“Ya, aku Gery. Tapi maaf, kamu kenal aku?” Gery tidak merasa mengenal gadis yang berdiri di hadapannya itu.
“Kamu pasti udah lupa ya sama aku. Aku Tara, kita kan pernah satu SMU dulu,” gadis itu mencoba mengembalikan ingatan Gery akan dirinya.
“Tara ?” gumam Gery. Coba diingat-ingatnya apakah ada nama Tara yang tersimpan di memori kepalanya. Namun sia-sia, tak ada nama Tara yang melekat di pikirannya. “Maaf banget, aku benar-benar lupa siapa kamu,” lanjutnya masih dengan wajah kebingungan.
“Tara memang tak pernah ada artinya bagi kamu Ger,” ujar gadis itu lirih, guratan wajahnya tampak sedih. “Kamu ingat tiga sekawan kan ? Steffy, Nindi dan satu lagi teman mereka kamu ingat gak?”
“Tiga sekawan? Steffy, Nindi dan…Ta…ra, ya Tara,” gumam Gery. Sebuah nama sudah mampu muncul di ingatannya.
“Sekarang kamu sudah ingat kan sama aku Ger,” ujar gadis itu masih dengan senyum manis menghiasi wajahnya.
“Ya, Tapi...,” Gery agak enggan melanjutkan kata-katanya.
Gadis itu tertawa ringan tanpa beban. “Ya itu memang aku. Tara yang pernah kamu tolak cintanya.”
“Upss, sial banget. Ternyata emang benar dia Tara yang itu,” batin Gery lagi. Ada perasaan tak mengenakkan tumbuh di hatinya.
“Tapi itu kan masa lalu Ger, lupain aja. Sekarang kamu masih mau kan berteman sama aku?”
“Oh ya…tentu,” jawab Gery agak gelagapan.
Sesaat Tara menatap Gery, “kamu masih yang terbaik Ger,” batinnya. “Kamu sering kesini Ger?” tanyanya mencoba mencairkan suasana yang agak kaku.
“Ya, kalo lagi suntuk dan butuh inspirasi baru, aku ke sini.”
“Inspirasi? Inspirasi buat lagu ya. Dulu kan kamu anak Band.”
“Oh itu bagian dari masa lalu aku. Grup bandnya udah bubar. Anak-anak pada lanjutin kuliah keluar daerah, cuma aku yang masih bertahan disini,” ujar Gery lirih.
“Jadi kamu nyari inspirasi buat apaan dong.”
“Ya… inspirasi buat tulisan-tulisan aku.”
“Hebat. Dulu kamu main musik sekarang jadi penulis. Aku salut deh sama kamu Ger.”
Kali ini Gery yang tergelak. “Hebat apanya, aku cuma coba-coba nulis buat nyambung hidup. Oh ya, kamu kuliah di mana Ra?”
“Oh aku udah selesai kuliah tahun lalu, ngambil jurusan marketing di Singapura.”
Gery terdiam lagi, baru nyadar bahwa ternyata ia sudah masuk semester bonus. Teman-teman seangkatannya udah pada kelar kuliah ia masih sibuk nguber-nguber dosen di kampus.
“Maaf Ger, aku duluan ya? Ada janji nih. Boleh aku minta nomer handphone kamu? ujar Tara sebelum berlalu dari hadapan Gery.
***
Sebagai gitaris merangkap vokalis Grup band terkenal di kota itu semasa SMU dulu membuat Gery selalu jadi pusat perhatian, populer dan banyak cewek-cewek yang pengen jadi pacarnya, termasuk cewek-cewek tiga sekawan Steffi, Nindi dan Tara .
“Tara , kamu gak tau apa yang terjadi sama aku saat ini. Aku baru saja kehilangan orang yang paling spesial dalam hidup aku” pikirnya waktu itu. Yah, Gery baru saja kehilangan Angie, kekasihnya karena penyakit kanker hati yang di deritanya.
“Udah Ger terima aja, kasian kan Tara. Ia anaknya baik kok. Lagian kan dia Tajir,” saran teman-temannya.
“Sialan lu semua, lu pikir gue cowok matre. Lu aja sana yang pada jadian ama dia,” geram Gery mendengar saran nyeleneh teman-temannya.
Akhirnya Gery membalas surat cinta Tara dan sejak saat itu sampai mereka lulus dari SMU mereka tidak pernah lagi bertegur sapa.
Malam itu Gery begitu sulit memejamkan matanya. Sejak pertemuannya dengan Tara di toko buku sore itu membuat bayangan Tara selalu bermain dibenaknya. Ada perasaan tidak mengenakkan memenuhi hatinya.
“Tara, Tara. Mengapa aku harus bertemu kamu dalam kondisi yang seperti ini,” gumam Gery seakan menyesali keadaannya saat ini.
Tok, tok, tok. Suara ketukan di pintu kamar kosnya membuat Gery terbangun dari lamunan. Belum sempat Gery bereaksi tiba-tiba sesosok kepala sudah nongol dari balik pintu kamarnya, rupanya sebagian tubuhnya masih berada di luar.
“Maaf ganggu Ger. Gue pinjem laptop lu bentar ya? Laptop gue dipake cewek gue dikosannya, bisa kan ?” ujarnya kemudian.
“Sialan lu Jon, ngejutin gue aja. lu pengen gue mati muda,” semprot Gery kesal lamunannya dibuyarkan Jojon anak kamar kos sebelah.
“Lu jangan mati dulu dong Ger. Ntar sama siapa lagi gue bisa nebeng pinjem laptop. Tapi kalo laptop lu diwarisin ama gue boleh juga tuh,” jawab Jojon sekenanya.
“Ya udah, tu ambil sana . Tapi ingat, lu jangan asal colokin flashdisk aja. Ntar laptop gue kena virus lagi kayak kemarin. Lu kan tau, tu laptop asap dapur gue,” jawab Gery gak mau memperpanjang perdebatannya.
“Beres Ger, jangan kuatir. Pokoke laptop lu aman seaman-amannya ama gue” ujar Jojon langsung ngeloyor pergi usai mendapatkan hajatnya.
“Eh, main pergi aja gak nutup pintu,” gerutu Gery. Dengan malas ia bangkit dari pembaringannya menuju pintu, lalu dengan sedikit gerakan akrobatik dadakan dengan jail kakinya mendorong daun pintu agak kencang. Akibatnya, Braak!!! Pintu tertutup dengan suara yang cukup keras.
“Hoiii!!! Lu mau rubuhin rumah gue ya!” teriak Pak Uwak dari luar.
“Maaf Pak, gak sengaja. Tadi anginnya agak kencang,” jawab Gery mencoba meredakan kemarahan Pak kosnya.
***
Siang itu matahari begitu bersemangat memancarkan sinarnya, membuat Gery berulang kali menyeka keringat yang mengucur deras di wajahnya. Tangannya sibuk menggosok-gosok busi dan sesekali meniupnya. Kemudian dimasukkannya busi itu kembali ke sarangnya. Segera digenjotnya kick starter sepeda motornya berulang-ulang tapi tak ada respon yang berarti dari motor tua itu. Nafas Gery mulai ngos-ngosan. Akhirnya ia hanya bisa jongkok di samping sepeda motornya yang benar-benar ngambek, mogok semogok-mogoknya.
“Kenapa Ger?” sapaan Tara membuat Gery segera berdiri.
“Eh kamu Ra,” jawab Gery agak terkejut karena gak ada angin gak ada hujan Tara sudah ada di sampingnya. “Payah banget ni motor. Maklum udah uzur, pikun, letoy…pokoknya semuanya deh, lengkap,” sambungnya melepaskan unek-unek di hati.
“Gery, Gery. Pertanyaannya apa, jawabannya kemana-mana,” gumam Tara tersenyum geli melihat tingkah laku Gery. Sesaat matanya tak lepas menatap Gery. “Kamu memang tak pernah berubah di mata aku Ger, tetap yang terbaik,” batinnya.
Gery sempat terpana sesaat membalas tatapan Tara . “Tara , sebenarnya kamu anak baik, cuma dulu…” batinnya. Tapi buru-buru ia menarik tatapannya. “Kamu dari mana abis Ra, kok bisa ada di sini.”
“Oh…aku habis dari kantor, mau nyari makan siang,” jawab Tara agak gugup.
“Wah hebat, kamu udah kerja ya.”
“Aku kerja di kantor papa, tapi cuma untuk sementara sampai aku dapat kerja lain. Aku pengen mandiri.”
Gery melirik kearah sepeda motornya yang seolah teracuhkan. Entah dapat ide dari mana tiba-tiba dibukanya jok sepeda motor itu, lalu membuka tangki bahan bakarnya. “Ya ampun, kok gue jadi pikun gini sih. Pantas aja motornya ogah idup, ternyata…,”Gery tak berminat melanjutkan kata-katanya begitu melihat tangki bensin itu kering kerontang. Matanya bergerak kesana kemari mencari-cari kalau ada kios bensin di sekitar tempat itu.
“Mana ada kios bensin di sekitar sini,” gumam Gery setelah sadar ia berada di kawasan perkantoran.
“Ya udah Ger biar Aku antarin nyariin kios bensin. Tuh mobil aku diparkir di sana, abis itu kita makan siang ya,” Tara ngasi solusi yang ok banget.
***
Sesampai di kamar kosnya Gery segera membaringkan tubuh lelahnya di kasur tipis yang hanya dibentangkan begitu saja di lantai, nikmat sekali rasanya. Wajah Tara kembali muncul di benaknya. Saat makan siang tadi entah apa sebabnya Tara sempat curhat, kalo sampai saat ini ia masih sangat menyayangi seseorang tapi ia bingung bagaimana cara ngungkapinnya. Bahkan Tara mengaku ia belum pernah pacaran, alasannya ia cuma biasa mencintai satu orang. Tapi ia tidak menyebutkan siapa orang itu.
“Apa mungkin karena Gue ya, Tara bisa seperti itu. Kasian banget. Ups, kenapa gue jadi kegeeran gini. Gak mungkin Tara masih suka ama gue. Sekarang kan gue bukan Gery yang dulu lagi. Semuanya sudah berubah,” batin Gery dalam lamunannya.
Sejak orangtuanya bercerai dua tahun yang lalu kehidupan Gery berubah total. Memutuskan hidup mandiri. Bakat menulis yang ada pada dirinya dijadikan sebagai penopang hidupnya saat ini. Sebenarnya orang tuanya masih terus mencoba untuk memenuhi kebutuhannya tapi selalu ditolaknya. Ia terlanjur kecewa dan frustasi dengan keegoisan mereka. Apalagi sejak papanya beristri lagi dan mamanya sudah bersuami baru pula, Gery semakin menjauh dari orang tuanya.
****
Pagi itu tampak Gery duduk seraya melonjorkan kakinya di taman dekat parkiran khusus dosen. Ia sangat berharap sekali bisa bertemu Pak Ringgor dosen pembimbingnya untuk melaporkan hasil Revisi skripsinya yang dikoreksi Pak Ringgor seminggu yang lalu.
Kesabaran Gery dalam penantiannya pagi itu berbuah hasil. Tampak sebuah sedan berwarna abu-abu keluaran tahun lama berjalan dengan anggun memasuki parkiran kampus, ya cuma Pak Ringgor yang punya mobil seantik itu. Benar juga ternyata informasi yang didapat Gery dari pegawa tata usaha kampusnya bahwa Pak Ringgor akan masuk hari itu karena kegiatan seminarnya di luar kota sudah berakhir.
“Assalammu’alaikum Pak,” sapa Gery dengan sapaan tersopan yang ia punya ketika Pak Ringgor menghampirinya. Pak Ringgor tau Gery sedang menunggunya.
“Walaikum salam, kita diskusi di ruangan bapak saja Ger,” ajak Pak Ringgor terus masuk keruangannya.
“Gimana Ger revisinya, sudah selesai?” tanya Pak Ringgor ketika duduk di kursinya yang cukup empuk menahan tubuhnya yang tidak begitu besar.
“Sudah Pak, ini,” ujar Gery seraya mengangsurkan map di tangannya ke meja Pak Ringgor.
“Kamu bisa lanjut ke pembimbing dua Ger. Tapi saya rasa skripsimu sudah gak ada masalah. Usahakan supaya bulan depan kamu sudah bisa ikut ujian sidang skripsi,” ujar Pak Riggor begitu selesai membaca hasil revisi skripsi Gery.
“Terima kasih Pak, terima kasih,” hanya itu yang mampu diucapkan Gery. Kelegaan menyeruak di dadanya karena ia berpeluangnya untuk ikut ujian dan lulus tahun ini.
“Artikel ini kamu yang tulis Ger,” ujar Pak Ringgor seraya memperlihatkan sebuah majalah sains kepada Gery.
Gery melihat sejenak. “Oh iya Pak. Cuma coba-coba belajar nulis. Masih banyak kekurangannya Pak,” katanya merendah.
"Tapi menurut saya tulisan kamu ini menarik. Bahkan kontennya cukup berbobot, bisa menambah ilmu dan wawasan pembacanya, gaya bahasanya juga mudah dipahami oleh semua kalangan. Bagus banget Ger,” puji Pak Ringgor. “Saya punya tawaran menarik buat kamu Ger. Saya ingin membukukan hasil-hasil penelitian saya selama ini. Saya ingin kamu yang menjadi penulisnya karena saya tidak begitu cakap merangkai kata-kata yang bisa menarik pembaca. Jangan kuatir, semua datanya lengkap. Saya juga akan bantu kamu. Gimana, berminat?" sambung Pak Ringgor.
“Wah, berminat sekali Pak, Insya Allah saya akan kerahkan semua kemampuan saya untuk memenuhi tawaran bapak,” jawab Gery mantap.
“Oh ya, Ger, di rumah saya ada formulir pengajuan beasiswa untuk pendidikan S2. Kalau kamu berminat, besok saya bawa formulirnya. Saya akan bantu kamu mengurusnya,” ujar Pak Ringgor lagi.
***
"Alhamdulillahirobbil alamin ya Allah," ucapan tahmid berulang meluncur dari bibir Gery ketika sampai diparkiran sepeda motornya. Ia benar-benar memetik hasil panen perjuangan dan kesabarannya selama ini. Sesaat kemudian ia sudah berada di atas sepeda motornya yang meluncur dengan tenang kearah Restoran tempat ia makan siang kemarin dengan Tara . Barusan melalui pesan singkat di ponselnya Tara mengajaknya ketemuan lagi di tempat itu.
“Maaf Ra, kamu udah nunggu lama ya. Maklumlah, sobat ku yang satu itu sudah tidak mampu berlari kencang lagi,” ujar Gery begitu duduk di depan Tara .
“Gak apa-apa Ger. Kamu nyampe sini aja aku udah senang banget,” sambut Tara . “Gimana, sukses?”
“Alhamdulillah, sukses banget. Oh ya Ra, kemarin kamu kan yang traktir aku. Sekarang giliran aku yang traktir kamu. Barusan aku dapat honor dari majalah yang memuat artikelku,” kesan keceriaan tampak jelas di wajah Gery.
Tara menatap Gery. “Kamu senang banget ya, Ger, hari ini. Aku juga ikut senang liat kamu bersemangat kayak gini,” lalu ia terdiam sejenak. “Tapi…sebenarnya aku mau ngomong sesuatu sama kamu, kamu jangan marah ya?” ujarnya pelan.
Gery hanya tertawa ringan. “Ngomong aja deh, aku gak bakal merusak suasana yang menyenangkan ini dengan kemarahan. Ayo ngomong aja.”
“Ger, aku….,” Tara kembali terdiam. “Aku, aku masih sayang sama kamu. Aku gak bisa lupain kamu. Mungkin memang tak sepantasnya seorang wanita ngungkapin cintanya pada seorang pria, tapi aku tersiksa dengan perasaan ini Ger. Aku pasrah apakah kamu masih akan menolakku seperti dulu,” dan bulir-bulir bening tampak berguguran di pipi halusnya.
Sesaat Gery diam terpaku, tak menyangka Tara masih punya perasaan seperti dulu padanya. “Ah Tara , andai saja kau tau bahwa aku juga suka kamu,” batinnya. Tapi yang keluar dari mulut justru lain. “Tara , kamu itu baik, cantik bahkan sudah mapan. Pasti banyak laki-laki yang jauh lebih baik dari aku untuk dapetin cinta kamu.”
“Tapi kamu yang terbaik Ger, kamu yang terbaik…,” bulir-bulir bening kembali membasahi pipi Tara .
“Tara , sekarang aku bukan Gery yang dulu lagi. Sekarang aku cuma seorang penulis amatiran. Kuliah aja belum kelar,” Gery mencoba mengingatkan Tara akan keadaannya saat ini.
“Gery, sejak dulu aku suka sama kamu apa adanya. Apapun kekurangan dan kelebihan kamu aku terima. Rasa sayang aku tulus sama kamu, Ger,” kali ini Tara tampak begitu yakin dengan kata-katanya.
“Tara …aku juga sayang kamu. Maukah kamu menjadi wanita yang spesial dalam hidupku?” ujar Gery lembut.
“Gery, jadi kamu…,” Tara tak mampu lagi berujar, hanya pipinya yang semakin basah oleh air mata bahagia.
“Iya, bener, aku juga sayang kamu, sepenuh hatiku,” jawab Gery sambil tersenyum tulus. “Tapi pipi kamu kebanjiran tuh. Bersiin dulu ya, malu diliat orang,” sambungnya seraya mengusapkan jari tangannya dengan lembut di pipi Tara .
Wajah manis Tara begitu bahagia siang itu. Terlepas sudah rasa dahaganya akan cinta selama ini. Cintanya terbalas dengan indah. Gery juga merasakan kebahagiaan yang sama. Akhir yang Indah.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar