Senin, 03 Januari 2011

KAWANKU KEKASIH HATIKU Oleh Firman Al Karimi

 Gadis berkulit kuning langsat halus yang duduk di deretan paling depan, tepat di depan meja dosen itu adalah kekasih hatiku. Namanya Gadissa, terlihat begitu anggun pagi itu dengan blus berwarna biru muda dipadukan dengan rok panjang berwarna putih bersih membungkus tubuhnya. Gadissa, kekasih hatiku itu memang selalu serius setiap kali mengikuti kuliah, pun pagi itu. Matanya yang berbinar indah menatap lurus memperhatikan Pak Dodit, dosen mata kuliah Pengantar Ekonomi Makro yang begitu bersemangat menyampaikan materi kuliah pagi itu. Berbanding  terbalik dengan aku yang enggan melepaskan pandanganku kepada Gadissa, seakan tak ingin melewatkan sedetik waktupun untuk menatap sebelah wajahnya dari pojok paling belakang ruang kuliah, posisi strategis untuk memperhatikan gerak-gerik kekasih hatiku itu.
Gadissa, nama yang selalu kutunggu saat setiap kali dosen mengabsennya, nama yang senantiasa membuat jantungku berdegup aneh setiap kali ada orang yang menyebutnya, dimanapun dan kapanpun. Gadissa, dua puluh tahun umurnya. Rambut halusnya selalu tergerai rapi menyentuh bahunya. Kedua bola matanya yang indah selalu memancarkan pandangan yang meneduhkan hatiku, adem. Hidungnya, walaupun tak terlalu mancung tapi terlihat bagaikan kuncup bunga yang menarik kumbang untuk menghinggapinya. Bibir mungilnya yang memerah delima selalu mengeluarkan nada-nada merdu dalam setiap rangkaian kalimatnya. Dagunya lancip, halus. Selanjutnya…tak berani lagi aku membeberkan keindahan dirinya, cukuplah hanya Sang penciptanya dan aku yang tahu.
Pertamakali aku merasakan kebersihan hatinya, ketika sebuah mobil mungil bewarna merah jambu yang ditumpanginya berandil memerciki bajuku dengan sedikit air yang menggenangi jalan saat aku baru turun dari angkot didepan gerbang masuk kampus. Saat itu Gadissa langsung turun dari mobilnya, berkali-kali meminta maaf demi menyatakan penyesalannya. “Maaf banget ya, aku sudah membuat baju kamu basah, maaf,” ujarnya saat itu seraya  mengusap lembut bagian bajuku yang basah dengan sapu tangan putih bersihnya yang harum, membuatku rikuh, salah tingkah dan sedikit kegeeran. “Jangankan cuma diperciki dengan sedikit air, diguyur sekujur tubuh juga gak apa-apa, setiap hari juga boleh,” batinku saat itu, girang banget.
Sejak peristiwa itu sapaan Gadissa yang renyah selalu menghampiriku, hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya walaupun hampir setiap saat berada di ruangan kuliah yang sama selama tiga semester. Sebelumnya aku selalu menganggapnya sebagai gadis high class yang tak mungkin mau berinteraksi dengan orang seperti aku, mahasiswa yang nyambi menjadi penulis amatiran sekadar untuk menyambung hidup. Prasangkaku terhadapnya terlepas tak berbekas, juga sejak saat itu. 
 Begitu mudah Gadissa memasuki hatiku, tak ada daya untuk menolak kehadirannya menghuni relung kalbuku. Walaupun hujaman-hujaman cemoohan yang kesemuanya berasal dari dalam diriku, terkadang suka mengusili perasaan kasmaranku terhadap Gadissa, aku tak peduli! Aku mabuk asmara! Asmaraku terhadap Gadissa begitu kuat pekat diselimuti bunga-bunga cinta yang menebar harum semerbak.
Suatu hari, saat senja menjelang, dikala sang surya penerang bumi mulai memasuki peraduannya, “Diong, ntar malam temani aku ke toko buku ya? aku jemput sehabis maghrib.”
Wow! sederet kalimat merdu yang diucapkan oleh Gadissa lewat telepon membuat gula-gula asmaraku larut dengan cepat di dalam gelas cinta berisikan air suci, mempermanis rasa sayangku padanya, ingin segera kuteguk untuk melepas dahaga cintaku.
Di suatu hari lainnya, aku berjalan dengan bangga di sebelah Gadissa di sebuah Mall ketika menemaninya mencari hadiah ulang tahun untuk seseorang. Sepertinya saat itu semua pemilik mata pengunjung Mall menatapku dan Gadissa, entah itu karena kagum melihat sepasang muda-mudi yang tampak begitu serasi, entah karena merasa iri bahkan mencela, “Masa ada sih cewek cantik bak bidadari en stylish berjalan bersama seorang cowok awut-awutan berlabel penulis amatiran, gak salah tuh,” begitu mungkin bunyi celaannya. “Emangnya gue pikirin!” lawan batinku segera.
Eh, keesokan harinya, saat pagi yang cerah, tiba-tiba Gadissa menyodorkan sesuatu kepadaku. Kontan aku terkejut melihat benda yang diangsurkannya itu. “Ini kado yang kamu beli kemarin, kan?” tebakku saat menerima kado berbungkus warna biru muda itu dengan ribuan tanda tanya memenuhi pikiranku.
“Selamat ulang tahun ya?” ucap Gadissa lembut sambil menampakkan senyum manisnya seraya mengguncang lembut telapak tanganku dalam genggaman hangatnya beberapa kali.
“Ya, Allah. Kenapa aku bisa lupa dengan hari ulang tahunku sendiri,” batinku saat itu. Aku memang tidak pernah peduli akan ‘satu hari’ yang sering kali dianggap spesial oleh sebagian orang, termasuk Gadissa. Dan hari itu adalah kali pertama dalam hidupku menerima ucapan selamat ulang tahun lengkap dengan kadonya, dan yang melakukannya adalah Gadissa, sosok spesial yang kini menjadi penghuni palung hatiku yang terdalam. Ingin kuungkapkan semua perasaan sayangku yang semakin tumbuh subur terhadapnya saat itu juga, tapi mulutku seketika tertutup rapat seperti tak mempunyai kemampuan untuk melakukan perintah hatiku, lemah, dan terbungkam karena dihasut oleh pikiran tak berpihak penuh ketidakpercayaan diri, “Nyadar dong! Ngaca! Kamu pikir kamu itu siapa?”
“Sialan”, umpatku dalam hati.
Sayangku semakin dalam terhadap Gadissa. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya kucoba mengumpulkan semua daya upaya yang aku punya untuk menumpuk keberanian didada agar mampu menyatakan perasaan kasmaranku terhadap Gadissa. Akhirnya, kekuatan itu terkumpul sudah, meledak, menumpahkan perasaan sayang yang telah lama terpenjara di dada. Tapi…
“Diong, kita berkawan saja ya?” Gadissa memberi jawab atas ungkapan sayangku padanya.
“Ah, tak mengapa, bisa berkawan denganmu saja sudah menyenangkan hatiku, biarlah engkau menjadi kekasih hatiku saja,” desah batinku saat itu tanpa disusupi rasa kecewa apalagi patah hati.
Tapi kerelaan hatiku menerima Gadissa hanya sebagai kawan saja, segera mendapat ujian. Saat itu berkali-kali mataku menangkap sosok cowok gagah nan tampan berkendara Fancy Car menjemputnya di kampus. “Prince and Princess, pasangan serasi,” gumamku tulus ikhlas tanpa sadar ketika menyaksikan Gadissa dipersilahkan dengan hormat oleh cowok gagah nan tampan itu memasuki mobil mewahnya. Tapi ketika kendaraan itu berlalu dari hadapanku, pintu kesadaranku terbuka lebar, hatiku memberontak, tak tersisa sedikit kerelaan melihat Gadissa, kekasih hatiku menaiki mobil mewah berduaan dengan cowok gagah nan tampan itu. Tiba-tiba aku berubah menjadi sosok yang begitu egois. “Gadissa adalah kekasih hatiku, tak ada cowok lain yang boleh memilikinya,” teriak batinku.
“Emangnya kamu siapanya Gadissa,” pikiran tak berpihak usilan itu ternyata berguna juga untuk menyadarkan aku dan membawaku kesituasi yang nyata. Ah, aku memang tak berhak secuilpun atas Gadissa. Ya, Gadissa hanyalah seorang kawan yang tiba-tiba menjadi kekasih hatiku.
Kemudian juga, berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan lamanya aku harus berjuang memelihara kerelaan hati, menanggung nyeri perih didada setiap kali melihat Gadissa berduaan dengan cowok gagah nan tampan itu sambil mempertunjukkan kebahagiaan mereka dihadapan mata kepalaku. Tak pernah lagi aku menikmati menemani Gadissa ke toko buku, jalan-jalan ke Mall? Apalagi, jauh sekali! Tapi beruntung Gadissa masih setia menyapaku setiap kali bertemu dikampus, itu sudah cukup untuk mengobati kerinduanku padanya, sangat cukup malahan untuk mempertegas bahwa ia masih tetap kekasihku walaupun cuma terpelihara di dalam hati.
Aku baru saja bersiap hendak naik angkot siang itu di depan gerbang kampus ketika melihat Gadissa berjalan memburu langkah dengan mata memerah menjatuhkan bulir-bulir bening membasahi pipinya. Kulihat juga cowok gagah nan tampan yang sering mendampinginya akhir-akhir ini berusaha menahan langkahnya. Kutunda niatku untuk naik ke angkot. Mataku menatap tajam kearah cowok gagah itu. “Cowok sialan itu pasti sudah menyakiti kekasih hatiku,” tuduh batinku segera. Setan-setan jelek bertanduk seketika meracuni pikiranku, makhluk terkutuk itu berhasil menghasutku saat melihat kekasih hatiku berusaha memberontak untuk melepaskan pegangan tangan cowok sialan yang seketika berubah menjadi jelek dalam pandanganku. Emosiku memuncak, tapi masih kukekang.
“Lepaskan aku Randi, tak ada lagi yang perlu dijelaskan, kau jelas-jelas telah menghianatiku, lepas!” teriak Gadissa dengan nada bergetar. Bulir-bulir bening yang ditumpahkan sepasang mata indahnya semakin meluncur deras membasahi pipinya.
“Lepaskan dia, buaya darat!!!” bentakku berdiri jumawa bagaikan pawang penangkap buaya bersenjatakan tali penjerat, melontarkan kegeraman yang amat sangat, kegeraman yang segera akan menyemburkan api yang dahsyat kalau saja disulut dengan sedikit api.
Tak perlu menunggu lama, ternyata api penyulut yang kunanti-nanti segera memenuhi undanganku.
“Hei, cowok kupluk! Siapa lo! Jangan ikut campur urusan gue, Gadissa cewek gue, tau?!!” serang cowok jelek itu seraya meluruskan jari telunjuknya kearah mukaku, melemparkan seringai sinis menyakitkan hati, arogan.
“Tidak lagi untuk saat ini, kita putus! Kau bukan cowokku lagi!” teriak Gadissa keras, tegas.
 “Yess,” teriak hatiku riang, menang. Api amarahku menyurut.
Tapi cowok sialan itu ngotot juga rupanya. Diguncangnya kedua bahu Gadissa berulang kali sambil menghembuskan bujukan-bujukan basi. Gadissa kembali meronta. Darahku mendidih, api amarahku seketika membesar menerobos dinding kesabaranku. Dan…Bugh! Tinjuku mengena telak dimulut cowok jelek yang telah menorehkan perih luka dihati kekasih hatiku itu. Cowok jelek itu terhuyung sesaat, umpatan-umpatan sampah mengalir lancar dari mulutnya.
“Diong! Mengapa kamu memukulnya?!! Kamu jangan sok jadi pahlawan kesiangan ya? kamu bukan siapa-siapa aku!” kata-kata Gadissa menyentak batinku, meruntuhkan kokohnya dinding sayangku padanya. Rasa sayangku pecah berkeping-keping berserakan di jalanan, aku hancur!
Kulihat Gadissa berlari menuju mobilnya dan segera berlalu menghilang dari pandanganku dan cowok jelek buaya darat yang tersenyum masam mengejekku.    
Sejak saat itu tak kudengar lagi sapaan lembut Gadissa mengiang di pendengaranku. Hatiku sepi, kosong ditinggalkan penghuninya. Gadissa telah menghilang walaupun masih sering berlalu lalang dihadapanku, sebab hanya sapaan lembutnya yang mampu membuatnya bisa terlihat lagi dihadapku. Hari-hari yang kulalui terasa membosankan, hambar dan hampa. Gadissaku lenyap, kawanku pergi, kekasih hatiku tak ada lagi.
Kisah ini berlanjut hingga hampir saja menyerupai adegan-adegan di dalam film ataupun sinetron ketika aku memergoki Gadissa tersudut menyandar di pintu mobilnya di bawah todongan tiga orang pria kekar berwajah sangar. Rintihan lirih Gadissa lagi-lagi membuat darahku memanas, menyulut amarahku. “Jangan sampai kulit halus Gadissa terluka walau segores saja,” geram batinku saat itu. Segera aku menghambur bak jagoan coba menyelamatkan gadis pujaan dari terkaman tiga ekor macan. Tak kupedulikan walau ketiga orang pria kekar berwajah sangar itu mengerubutiku, bahkan berulangkali menyarangkan pukulan dan tendangan ketubuhku, anehnya aku seperti tak merasakan apa-apa, terus berjuang melawan tanpa menghiraukan kelangsungan selembar nyawaku. Keselamatan Gadissa lebih penting, pikirku saat itu.
Semangat bertarungku semakin berlipat ganda ketika tendangan kerasku melesak telak bersarang didada lawan, satu lawanku roboh rebah ditanah, Knock Out! Tapi masih ada dua macan lagi yang harus kuhadang, berat nian. Akhirnya aku harus mengakui ketangguhan kedua macan gila itu, aku roboh kehabisan tenaga, hanya bisa menutup mata, pasrah menerima kemungkinan terburuk bakal menimpaku. Kedua macan itu bersiap menerkamku untuk menyudahi perjalanan hidupku, tapi tak kunjung kurasakan sesuatu walau hanya sedikit sentilan ditubuhku. Penasaran, segera kubuka mata untuk membebaskan penglihatanku. Eh ternyata kedua penjahat itu malah berlarian pontang-panting sambil menghela seorang kawannya yang telah ku ‘KO kan’ menaiki tunggangannya, kabur. Begitu terhuyung bangkit, puluhan orang telah mengerubungiku, ternyata merekalah yang menyebabkan ketiga penjahat sangar itu lari terbirit-birit seperti macan tak berkuku tanpa taring!
“Terima kasih Diong, kamu telah menyelamatkan aku,” kembali kunikmati suara lembut Gadissa, membuatnya kembali menempati separuh ruang hatiku, ya cuma separuh. “Mereka menodongku saat aku keluar mobil ketika hendak memeriksa ban mobilku yang kempes, pasti mereka yang sengaja menyebar paku dijalanan sehingga membuat ban mobilku kempes,” jelas Gadissa saat itu...
“Gadissa, mungkinkah kau kembali memenuhi hatiku…” refleks kututup rapat mulutku, tapi terlambat, tanpa kusadari kalimat yang terlontar dari mulutku sudah cukup untuk didengar oleh semua makhluk bertelinga yang berada ruangan kuliah itu. Gerrr, kontan tanpa dikomando mereka semua memecahkan tawa, termasuk Pak Dodit yang tanpa basa-basi melepaskan hasrat kegeliannya. Gadissa melirik kearahku, tersenyum, maniez banget, memupus rasa malu yang sempat menggelayutiku.
“Diong, kamu masih mau kan jadi kawan aku,” ujar Gadissa lembut saat menghampiriku ketika jam kuliah berakhir.
“Gadissa, sampai kapanpun kamu tetap kawanku,” sambutku riang. “Eitt,  bukan cuma kawanku tapi juga kekasih hatiku,” sambung batinku. Hari ini, Gadissa telah masuk sepenuhnya keruang hatiku. Gadissa, kawanku kekasih hatiku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar