Selasa, 04 Januari 2011

Romeo Don't Cry, Bagian 6 : Plastic Four, oleh Firman Al Karimi


“Assalamu ’alaikum, Nisa,” sapa Romeo pagi itu, saat di kampus.
Nisa menoleh dan menurunkan bentangan koran yang dibacanya. “Wa ‘alaikum salam,” jawabnya sambil tersenyum.
Romeo duduk dengan agak menjaga jarak di samping Nisa.“Wah, lagi asyik baca koran, nih.”
“Ini lagi baca berita kriminal. kayaknya tingkat kejahatan nggak pernah berkurang, ya. Setiap hari selalu aja ada berita kriminal di media massa, nih contohnya,” ujar Nisa sambil menyodorkan koran yang barusan dibacanya kepada Romeo.
“Kabar Riau, Senin. Erik Wijaya, pengusaha dan pemilik hotel Ax Glory, ditemukan dalam kondisi babak belur dan tergeletak di jalan Riau ujung, sekitar 400 meter dari  Mall Ciputra. Brigadir Roby, petugas patroli jalan raya yang menemukannya mengatakan bahwa mobil sedan BMW milik korban juga dalam keadaan rusak berat, sepucuk pistol juga ditemukan tak jauh dari lokasi kejadian. Polisi masih terus melakukan penyelidikan atas kasus ini...”
Sesaat Romeo tertegun membaca berita di koran itu, dahinya berkerut, dan tiba-tiba jantungnya berdegup tidak teratur. Wah, kacau! Gimana nih, kejadian semalam dimuat di koran ini. Ketahuan polisi kalo kami pelakunya, bahaya....
 “Kamu kenapa, Rom?” tanya Nisa, keheranan melihat ekspresi yang ditampakkan Romeo.
“Ohhh, nggak apa-apa. Cuma agak miris aja baca berita ini, yaaa…miris dan membosankan. Seharusnya berita yang kayak ini nggak usah dimuat, hanya memancing orang untuk berbuat serupa,” jawab Romeo asalan.
“Tapi kita kan juga perlu tau kondisi keamanan kota ini, agar kita bisa lebih waspada,” protes Nisa agak bersemangat, tapi kemudian gadis itu agak tercenung sejenak. “Tapi nggak usah dipikirin deh berita ini. Lebih baik kita membicarakan masalah skripsi aja,” ujarnya mengalihkan topik pembicaraan, merasa tidak enak karena telah mendebat Romeo.
 Nggak apa-apa kok, Nisa, santai aja lagi. “Nah, itu lebih menarik. Jadi waktu kita tidak terbuang sia-sia hanya untuk mendebatkan hal-hal yang kurang berguna,” sambut Romeo segera.
“Kira-kira kita bisa, nggak yah, kita selesai kuliah tahun ini.”
“Semuanya tergantung usaha kita, Nisa. Kalo kita berusaha keras, Insya Allah pasti bisa. Walaupun pada akhirnya kita nggak bisa selesai kuliah tahun ini, minimal kita sudah berusaha, iya, kan?” Romeo mengakhirkan kalimatnya dengan seberkas senyuman.
“Iya, deh, aku setuju, yang penting kita terus berjuang, ya? merdeka!” seru Nisa penuh semangat.
Sejenak Romeo hanya tergelak ringan melihat ungkapan bernada heroisme Nisa, dan menyempatkan memandangnya beberapa detik. Nisa manis juga, ya?
Nisa memang cantik, kulitnya yang putih bersih tercermin dari wajahnya yang menyembul di balik jilbabnya, jari-jari tangannya halus dan lentik, hidungnya tidak terlalu mancung namun tampak serasi berpadu dengan sepasang matanya yang selalu bersinar indah, dan bibirnya yang selalu merah basah berhias senyum manis. Tapi yang membuat Nisa tampak cantik di mata Romeo adalah selera berbusananya yang Islami, semakin menegaskan keanggunan yang terpancar dari dirinya, sehingga julukan Bidadari surga pantas diberikannya  pada gadis itu.
Nisa, apakah aku menyukaimu? boleh dan pantaskah aku memiliki perasaan itu? Sejenak kembali Romeo mencuri pandang kepada Nisa, ufff,  lalu secepat kilat ia menarik kembali pandangannya seraya mengatur nafas, berusaha meredakan getar-getar aneh yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Astaghfirullaah, seharusnya aku tidak boleh ngelakuin itu, Nisa gadis yang baik, kalo pun perasaan ini memaksaku menyukainya, biarlah kupendam aja. Nisa, kamu adalah Bidadari surgaku, dan aku hanyalah seorang pemuda miskin, miskin iman penuh dosa. Apakah pantas aku mengharapkan bahwa kamu akan berjodoh denganku kelak? hatinya masih tetap diselubungi getaran-getaran aneh.
Kayaknya aku jatuh cinta, deh.
Boleh, asalkan tidak melebihi cintamu pada Allah. Tapi sayang, saat ini kau sudah jadi  gengster sejati!
Nisa mengalihkan pandangannya ke tumpukan buku di sebelahnya.
Membuat batin Romeo terus bergumam. Mungkin ia tau, kalo tadi aku sempat memandangnya. Nisa, apakah nun jauh di relung hatinya, ia juga sedang menimang-nimang perasaannya.
Jangan geer, dong.
Tapi sah-sah aja kan kalo aku sedikit berharap.
Harapan seorang pendosa.
Sial!
Ingatan Romeo melayang mundur ke masa tiga tahun yang lalu. Saat itu, walaupun sudah hampir  dua bulan berada di dalam ruangan kuliah yang sama, ia dan Nisa tidak pernah saling bertegur sapa. Entah karena sedang menjalani proses adaptasi di lingkungan baru atau memang karena mereka berdua mempunyai sifat yang sama, pendiam. Pertamakali ia terkesan akan kebersihan hati Nisa, ketika sebuah mobil mungil berwarna merah muda yang ditumpangi gadis itu memerciki bajunya dengan sedikit air yang menggenangi jalan ketika ia baru turun dari angkot di depan gerbang masuk kampus. Saat itu Nisa langsung turun dari mobilnya, berkali-kali meminta maaf demi menyatakan penyesalannya. “Maaf banget ya, aku udah membuat baju kamu basah, maaf aku nggak sengaja,” ujarnya saat itu seraya  mengusap lembut bagian lengan baju Romeo yang agak basah dengan sapu tangan putih bersihnya, membuat Romeo sedikit rikuh dan salah tingkah.
 Sebelum itu, Romeo menganggap Nisa sebagai gadis  high class yang tak mungkin mau berinteraksi dengan orang seperti dirinya, mahasiswa yang nyambi bekerja sebagai pramuniaga di sebuah minimarket sekadar untuk menyambung hidup dan membiayai kuliah. Tapi di hari-hari selanjutnya sejak peristiwa itu, sapaan dan salam Nisa selalu menghampirinya. Prasangkanya terhadap Nisa terlepas tak berbekas sejak peristiwa itu.
“Rom, kamu ngelamun, ya? handphone kamu bunyi, tuh,” teguran Nisa seketika membuyarkan penjelajahan lamunannya di masa lalu.
“Astaghfirullaah, siapa nih yang nelpon,” Romeo agak gelagapan, malu ketahuan melamun, dan segera meraih ponsel dari saku. Nisa cuma menggariskan senyumnya melihat ekspresi temannya yang agak gugup itu.
Romeo menjawab panggilan telepon. “Assalamu ‘alaikum. Aisyah, ya? Abang kira siapa, lagi di mana, nih. Di depan kampus? Ya, ya, bisa, abang lagi nggak kuliah kok, abang ke sana, ya?” Aisyah..., Alya, ohh,  kenapa aku jadi teringat sama adikku lagi, ya?
Sekilas, ia melirik Nisa yang sedang asyik menikmati menatap kupu-kupu yang melayang ringan dan hinggap di kelopak bunga di taman kampus, seakan tidak ingin mencuri dengar pembicaraannya.
“Nisa aku ke depan dulu, ya?” ujar Romeo kemudian. “Mau bantuin Aisyah daftar ulang.”
“Aisyah?” kata Nisa agak mengernyitkan dahinya, menyiratkan tanda tanya.
Romeo terdiam sejenak, memikirkan kata-kata yang akan diucapkannya. “Oh, maaf, aku belum jelasin Aisyah itu siapa,” ujarnya sambil bangkit dari duduknya. “Ntar aja deh, aku kenalin sama kamu, aku pergi dulu, ya? Assalamu ‘alaikum.”  Aisyah, abang datang.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Nisa, masih terlihat sedikit bingung namun segera melanjutkan menikmati aksi kupu-kupu yang bermanuver lembut di atas kelopak bunga-bunga di taman.
Romeo mempercepat langkahnya menuju depan kampus. Sesaat ia menyapukan pandangan ke segala arah, mencari sesuatu. Ia tersenyum ketika melihat seorang gadis berjilbab putih bersih sedang berdiri di sisi pelataran parkir. Itu Aisyah, di sana rupanya. Terlihat agak gelisah namun wajahnya segera berubah cerah saat melihat Romeo berjalan ke arahnya.
“Assalamu ‘alaikum, Aisyah,” sapa Romeo segera. “Udah lama nunggu?”
“Wa‘alaikum salam, Bang Romeo,” jawab Aisyah sembari menampakkan senyumnya, mencoba menutupi perasaannya yang diliputi ketegangan. “Belum lama sih, tapi agak deg-degan juga, maklum, anak baru.”
“Santai aja Aisyah, orang di sini baik-baik kok, nggak bakal ada orang yang jailin kamu di sini seperti beberapa hari yang lalu.”
“Tapi bang, Aisyah agak kuatir juga menghadapi OSPEK hari senin depan, takut seniornya pada sangar dan galak-galak.”
“Kalau soal itu sih, Aisyah nggak usah kuatir, sebagian besar mahasiswa panitia OSPEK di sini  juniornya abang. Dulu abang yang ng-OSPEK mereka. Ntar kamu, abang kenalin sama mereka. Pokoknya nggak bakal ada yang berani jailin kamu di sini. Lagian, ngapain takut sama manusia, kita kan cuma harus takut sama Allah, iya kan, Aisyah?”
“Iya, bang, sekarang Aisyah udah nggak kuatir lagi, kok.”
“Persyaratan untuk daftar ulang udah kamu siapkan semua, kan?”
“Udah bang, ini, semuanya ada di sini,” jawab Aisyah sambil melirik map kuning di tangannya.
“Kalo gitu, ayo abang antar kamu ke tempat daftar ulang. Tuh liat, udah mulai ramai, antriannya udah memanjang.”
Tidak begitu lama Aisyah mengikuti proses daftar ulangnya, karena semua persyaratan untuk daftar ulang memang sudah dilengkapinya semua. Rasa canggung yang sempat menghampirinya semakin memudar ketika Romeo mengenalkannya dengan para panitia OSPEK. “Alhamdulillah, semuanya lancarnya,” gadis itu mengucap syukur, lega.
“Aisyah, ayo ikut abang sebentar, abang ingin ngenalin kamu sama Nisa, teman abang, biar nanti kamu ada teman,” ajak Romeo kemudian. Aku tadi kan janji mau ngenalin Aisyah sama Nisa.
Aisyah hanya mengangguk pelan seraya mengikuti Romeo berjalan melalui lorong-lorong kampus yang sudah mulai ramai di penuhi mahasiswa yang berlalu lalang, sibuk mengurus urusan perkuliahan. Romeo tersenyum ketika melihat Nisa masih duduk di kursi panjang depan ruang kuliah, asyik dengan buku bacaannya. Bidadari surgaku masih ada di sana.
“Assalamu ‘alaikum, Nisa. Wah, asyik banget baca bukunya, makin besar nih, kemungkinan menyelesaikan kuliah tahun ini,” tegurnya riang.
“Wa ‘alaikum salam,” jawab Nisa, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Aisyah sembari tersenyum ramah.
“Assalamu ‘alaikum, kenalin kak, saya Aisyah,” ujar Aisyah sambil mengulurkan tangannya kepada Nisa.
“Wa ‘alaikum salam, saya Nisa,” jawab Nisa menyambut uluran tangan Aisyah. “Aisyah mahasiswi baru, ya?” lanjutnya.
“Iya, kak, baru aja abis daftar ulang, dibantuian sama Bang Romeo,” jawab Aisyah.
“Aisyah, masa berdiri aja, duduk dong, biar lebih enak bicaranya. Kamu tanya aja sama Nisa apa yang ingin kamu tanya, jurusannya sama kok, sama kamu,” kata Romeo.
“Mari sini, duduk di samping kakak aja,” ujar Nisa ramah. “Aisyah tinggal di mana?”
“Sekarang numpang dulu sama kakak sepupu, tapi rumahnya cukup jauh dari sini. Aisyah inginnya cari tempat kos di sekitar kampus.”
“Ntar kakak bantuin deh, nyariin tempat kos. Ada kok, tempat kos yang cocok buat kamu di sekitar sini, nggak jauh lagi, biar kamu lebih santai kalo mau ke kampus. Tapi kalo kamu mau, kamu boleh kok tinggal di rumah kakak. Kakak nggak ada teman di rumah.”
“Alhamdulillah, terima kasih banget, kak Nisa, biar Aisyah kos di dekat-dekat sini aja,” Aisyah menolak dengan halus.
“Iya, deh, ntar kakak antar ke sana. Rom, kok diam aja sih, lagi sakit gigi, ya?” ujar Nisa begitu melihat Romeo diam tanpa suara.
“Ah, nggak, terlena aja liat dua orang gadis lagi diskusi, kalian cepat akrab rupanya,” jawab Romeo sambil tergelak ringan. Tapi kemudian matanya mengarah ke suatu tempat. “Mmm, plastic four, lagi ngapain di sana, pasti lagi nampang plus ngeliatin mahasiswi baru.”
“Kenapa, Rom?” tanya Nisa heran melihat temannya menggumam sendiri.
“Tuh liat, plastic four, lagi nongkrong di depan tempat daftar ulang,” jawab Romeo sambil menunjuk ke arah empat sohib kentalnya, Momoy, Andi, Bona dan Edo yang asyik celingak sana celinguk sini sambil sesekali memecahkan gelak riang di depan sebuah ruangan yang ramai di kerumunin puluhan mahasiswa baru yang sedang daftar ulang. Tempat untuk daftar ulang memang terbagi dalam beberapa kelompok untuk memudahkan dan mempercepat proses daftar ulang. Sesaat Nisa memandang ke arah sana namun segera melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Aisyah. 
Saat Bona melirik ke arahnya, segera Romeo mengggerakan tangannya dengan nada memanggil. Sesaat Bona mengangkat kedua bahunya, berlagak bingung. Yaaah, Bon-bon, malah pasang aksi bingung. Ia kesal juga melihat aksi cuek Bona. “Sini!” teriak Romeo cukup keras, dan cukup membuat Nisa dan Aisyah yang lagi asyik bicara serempak menoleh kepadanya,
Dan juga efektif untuk membuat Bona dan kawan-kawannya dengan kompak menghentikan aksi-aksi over actingnya, segera berjalan ke mendekati Romeo.
Ada apa, Rom? Nggak boleh liat teman senang,” kata Edo agak sewot.
“Iya, nih, kita kan lagi ngelaba,” sambung Bona.
“Ngelaba? Maksudnya apa, sih, Bon-bon,” timpal Momoy masih dengan raut muka tanpa dosanya yang khas. Bona cuek aja mendengar pertanyaan super telmi-nya Momoy.
“Kamu sih enak, Rom, di sini ditemenin sama dua cewek, Nisa dan …” sejenak Edo diam, melirik Aisyah. “Ssst, Rom, siapa?” bisiknya penuh rasa penasaran.
“Tanya aja sendiri!” jawab Romeo cuek. Dasar plastic four! Nggak boleh liat ada anak baru, langsung aja pasang niat buat ngelaba.
“Jangan gitu dong, bro, bagi-bagi lah kalau punya teman baru,” ujar Andi sambil menampakkan senyum termanisnya kepada Aisyah.
“Heh, kalo senyum jangan kayak kuda lagi nahan lapar, dong. Malu-maluin kita aja!” seruduk Edo.
“Andi bukan lagi nyengir kuda, Do. Tapi lagi mamerin gigi palsunya yang baru. Tuh liat, sampe mantulin sinar matahari segala, silau man,” sambung Momoy, tak merasa bersalah atas ledekan mautnya yang kontan membuat muka Andi dengan cepat bersemu kemerahan seperti udang separuh matang.
“Kenalin, saya Bona,” ujar Bona kemudian dengan agak berwibawa, menekankan suaranya, namun segera memasang muka selembut kapas, memucat, soalnya uluran tangannya tak disambut Aisyah, gadis itu hanya menangkupkan tangannya pelan dan tersenyum, “Saya Aisyah.”
Serempak Andi, Edo dan Momoy mengeluarkan koor tawa, walaupun agak tertahan begitu melihat delikan Romeo. Makanya Bon-bon, liat-liat dulu kalo mau ngulurin tangan, liat-liat kostum dong, jangan main sodorin tangan aja.
Nisa dan Aisyah hanya tersenyum melihat polah laku keempat cowok yang menyuguhkan adegan drama konyol yang cukup menggelikan itu.
Hmmm, dasar plastic four!***

Bersambung Ke Bagian 7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar