XXX Discotique, jam 00.15 dini hari. Romeo hanya duduk termangu mendalamkan pandangan kosongnya, menghampakan hatinya, tak memedulikan hentakan musik yang menggeletarkan gendang telinganya dengan suara hingar bingar, tak ambil pusing dengan puluhan pasang pria dan wanita yang tak kenal lelah meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti irama musik. Sesekali ia menggosok-gosok matanya yang terasa agak perih dan mulai berair, asap rokok yang memenuhi rata tempat itu penyebabnya, plus kilauan lampu disko yang menyilaukan mata.
Menderita, itulah yang dirasakannya. Walaupun dalam bulan ini adalah kali yang kelima ia mengunjungi tempat “dugem” itu, tetap saja ia seperti orang asing yang sulit beradaptasi dengan suasana “dunia barunya”, dunia yang tiba-tiba muncul di kehidupannya. Ia meraih botol air mineral di depannya, mereguk air beberapa tegukan, hanya itu yang dilakukannya selama hampir satu jam sejak ia berada di tempat itu. Membosankan.
“Sendirian, bang?” sapaan itu membuat Romeo memindahkan pandangan ke sisi kirinya, seorang wanita muda berbusana pas-pasan berdiri di situ, menampakkan seyuman penuh arti.
“Saat ini, ya,” jawab Romeo pendek. Udah tau nanya. Tapi sejenak, ia seakan terhanyut memandang wanita itu. Bahaya nih, bisa-bisa aku masuk perangkap syetan-syetan jelek bertanduk itu lagi. Cepat-cepat ia memalingkan wajahnya, memaksa matanya agar tidak menatap “manusia primitif” itu lebih lama. Abis, busananya mirip banget sama pakaian yang dipakai oleh manusia yang hidup di zaman batu. Apalagi wanita itu berulang kali menampakkan senyum nakalnya untuk menjerat hati pria yang rapuh.
“Boleh duduk di sini, bang?” kata wanita itu lagi, memainkan rokok yang menyelip di jari-jari tangannya.
“Yaaah…silahkan,” sahut Romeo agak terbata, jelas-jelas menunjukan rasa keberatannya dengan kehadiran wanita itu. Gawat! Syetan-syetan itu pasti sedang mengintaiku sekarang. Segera ia menggeserkan tubuhnya agak menjauh dari wanita yang dengan enteng menghenyakkan tubuh di sampingnya. Ia merasakan aroma keharuman yang aneh dengan cepat memenuhi sekitar hidungnya. Bau neraka!
Huss! Jangan seenaknya menghujat orang, kena jeratnya baru tau rasa! Tuh liat, dia mulai beraksi. Waspada! syetan-syetan sudah mulai berkerumun di sini.
“Kenalin, saya Viona, abang siapa?”
“Romeo.”
Sial, pelit kata banget nih cowok, batin Viona mengumpat. Belum kenal gue sih. Liat aja, ntar gue bikin klepak-kepluk-klepok, nih cowok. Dan ia termasuk wanita yang pantang menyerah untuk menaklukkan pria. “Romeo, kok sendirian? Pacarnya mana? Atau lagi nyari ya?”
“Saya lagi nungguin teman, dia ada urusan sebentar,” lagi-lagi jawaban yang hemat kata dan dingin yang keluar dari mulut Romeo.
Viona diam sesaat, dan menatap Romeo dalam-dalam. Sialan nih cowok, gue nanya apa, jawabnya kemana-mana, nguji kesabaran gue, nih. Tapi malah lebih asyik, membuat gue makin penasaran. Biasanya cowok-cowok yang gue dekatin, bisa gue taklukin hanya dengan sejurus dua jurus, tapi cowok ini lain, langka. Ia kesal dan penasaran karena tidak mendapat jawaban yang diharapkannya dari Romeo. Tapi ia terus mencoba memasang jerat. “Jadi, Romeo emang benar-benar lagi sendirian, ya? kalo gitu biar Viona temenin aja, ya? biar nggak kesepian.”
Romeo mengeluh dalam hatinya. Godaan apalagi ini, nggak tau apa dosa-dosaku udah numpuk. Sial! Bang Roki dan Joni lama banget sih, perginya. Keburu aku dijerat syetan kalau lama-lama di sini. Cobaan, cobaan. Tapi cewek ini semakin dicuekin malah semakin ngotot. Ia berusaha memasang wajah senetral mungkin. “Mana bisa aku kesepian di sini. Liat aja, tempat ini rame banget kayak orang lagi ngerubutin tukang jual obat di pasar, suaranya musiknya juga keras banget. Jelaskan? Kalau aku lagi nggak kesepian,” ujarnya kalem.
Tapi hal itu malah membuat Viona semakin bersemangat menyerangnya dengan trik-trik rayuan terhebatnya. “Romeo, Romeo, kamu lucu banget, ya? aku suka lho sama cowok lucu,” ujar Viona dengan nada genit, gerak tubuhnya diolahnya sedemikian rupa seperti ular abis digaramin.
Lucu? memangnya aku pelawak, apa!
Pelawak sih, bukan, tapi...penjahat, iya.
Sial.
“Turun, yuk?” ajak Viona, tanpa sungkan-sungkan tangannya meraih tangan Romeo, mengelusnya perlahan.
Romeo terkesiap. Aku pemuda normal. Darahnya berdesir cepat. Benar-benar sial! Kalau terus dipepet kayak gini, pintu neraka bakal terbuka lebar untukku. Ia menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Viona. Seketika rona merah membias di wajah Viona, sedikit tersinggung atas perlakuan Romeo.
Romeo cuek aja. “Turun ke bawah? Maaf, aku lagi nunggu teman, nggak mungkin aku tinggal keluar,” katanya berlagak polos.
“Rom, aku nggak ngajak kamu turun ke lantai satu. Maksud aku ajojing, kayak orang-orang di depan sana ,” tunjuk Viona pada puluhan orang yang asyik masyuk menggeliat-geliatkan tubuhnya seperti cacing kepanasan.
“Nggak, ah, lagi bad mood, kamu aja yang turun,” tolak Romeo. Aku harus cari akal, biar cewek ini nggak mengangguku lagi. Hmmm, itu dia yang kucari, Freddy, kayaknya cocok buat nih cewek.
Romeo mengenal Freddy beberapa sebulan yang lalu, seorang pria bule yang fasih sekali bercas, cis, cus berbahasa Indonesia , maklum menurut ceritanya ia lahir dan besar di Palembang . Kedua orang tuanya bule tulen asal Kanada. Sejak ibunya meninggal, ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita lokal. Tapi ternyata itu juga awal dari keguncangan hidup yang menimpanya. Ayahnya yang memang sering berpergian ke luar negeri, selalu menitipkan jatah biaya hidupnya kepada ibu tirinya yang ternyata cukup lihai menilap bagiannya itu. Freddy yang terbiasa hidup berkecukupan, stress berat menghadapi ulah ibu tirinya yang belakangan berhasil menghasut ayahnya untuk mengurangi pemberian jatah untuknya. Akibatnya, hobi mabuknya tersalurkan. Kasian banget.
“Sebentar, ya,” Romeo bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju ke sudut ruangan, mendekati Ferddy yang lagi asyik menenggak minuman penghilang rasanya. Sejenak ia berbicara dengan Freddy. Pria itu menolehkan kepalanya ke arah Viona yang masih duduk di tempat semula sembari mengepul-ngepulkan asap rokoknya, mencoba menutup kegusaran dan penasarannya terhadap Romeo. Sejenak Freddy mengangguk-angguk, sedikit menyeringaikan senyum, menyetujui tawaran Romeo. Viona, aku datang.
Romeo kembali berjalan ke sofa tempat ia duduk semula bersama Viona, langsung duduk dan tak seperti sebelumnya, ia langsung mengajak Viona berbicara dengan santai.“Kamu sudah sering ke sini.”
Viona menyambutnya dengan mata yang berbinar cerah. “Hampir tiap malam aku selalu ke sini, karena di sini aku bisa ngelupain semua masalah kehidupan aku di luar sana . Di sini aku seperti menjadi orang lain, bebas ngelakuin apa aja yang aku mau.”
Romeo manggut-manggut aja. “Oh, gitu, ya.”
“Kamu juga sering ke sini, kan? Aku pernah melihat kamu beberapa kali di sini. Tapi kamu kayaknya…” tiba-tiba Viona menghentikan ucapannya ketika seorang pria dengan tubuh agak limbung berlutut di sampingnya.
“Oh, Amanda, kemanah aza khau selama ini. Akhu selalu setia menungghu jawabanmu atas pernyathaan cintakhu,” ujar pria itu seraya meraih tangan Viona.
“Heeeh, siapa sih, nih orang! enak aja ngubah-ngubah nama orang. Gue Viona, bukan Amanda!” pekik Viona menumpahkan kekesalan bercampur panik.
“Amanda, aku…”
“Sialan, nih orang!” sungut Viona, segera berdiri, berjalan dengan setengah berlari menuju ke tumpukan orang-orang yang lagi asyik berajojing ajup-ajup ria, menenggelamkan dirinya di dalam kerumunan itu.
“Amanda, tunggu, ayem koming!” seru Freddy yang memang mabuk berat itu, memburu langkah menyusul Viona.
He, he, kena juga tuh cewek aku kerjain. Romeo terkekeh sendirian melihat adegan drama romantis konyol gratisan hasil rekaannya. Payah, dikasih teman malah kabur.
“Asyik benar ketawanya, masih betah di sini, Rom,” Roki tiba-tiba sudah duduk di sebelah Romeo, sedangkan Joni masih berdiri di seberang meja sambil menepuk-nepuk tas pinggangnya.
“Eh, kalian berdua, gimana? Udah selesai? Aku udah gerah di sini, nggak enak banget,” Romeo segera menumpahkan uneg-unegnya.
“Oke lah, urusan kita juga udah selesai. Kelamaan di sini, ntar masalah malah datang tanpa diundang,” ujar Roki. “Spion dua terpasang mendadak!” sambungnya sambil mengedarkan pandangannya beberapa saat. “Spion dua terpasang mendadak” merupakan istilah Roki untuk razia mendadak yang kadang-kadang dilakukan aparat penegak hukum di diskotik itu.
“Ayo, kita langsung meluncur aja,” ajak Romeo, segera berlalu diikuti Roki dan Joni. Mereka bertiga langsung keluar dari tempat itu.
Sesaat kemudian mereka sudah berada di atas sepeda motor, berboncengan tiga, Roki, Joni dan Romeo. Roki mengendalikan sepeda motor dengan santai, tidak terlalu kencang, sepertinya ia ingin menikmati perjalanan malam, menyusuri jalan Riau Ujung yang sudah sepi dari kendaraan-kendaraan.
Mendekati persimpangan jalan Riau dan Sukarno-Hatta, Roki memelankan laju sepeda motor. Namun tiba-tiba dari arah samping kanan, dari jalan Sukarno-Hatta, sebuah mobil melaju dalam keadaan yang tidak stabil, oleng ke kiri dan ke kanan dan langsung memotong jalan sepeda motor yang ditumpangi ketiga orang itu, dan karena terkejut Roki kelabakan mengendalikan sepeda motornya, sampai akhirnya memasrahkan tunggangannya rebah di badan jalan, dan tanpa ampun mereka bertiga jatuh berserakan di jalan.
Romeo bangkit dengan tubuh sempoyongan. Sesaat pandangan nanarnya menangkap banyak bintang yang beredar di atas kepalanya. Dan ketika kesadaran memasukinya kembali, kegeraman dengan cepat menjalarinya. Sekarang emosinya begitu mudah terpancing! Ia meraih helm Roki yang terlepas, lalu dengan kemarahan yang luar biasa, ia menghela sepeda motor, naik dan segera melaju mengejar mobil yang barusan hampir mencelakainya dan teman-temannya. Enak aja, udah hampir nyelakain orang malah kabur. Woiii, tunggu, awas kau! Yamaha RX King yang dikebutnya sepenuh hati sepenuh jiwa dengan mudah menyusul buruannya yang kelihatannya kehilangan sentuhan membalapnya. Begitu berada di sisi kanan mobil, serta merta Romeo mengayunkan helm di tangannya ke arah kaca samping mobil itu, hasilnya kaca mobil di sisi pengemudi hancur berantakan. Mobil langsung berhenti, seorang pria tambun bermata sipit segera keluar, sumpah serapah mengalir lancar dari mulutnya sambil mengacung-acungkan pistolnya ke arah Romeo,.
“Keparat, sapi ngepet ! Mau gua ledakin pala lu hah!!! Dasar monyet sirkus idiot, cari mampus!” semprot pria itu sambil berjalan dengan agak terhuyung mendekati Romeo yang sudah turun dari sepeda motornya.
Romeo diam saja, tak memedulikan aliran makian pria yang sedang berjalan ke arahnya itu. Matanya menatap tajam ke arah pistol yang diacungkan kepadanya, menghitung gerak langkah limbung orang yang semakin mendekatinya. Mabuk! Orang ini mabuk berat, aku harus bisa manfaatin keadaan ini, kalau tidak, pistol itu bisa meledak dan mencelakaiku.
Ia coba mengatur nafasnya yang mulai agak sulit diatur. Dari kejauhan tampak Roki dan Joni sedang berlari ke arahnya. Uhhh, masih jauh, mereka takkan bisa menolongku. Sial! Kalau orang ini nggak lagi ngokang beceng udah dari tadi aku jungkir balikkan. Kalau yang dipegangnya pisau sih, masih lumayan, aku masih punya waktu untuk menghindar atau merebutnya, tapi ini...mana mungkin gerakanku lebih cepat dari lesatan peluru. Keputusasaan hampir menguasainya.
“Lu tau nggak, harga kaca mobil gua yang lu pecahin lebih mahal dibandingkan harga nyawa lu. Sekarang lu bayar pake nyawa lu kaca mobil gua yang pecah. Hehehe, mati lu sekarang, lu mampusss, gua puasss,” racau orang itu, pistol di tangannya terarah tepat ke kening Romeo.
Keringat dingin mulai terbit di pelipis Romeo. Apa akalku sekarang. Apakah jurus ‘kecepatan dan kesigapan tangan’ masih bisa kuandalkan saat ini? Ah, mengapa aku jadi apatis gini. Udah jelas hidup dan mati hanya Allah yang menentukan. Ia mencoba mengumpulkan keberanian di tengah ketakutannya. “Enak aja kau meremehkan nyawa orang, takkan kulepas nyawa ini dengan mudah. Kau mau ngambil lahannya malaikat Izrail, ya. Salah-salah nyawa kau yang dicabutnya,” ejeknya, dan begitu mampu bersuara, hawa hangat dengan cepat menjalari tubuhnya yang semula dingin karena menahan cemas dan takut. Yakinlah, hidup dan mati hanya Allah yang menentukan. Yakinlah...
Kegeraman pun tampak segera menguasai orang itu. “Klik,” ia mengokang pistolnya, siap memuntahkan peluru. Tapi tangannya terlihat gemetaran. Sesekali pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya sedang berusaha memperbaiki kualitas pandangannya, pusing.
Benar-benar mabuk, nih orang. Tatapan mata Romeo tetap tak lepas dari senjata pembunuh lawan. Ia terus mengumpulkan keberanian untuk mengambil keputusan yang tepat dan cepat demi menyelamatkan selembar nyawanya. Ia menumpuk tenaga di kedua tangannya, dan siap menggerakkan tangannya secepat kilat. Saatnya jurus ‘kecepatan dan kesigapan tangan’ beraksi lagi.
Beberapa detik bola mata Romeo berputar menatap mata pria mabuk itu dan dengan bodohnya mata pria itu mengikuti putaran mata Romeo. Dan, dalam sepersekian detik, “Tap,” tangan kanan Romeo berhasil menangkap pergelangan tangan lawan yang memegang pistol, mendorongnya dengan sekuat tenaga ke atas. Lawan tentu tidak tinggal diam, mengobral tenaganya demi berusaha menurunkan dan membelokkan posisi pistolnya ke arah Romeo. Sesaat adu kekuatan terjadi. Benar-benar menegangkan!
“Dor! Dor!” dua kali letusan terdengar memecah kesunyian malam dini hari itu, tapi masih belum ada korban. Peluru hanya melesat ke udara kosong. Romeo dan pria tambun mabuk itu masih sibuk bergelut.
Batin Romeo bermain peran. Bodoh! Kenapa nggak kepikiran dari tadi, kedua kakiku masih nganggur.
Liat tuh, dada lawan kosong tanpa pertahanan, hajarrr, cepat!
Ok! Jurus selanjutnya, nih terima, sodokan maut….
Didahului dengan gerakan setengah melompat, “bugh!” lutut kanan Romeo menghantam telak rusuk lawan yang tak terlindungi, padahal sebenarnya ia mengincar dada pria itu, tapi malah meleset ke rusuknya. Tapi boleh juga tuh, manuver yang dilakukannya. Sekali, dua kali, dan saat kali ketiga lututnya berhasil menohok rusuk lawan, pistol di tangan lawan yang teracung ke atas, lepas, jatuh ke jalan. Usaha bagus, sekarang tinggal finishing tauch.
Keadaan berbalik sekarang, pria tambun itu terduduk di aspal sambil memegangi rusuk kirinya, rasa nyeri di tulang rusuknya membuat ia begitu sulit menghela nafas, sakit. Hanya erangan yang tak jelas yang keluar dari mulutnya. Sejenak Romeo memandangi lawan yang sudah tak berdaya, tapi hal itu malah memancing rasa kasihannya. Emosinya yang sempat membanjiri kepalanya perlahan menyurut, habis. Nggak jadi deh, finishing touch-nya. Ia melirik pistol yang tergeletak sekitar setengah meter di sampingnya, seketika kaki kirinya terjulur dan menendang pelan benda berbahaya itu hingga agak menjauh darinya. Roki dan Joni sudah berhasil mendekat, langsung menghampiri pria tambun yang masih terduduk, linglung, dan mabuk.
“Ini orangnya yang hampir nyelakain kita barusan, nih terima!” seketika Roki melayangkan tendangannya ke arah muka pria mabuk itu, mengena telak, menghempaskan tubuh pria itu dan terguling di jalan.
“Udahlah bang, dia udah terima ganjarannya,” Romeo mencoba meredakan kemarahan Roki yang terlihat masih antusias untuk menambah penderitaan pria tambun itu. Ia mulai diliputi kecemasan. “Sebaiknya kita cepat pergi dari sini, ntar ada yang liat, ayo cepat!” ajaknya seraya naik ke atas sepeda motor diikuti Roki.
Tapi Joni belum puas. “Tunggu sebentar! Aku belum kebagian jatah, aku numpahin perasaan dulu,” ujarnya sambil berjalan mendekati balok penyangga sisi trotoar yang terlepas, keningnya berkerut, dan wajahnya menegang saat mengangkat balok semen itu, berat maaak! Dengan sekali ayun, balok itu terjun bebas menimpa kaca depan mobil sedan mewah bermerk BMW yang pasrah menanti, “byaaar!!!” pecah berantakan, sekaligus menghancurkan isi di dalamnya. Dan…”bugh!” Joni masih sempat menyarangkan tendangannya ke perut pria tambun yang sedang ternganga melihat proses penghancuran kaca mobilnya. Mereka bertiga segera melaju di atas sepeda motor, meninggalkan pria tambun yang memasrahkan tubuhnya tergeletak di jalan.
Romeo menggeram. Salah sendiri ngapain mabuk, kehilangan akal, dapat masalah kan ? mobil penyok plus badan bonyok. Kenapa sekarang aku jadi beringas, ya.
Dasar anggota geng!
Arrrggghhh…cukup!!!
Romeo menarik gas sepeda motor sesuka hatinya sehingga menghasilkan bunyi yang memekakkan dan memecahkan kesunyian malam. Sepeda motor bermuatan tiga orang itu terus melaju meraung-raung membelah jalan Riau Ujung. Melewati Mall Ciputra, dan traffic light persimpangan jalan Riau ujung, belok kiri ke jalan Yos Sudarso, melewati Hotel Mutiara Merdeka, dan terus melaju melintas di atas jembatan Leighton yang berada di atas sungai Siak. Roki dan Joni terpaksa mempererat pegangannya ketika Romeo semakin menambah kecepatan laju sepeda motor, mereka berdua pasti sedikit heran dengan sikap Romeo yang tidak seperti biasanya, kalem. Mereka melintas kencang depan tugu Lancang kuning Rumbai, terus melaju hingga mencapai traffic light Umban Sari. Tiba-tiba terdengar suara menderit tajam ketika Romeo menarik rem tangan dan menginjak rem kaki dengan tiba-tiba, sepeda motor langsung berhenti. “Aku turun di sini aja,” ujarnya pendek kepada Roki dan Joni yang masih bengong, seperti ayam yang baru terjaga dari mimpi buruk.
“Kok turun di sini, Rom, rumah kamu udah dekat, ya,” kata Roki ketika menerima giliran mengendarai sepeda motor.
“Rumah abang di mana? Kami juga pengen tau rumah abang di mana, kan kalau ada apa-apa kami bisa meluncur dengan cepat nyari abang. Nggak kayak biasanya, harus janjian dulu lewat HP, trus jemput abang di pasar Kodim,” sambung Joni.
Romeo menghela nafas sesaat. “Aku hanya mengharapkan pengertian kalian berdua. Bukannya aku tidak mau kalian mengetahui alamatku, tapi ini hal yang sulit untuk dijelasin, tolong pahami aku,” ujarnya lirih.
“Ok, Rom, aku paham kok, kalau gitu kami jalan dulu, ya?” ujar Roki kemudian, bersiap menggeber sepeda motornya.
“Yok, Bang Romeo,” pamit Joni.
“Hati-hati, ya,” sesaat Romeo menatap kedua temannya yang sudah melaju meninggalkannya, semakin jauh dan menghilang dari jangkauan terjauh pandangannya.
****
Romeo membuka paksa matanya ketika suara alarm HPnya berdering tajam dan mengorek-ngorek kupingnya. Jam setengah enam. Ia mematikan sumber suara yang baru saja mengusili kenikmatan tidurnya. Ia duduk sejenak di sisi ranjang, dan setelah berada dalam kesadaran penuh ia melangkah keluar kamar menuju kamar mandi.
Seperti biasa sesudah sholat subuh, ia duduk bersimpuh di atas sajadah. Mengapa aku bisa sebrutal itu. Bayangan kejadian beberapa jam yang lalu segera menghampiri benaknya.
Lengkapnya, brutal dan kejam, sikapnya gengster sejati. Yaaah, kesempurnaan seorang pendosa-lah.
Begitu banyakkah syetan-syetan yang bersarang di dalam hatiku, sehingga makhluk-makhluk terkutuk itu dengan leluasa menusukkan racun dosanya di sana , dasar makhluk laknat!!!
Kau sendiri yang membiarkan pintu hatimu terbuka selebar-lebarnya buat makhluk terkutuk itu sehingga mereka penjadi penghuni setia bahkan bebas beranak pinak dan membuang kotoran di sana . Abis, kamu lemah banget sih, lemah dan bodoh tepatnya. Sudah tau syetan-syetan itu akan memuluskan jalanmu ke neraka, eeeh, bukannya melawan malah nurut aja kayak kerbau ditindik hidungnya. Pasrah gitu, loh.
Ya, tepat sekali, aku memang lemah, bodoh, bodoh, bodoh...
Ia melirik Al Qur’an yang terletak di atas lemari.
Ya Allah, betapa aku sangat rindu sekali untuk menyentuh kitab sucimu itu, menikmati membacanya dengan khusuk, memahami ayat-ayatnya dengan hati yang terbuka dan mengamalkannya dengan ikhlas dalam mengarungi kehidupan di dunia yang semakin renta ini. Sudah lama sekali, ya Allah, sudah lama sekali aku tidak mampu menyentuhnya apalagi membacanya, memahaminya, dan mengamalkannya....jauh sekali. Aku menderita, ya Allah, menderita karena kelemahan dan kebodohanku sendiri, tolong ya Allah, tolong....
Hanya sebuah pengakuan, semua orang juga bisa. Detik ini mengakui dosa, detik berikutnya menambah dosa lagi, kasiaaan.
Aku lelah.
Akhiri semua.
Cukup.
Kembali ia merebahkan tubuh di atas ranjang, menguap beberapa kali sambil menerawangkan pikirannya. Beberapa bulan yang lalu ia masih seorang pemuda yang polos, membunuh semut yang menggigiti tubuhnya pun sepertinya ia enggan. Tapi sekarang, setiap saat kekerasan begitu mudah menghampirinya. Dalam alam sadarnya, kelakuannya semakin berubah, karakter keras mulai mengakrabi dirinya. Begitu mudah emosi kemarahan menguasainya, menghajar orang seperti yang dilakukannya dini hari tadi, beberapa hari kebelakang, dan seterusnya. Yah, aku memang anggota gengster sekarang.***
Bersambung Ke Bagian 6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar