Senin, 03 Januari 2011

POLISI TIDUR oleh Firman Al Karimi

 Matahari bersinar garang di atas kepala. Langit biru terang tak berawan. Udara berhembus panas mencekik leher yang kehausan. Kojan beranjak dari pangkalan ojek di simpang jalan tempatnya biasa mangkal, melajukan sepeda motornya dan berhenti di depan warung kopi Mak Lalu. “Kopi es satu mak!” teriaknya sambil duduk di bangku, menopangkan kedua tangannya di atas meja.
Dahi Mak Lalu melipat. “Kopi es?” tak biasa wanita paruh baya itu mendapat pesanan macam itu. “Teh es, Jan?” jawabnya sambil berharap Kojan salah menyebutkan pesanannya.  
“Kopi es mak!” ulang Kojan. “Kopi campur es. Cepat mak, haus nih!” lanjutnya memperjelas nada hausnya dengan mengusap tenggorokannya.
Mak Lalu segera mahfum dan segera mempersiapkan pesanan Kojan. Dalam ingatannya Kojan memang tidak pernah memesan teh, apakah teh panas, teh hangat, teh es atau teh susu. Kopi adalah satu-satunya jenis minuman yang selalu di pesan Kojan selama menjadi pelanggannya. Tapi hari ini… mungkin si Kojan ingin merenovasi rasa minuman kopinya, pikirnya. Renovasi apaan sih? Oh iya, Renovasi kan orang-orang proyek yang memperbaiki Kantor Kelurahan yang atapnya berhamburan dipilin angin puting beliung tempo hari. Tapi apa hubungannya dengan kopi?  Mak Lalu jadi bingung sendiri memahami susunan kalimat yang tersusun di benaknya. “Ya udah, emangnya gue pikiran,” gerutunya.
“Kenapa mak?” Kali ini Kojan yang melipat dahi. Merasa tak enak hati, sebab hanya dia seorang yang duduk di depan meja di warung itu. Apa Mak Lalu tidak suka kalau aku memesan Kopi es, merepotkannya mungkin.
“Ah tidak ada apa-apa, Jan. Ini, mak teringat perkataan anak muda dalam tayangan sinetron yang mak tonton semalam,” jawab Mak Lalu tersenyum rikuh sambil meletakkan segelas kopi es di depan Kojan.
Kojan lega, dan prasangkanya lenyap begitu ia mulai menyesap kopi esnya. Berulang-ulang lidah mendecap, matanya terang redup, dan kepalanya terangguk-angguk.
Mak Lalu tersenyum lagi. Ia tahu benar gelagat apa yang sedang ditunjukkan Kojan.
“Seduhan kopi Mak Lalu memang hebat. Tak ada duanya. Tidak peduli di seduh panas atau dingin. Pokoknya sedaaap…” puji Kojan, meneruskan menikmati minumannya. “Eeegh…eeegh,” dua kali ia bersendawa. Sepertinya perut kosongnya terkejut menerima pasokan mendadak berupa guyuran kopi es.
“Kenapa pula siku tangan kau itu, Jan?”
Kojan mengelus-elus siku kirinya yang tergores dan memar. “Tadi pagi saya jatuh, mak. Motorku menabrak polisi tidur yang dibuat agak ketinggian di depan puskesmas. Heran, jalan sudah bagus di buat mulus, eh malah ditambali gunungan polisi tidur. Untung cuma sikuku yang lecet. Coba kalau motorku  yang kenapa-kenapa, bisa-bisa sekujur tubuhku yang dilecuti istriku.”
Kedua alis Mak Lalu terangkat, nyaris bertemu. Pengamuk juga rupanya istri si Kojan.
“Ini motor baru mak, baru sebulan yang lalu di ambil di showroom.” Pamer Kojan. “Istriku mau memberikan gelang emasnya untuk membayar dp motor ini.”
Mak Lalu mengangguk mahfum. Pantas saja ia takut di amuk istrinya. “Bagaimana hasil ngojek hari ini.”
Kojan menghembuskan nafasnya kencang. “Payah mak. Dari pagi sampai siang begini belum ada penumpang yang naik ke motorku.”
“Tapi mak lihat si Udin dan si Cotok sudah berulang kali bolak-balik membawa penumpang. Kenapa bisa begitu. Apa kalian tidak pakai sistem bergilir untuk mendapat penumpang.”
“Iya sih mak. Tapi pas giliranku selalu dapat penumpang yang berbadan besar dan membawa barang yang banyak. Dari pada sepeda motorku kandas dan nyangkut di atas polisi tidur, trus jatuh dan lecet, lebih baik kutolak saja, dan kuberikan sama Udin dan Cotok.”
Mak Lalu hanya geleng-geleng kepala. Prihatin. Tapi wajahnya mendadak cerah ketika seorang pemuda berjaket hitam kusam menghampiri warungnya. Wah pasti mau pesan minum.
Ada bir, mak?” tanya pemuda itu seraya duduk di sebelah Kojan yang sibuk mengaduk-aduk Kopi esnya.
Mak Lalu menggeleng, kecewa tapi masih berharap.
Columbus ada?”
Minuman apa jenis apa pula itu? Mak Lalu kembali menggeleng.
Pemuda itu mendengus. Berdiri dan berjalan ke sepeda motor Kojan terparkir. Pemuda itu berjongkok sejenak, mengaca di spion sambil memencet jerawat di wajahnya. Kedua sudut mata Kojan mengekorinya dengan pandangan tak senang. Sepeda motorku bisa ketularan virus jerawatnya.   
“Motor baru ya, bang?” dengan enteng pemuda itu menduduki jok sepeda motor. Melanjutkan aksi mengacanya.
Kojan mengerling tajam. Menggeram tidak rela, tapi masih menahan diri.
Sedetik, pemuda itu merogoh sakunya celananya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya masih sibuk memencet-mencet jerawat di wajahnya. Dua, tiga, empat detik, ia menarik tangannya dari saku. Lima, enam, tangannya yang menekankan potongan besi berbentuk huruf ‘T’ berujung tipis dan runcing ke dalam sarang kunci sepeda motor itu tanpa diketahui Kojan yang fokus menatap tajam tangan kirinya yang mempermainkan jerawat. Tujuh, delapan, potongan besi yang itu berputar kuat dan cepat ke arah kanan. Sembilan, jempolnya menekan electric starter. Sepuluh…  mesin sepeda motor meraung dan ngacir….
Kojan terlonjak dari duduknya, mulutnya ternganga dan sesaat menolak untuk berteriak. “Mo…mo…torku. Maliiing!!!” kekeluan lidahnya terlepas. Kakinya beregerak cepat berusaha mengejar orang yang telah berhasil memperdayainya dan melarikan sepeda motornya dan waktu sepuluh detik.
Teriakan Kojan membuahkan hasil. Si Udin dan si Cotok yang mangkal di pangkalan ojek segera berbalap ria begitu melihat sepeda motor sohibnya di larikan orang. Si maling meladeni kejaran kedua pengojek itu dengan melarikan sepeda motor curiannya sekencang mungkin bagai setan diuber petir. Si Udin dan si Cotok tak mau reputasinya sebagai ojeker ternama di kawasan itu di asapi si maling. Terjadi peristiwa balap membalap di siang bolong itu. Tapi si maling menang dalam adu nyali. Ia nekat menerobos celah sempit di depan truk toronton yang sedang melintang di tengah jalan. Lima belas detik kemudian, ketika truk toronton itu sudah meluruskan diri di badan jalan, Si Udin dan si Cotok  tidak melihat lagi buruannya.
Kojan lemas, nyaris kolaps mendengar kabar kegagalan kedua rekannya. Tapi tenaganya segera pulih. Ia segera melompat naik ke motor si Cotok. “Jalan cepat, Tok! Antar aku ke pos Polisi di perempatan sana,”
Cotok menurut dan bergegas menuju tempat yang ditunjuk sohib malangnya itu. Cittt… sepeda motor berhenti di depan pos polisi.
“Pergi kemana Polisi yang bertugas di sini!” Kojan geram melihat pos polisi itu kosong melompong, hanya di jagai dua helm berlambang kegagahan abdi negara dan pengayom masyarakat.
“Mungkin pulang, tidur siang barangkali,” celetuk Cotok tanpa dosa.
Polisi tidur!!! “Sekarang kita langsung ke Mapolsek saja, cepat!” perintah Kojan lagi seraya menepuk pundak Cotok. Dan sepeda motor itu pun berlari lagi.
“Pak tolong, sepeda motor saya di curi orang…” Kojan melapor, membeberkan semua uneg-uneg di hatinya sambil melolong.
Seorang Polisi berpangkat brigadir mencoba menenangkan Kojan. “Bertenang dulu, pak. Jangan panik begitu saya tidak mengerti maksud kedatangan anda ke sini. Tolong jelaskan dengan santai masalah anda.”
Santai??? Grrr!!! Motorku dicuri orang. “Sepeda motor saya di curi orang pak, pencurinya lari ke arah Jalan Sudirman, ke arah kota. Tolong pak, kejar cepat.” Hiba Kojan berlinang air mata.
“Oh, begitu. Kalau begitu isi dulu formulir laporan ini…”
“Nanti saja isi formulirnya pak. Cepat kejar dulu pencuri itu. Nanti keburu kehilangan jejaknya. Tolonglah pak.”
“Iya saya tau. Tapi ini prosedur. Isi dulu formulir ini!” bentak sang brigadir gusar.
Ada apa ini?” seorang inspektur mendekati.
“Ini Dan. Orang ini mau melaporkan bahwa motornya baru dicuri,” jawab sang brigadir.
“Iya betul pak. Setengah jam yang lalu motor saya di curi orang dan dilarikan ke arah kota,” timpal Kojan masih berlinang air mata.
“Setengah jam yang lalu?! Mengapa tidak segera di kejar?!” sergah sang Inspektur.
“Tapi kan harus isi formulir ini dulu, Dan,” sang brigadir mencoba membela diri.
“Bodoh! Seharusnya kamu tau. Kalau kejadiannya masih dalam hitungan beberapa menit yang lalu kamu harus langsung ambil tindakan, singkirkan dulu formulir celaka ini! Sebar anggota cepat! Tunggu apalagi? Kamu ngantuk?!”
Dasar polisi tidur! Pasti pencuri itu sudah kabur jauh sekarang. Hilang sudah motorku. Habislah aku dihajar istriku.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar