk itu lari ke kamar Opa.”
“Sembarangan lo ngatain gue setan! Trus ngapain lo molor di sini. Semalam nggak dibukain pintu sama Mama?”
“Enak aja. Gue kan anak kesayangan Mama, nggak mungkin lagi Mama ngebiarin gue teriak-teriak ketakutan kayak semalam. Semalam gue tidur bareng Mama, en Papa terpaksa ngungsi ke kamar gue. Hihihi…”
“Enak ya ketawanya! Kamu sih enakan tidur sama Mama. Liat nih kulit Papa banyak bentol-bentolnya. Kamu nggak masang obat nyamuk ya di kamar kamu,” tiba tiba Papa muncul menghampiri mereka berdua juga dengan wajah kusut sambil menggaruk-garuk lengannya.
Sorry Pa, El mau ke kamar mandi dulu. Hihihi…” sambil cekikikan Elvi bergegas ke kamar mandi, enggan mendengar kelanjutan omelan kesal Papa.
“Kamu juga, Yo. Papa heran, kamu itu sudah hampir delapan belas tahun, tapi kok masih penakut aja. Pakai ngangguin Opa kamu tidur lagi,” Papanya masih betah bersungut-sungut sebelum meninggalkan Mario menuju kamarnya.
Maklumin aja Pa, situasi mendadak  horor! Batinnya sambil melonjorkan kakinya di atas sofa, dan membiarkan matanya perlahan menutup karena di serang kantuk lagi. Tidur lagi ah, mumpung masih jam lima. Bisa tidur sampai jam enam jadilah. Huah…
☺☺

Jam istirahat pertama Orik dan Mario ngobrol sambil duduk di bangku panjang di depan perpustakaan. Sambil ngobrol, sesekali mata keduanya melirik ke kelas I 3, mencari-cari Farah dan Nindy. Tapi kedua gadis itu tidak kunjung kelihatan walaupun hanya puncak hidungnya saja, padahal teman-teman sekelasnya terlihat cukup ramai sedang bercengkerama di depan kelas.
“Jadi semalam lo di teror arwahnya Pak Roy, Yo. Pantes aja semalam suara lo gemetaran gitu,” kata Orik setelah mendengar cerita Mario tentang kejadian horor semalam yang telah didramatisasinya sedemikian rupa.
“Wah, gue juga nggak berani nuduh kalo semalam itu gue di ganggu sama arwahnya Pak Roy. Gue cuma kebayang wajah dia terus. Tapi anehnya bayangan wajah itu di otak gue tampak jadi kayak bayangan-bayangan seram yang biasa dilihat di film-film horor,” jelas Mario. Ia enggan berprasangka buruk kepada almarhum Pak Roy, soalnya ia takut kalo ia nuduh bahwa arwah Pak Roy lah yang membuatnya ketakutan setengah mati semalam, perasaan horor itu tidak akan mau meninggalkan benaknya, dan arwah itu malah benar-benar akan menghampirinya pada malam-malam berikutnya. Hiii…tatut, deh.
“Oh, kalo gitu kesimpulannya adalah lo itu orangnya pe-na-kut. Hihihi…” ledek Orik sambil cekikan.
Mario cuma mendengus. “Elo sih nggak ngalaminnya sendiri. Kalo lo ngalamin hal yang kayak gue alamin semalam, gue yakin lo bakal ngompol seabrek-abrek deh saking takutnya,” ujarnya balas meledek.
“Iya deh, yo-yo Mario, gitu aja marah,” kata Orik sambil menepuk bahu sohibnya. “Trus gimana nasib Robo. Tadi kata lo, anjing itu bakal terlantar en lo berminat meliharanya. Yakin, lo cocok sama tuh doggie. Gue…nggak usah jelasin deh tentang story  lo sama anjing itu.”
   Raut wajah Mario berubah serius. “Gue udah lupain story jelek itu. Nggak tau kenapa sekarang gue jadi kasian banget sama Robo. Tapi sampai sekarang gue juga belum tau gimana kelanjutan nasibnya. Pagi ini jenazah Pak Roy akan di terbangkan ke Medan. Dan gue nggak tau apakah Bang Ucok juga akan membawa Robo ke sana. Tapi yang gue kuatirin, kata Bokap dan Opa gue, mana sempat Bang Ucok mikirin nasib Robo saat ini. Bang Ucok yang lagi sedih banget tentu hanya mikirin gimana agar jenazah ayahnya sampai ke kampung halamannya dengan selamat dan dimakamkan dengan tenang di sana.”
Orik memperhatikan wajah risau temannya, menepuk bahunya lagi. “Kalo misalnya Bang Ucok nggak membawa Robo ikut ke Medan, lo aja yang melihara tuh doggie kayak yang lo bilang tadi. Beres, kan?” katanya dengan wajah cerah.
Tapi Mario hanya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan, raut wajahnya tetap muram. “Itu dia masalahnya, Rik. Gue sih mau banget melihara Robo. Opa, Bokap en Nyokap kelihatannya juga nggak keberatan. Tapi Elvi nolak banget. Dari dulu gue emang tau kalo dia nggak suka anjing. Soalnya Elvi takut kalo si Pussy kucingnya bakal nggak cocok sama Robo. Lo kan tau, mana ada kucing bisa akur sama anjing.”   
Orik manggut-manggut sejenak. “Wah, ribet juga, ya? Kalo seandainya Robo emang terlantar, gue kasian juga, sih. Tapi sorry, Yo,  gue juga nggak mungkin melihara anjing.”
“Kalo soal itu gue ngerti, Rik. Lagian gue nggak akan nimpahin beban ini ke lo,” ucap Mario lesu.
Sejenak mereka berdua tenggelam dalam diam, mencoba menemukan solusi.
“Yah, kita tinggal berharap, semoga aja Bang Ucok nggak ngelupain nasib anjing kesayangan ayahnya itu,” kata Orik akhirnya.
“Gue harap juga gitu, Rik,” sahut Mario mengamini.
Lalu keduanya kembali terdiam. Orik bersidekap sedangkan Mario menopang dagu. Pikiran mereka melayang lagi.
“Bang Mario sama Bang Orik, kok pada bengong, sih?” sapaan lembut itu membuat Mario dan Orik memindahkan pandangannya ke sumber suara.
“Nindy? Eh, kita nggak lagi bengong, kok. Kita kan lagi nungguin kamu sama Farah,” kata Mario segera. “Nindy dari mana? Dari tadi kamu dan Farah nggak keliatan di depan kelas.”
“Jadi abang berdua nungguin di sini dari tadi? Aku kan dari tadi ada di dalam perpus, bang,” jelas Nindy.
“Kapan masuknya ke perpus, kami kok nggak liat?” tanya Mario heran.
“Oh, tadi jam pelajaran pertama kosong, bang. Pak Burhan nggak masuk. Jadi aku dan Farah langsung masuk ke perpus,” Jelas Nindy.
“Farah mana, Nin? Masih di dalam, ya?” tanya Orik yang sedari tadi diam saja, karena gelisah tidak melihat gebetannya bersama Nindy, padahal biasanya keduanya selalu terlihat berdua saat di sekolah.
“Aku sampai lupa. Tadi sebelum jam istirahat Farah ke ruang Rohis, ada pertemuan dengan jamaah Rohis katanya,” jelas Nindy lagi. “Nah, tuh Farah.”
Orik dan Mario serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Nindy. Lagi-lagi Orik terpesona melihat keanggunan Farah dengan tampilan busana muslimahnya. Tapi keterpesonaannya langsung bercampur dengan sedikit rasa cemburu ketika melihat seorang anak muda tampan berbaju koko berjalan di sebelah Farah.
Farah dan anak muda itu mendekat.
“Assalammu’alaikum, Bang Orik. Salam sejahtera Bang Mario dan Nindy,” sapa Farah sambil tersenyum teduh.
Anak muda yang mengiringinya juga ikut mengucapkan salam dengan sopan.
“Wa’alaikum salam,” jawab Orik. Wah, sekarang Farah berubah banget. Kayaknya dia emang bener-bener pengen berislam secara kaffah. Gue jadi ngeper nih. Apalagi ngeliat orang di sebelahya… jujur aja mereka berdua tampak serasi banget. Lho, posisi gue gimana, dunk!
Mario dan Nindy juga menyambut ucapan salam itu dengan riang.
“Kenalin ini, Ustadz Rahman, pembimbing kegiatan Rohis di sekolah kita,” kata Farah mengenalkan anak muda di sebelahnya.
“Ya, saya Rahman,” kata anak muda itu sambil menyalami Orik dan Mario, lalu menangkupkan tangan di depan dada sambil mengangguk pelan kepada Nindy. “Saya sebenarnya belum pantas di sebut ustadz. Saya masih sedang belajar. Saat ini saya lagi kuliah di Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Riau,” lanjutnya. “Senang berkenalan dengan kalian. Tapi maaf, saya tidak bisa lama. Saya harus kembali lagi ke kampus. Jangan lupa Farah, soal kegiatan ceramah rutin hari jum’at sore. Ingatkan juga teman yang lainnya, ya?”
“Insya Allah, ustadz,” kata Farah.
“Kalo gitu saya permisi dulu, ya? Assalamu’alaikum, Farah, Orik. Salam sejahtera Mario dan Nindy,” ucap Rahman dan segera berlalu menuju pelataran parkir.
Keempat remaja itu menjawab salam Rahman.
Setelah kepergian Rahman, Orik jadi kelihatan serba kikuk. Sebenarnya ia ingin juga seperti Mario yang bisa segera berbicara begitu asyiknya dengan Nindy. Besar keinginannya untuk mengajak Farah berbicara, tapi entah kenapa ketika hendak mulai lidahnya serasa kelu dan mulutnya enggan membuka. Sedangkan Farah yang juga kelihatan lebih kalem dari biasanya membuat Orik semakin rikuh.
“Katanya tadi Bang Orik lagi nungguin Farah. Yang ditungguin udah ada di sini kok diam aja?” sentil Nindy sambil tersenyum.
Mario refleks cekikikan, namun cuma sesaat, sebab sebagai seorang sahabat yang sudah sangat mengenal Orik, ia bisa menebak apa yang sedang dirasakan temannya itu dari ekspresi yang ditunjukkannya.
“Kita berdua nungguin kalian hanya pengen tau kabar kalian aja, kok. Sekarang begitu udah ngeliat kalian berdua di sini dalam keadaan segar dan riang kayak gini, kami berdua juga ikut senang. Iya kan, Rik?” ujar Mario sambil menyikut lengan Orik.
“He, eh, iya,” sahut Orik yang masih setia dengan ekspresi mendadak kalemnya.
Farah hanya tersenyum tipis. “Kalo gitu kami ke kelas dulu, ya bang? Yuk, Nin.” Akhir ia bicara juga walaupun hanya sekedar mengucapkan kata pamit.
“Oh, iya, udah hampir bel, nih,” kata Nindy. “Kami ke kelas dulu, ya?” lanjutnya dan berjalan menuju kelasnya di sebelah perpustakaan.
“Ya, hati-hati, ya?” sambut Mario dengan wajah cerah.
“Norak lo, deket gitu,” bisik Orik sambil menjawil tangan sohibnya.
 Mario cuek, tetap saja mengiringi kepergian gebetannya dengan wajah cerah.
“Assalammu’alaikum,” ucap Farah dan mengikuti Nindy.
“Wa…a’laikum salam…” jawab Orik agak gelagapan, lalu sibuk meredakan suasana dadanya yang bergetar aneh.
Mario mengikik lagi. “Yah, gitu aja grogi. Gimana bisa lo nembak dia, ntar!
“Iya, nih. Terus terang, gue makin kagum sama Farah yang sekarang. Gue juga makin suka sama dia. Tapi gue malah makin ngeper ngedeketinnya. Ngeliat dia dengan tampilan bersahaja kayak gitu, gue jadi malu dengan diri gue sendiri. Nggak tau kenapa,” kata Orik lirih.
“Eit, jangan lemes gitu dong. Never give up, fren! Belum di coba lo udah nyerah duluan. Keep on tryin’, bro!” ujar Mario mencoba menyemangati sohibnya.
Orik menatap Mario sejenak. “Tapi ngomong-ngomong, lo berani nggak nembak Nindy. Keliatannya lo udah makin akrab sama dia. Tadi aja lo berdua ngomongnya nyantai banget.”
Tiba-tiba Mario terdiam mendengar perkataan Orik. “Gue sih pengen banget nembak Nindy secepatnya. Takut diduluin orang. Kayak si Robin itu. Tapi… gimana, ya? Kayaknya gue juga belum siap. Soalnya, kalo Nindy lagi bicara sama gue masih ngomongin hal yang  standar-standar aja. Dan gue juga nggak pernah bisa mancing dia ngomongin masalah hati ke hati, akibatnya gue jadi nggak bisa bertingkah yang agak romantis dikit.”
“Gue juga kuatir, kalo ntar Farah malah tambah dekat sama Ustadz Rahman,” kata Orik lesu. “Tapi ya… kita jalani aja dulu fren. Ribet amat mikirinnya.”
“Elo bener, Rik. Hanya aja kita nggak boleh nyerah dulu sebelum berjuang buat menggebet pujaan hati kita.  Keep on fight, bro!” teriak Mario mencoba membangkit semangat Orik.
“Yeah, never give up fren!” sambut Orik segera. “Yuk, ke kelas. Kita juga harus berjuang untuk memasok ilmu sebanyak mungkin ke otak kita, biar…”
“Biar pintar, trus kelak jadi orang sukses, trus…” sambung Mario lalu juga menggantung kalimatnya. Ia menoleh sambil tersenyum konyol ke arah Orik.
Orik mafhum. “Trus kita bisa ngelamar gebetan kita buat di jadiin istri,” katanya melengkapi kalimat sohibnya sambil tertawa lebar.
Lalu mereka berdua berjalan riang menuju kelasnya, bersiap membuktikan janji yang baru saja diikrarkan. Sah-sah aja sih jatuh cinta, tapi jangan sampai dibuat mabuk oleh cinta. Kejarlah cinta dengan akal sehat, sehingga cinta yang diraih bukanlah cinta buta yang menyebabkan derita, tapi cinta suci yang menyegarkan hati. Maap, fren, nyastra dikit lagi, ya?
☺☺

“Jenazah Pak Roy sudah berangkat ke medan tadi pagi,” kata Opa memberitahu ketika Mario sedang membuka kulkas mengambil minuman. Ia baru saja sampai di rumah habis bubaran sekolah.
“Robo, gimana, Opa? Berangkat juga?” tanya Mario sambil menuangkan minuman di botol ke gelas dan meneguknya, nikmat banget.
“Wah, Opa juga nggak sempat memperhatikan. Tapi mungkin saja tidak. Sebab ketika rombongan keluarga Pak Roy berangkat tadi, Opa tidak melihat ada anjing itu diantara rombongan itu,” Jelas Opa yang sedang duduk di kursi meja makan. “Opa perhatikan, sejak kemarin kamu sangat peduli sama nasib anjing itu. Kenapa? Kamu ingin punya anjing peliharaan sendiri, ya?”
Mario meringis. “Sebenarnya dari dulu aku juga nggak pernah punya niatan melihara anjing, tapi aku cuma kasian aja kalo misalnya emang bener nasib Robo nggak jelas gitu. Lagian gimana bisa melihara anjing selagi masih ada Pussy di rumah ini,” ujarnya lesu. Sesaat ia mendesah. “Tapi kalo tadi Opa nggak ngeliat Robo, trus kemana anjing itu, ya?” lanjutnya penasaran.
Opa manggut-manggut, bingung. “Opa sih nggak tau juga. Kan tadi Opa sudah bilang kalau Opa nggak melihat anjing itu saat keberangkatan rombongan keluarga almarhum Pak Roy,” Opa bangkit dari duduknya. “Sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Mendingan kamu makan aja cepat. Nggak lapar?” lanjutnya sebelum berlalu.
Mario diam saja, masih memikirkan Robo, si anjing peking itu.
 ☺☺

Bersambung Ke Bagian 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar