Minggu, 02 Januari 2011

DOSENKU CINTAKU oleh Firman Al Karimi

Pagi itu Roy bangun kesiangan, imbas dari nonton live sepakbola di teve hingga lewat tengah malam. Udah bela-belain begadang, eh tim kesayangan yang dijagoinnya malah keok. Terburu-buru sekali ia kekampus pagi itu, tak mau telat lagi karena hampir setiap senin pagi ia selalu masuk ruangan kuliah dengan kepala ditekuk diiringi tatapan tajam Bu Hesti.
 "Akhirnya sampai juga ni badan di kampus," gumam Roy begitu sepeda motornya memasuki parkiran kampusnya.
Begitu sampai di depan ruangan kuliah Roy terkejut, semua teman-temannya sudah pada masuk ke ruangan. Bahkan suasana di dalamnya jauh lebih tenang daripada biasanya. Sunyi senyap seperti di kuburan.
"Sial, gue telat lagi," gumamnya. Tapi lebih sialnya lagi…
"Waduh mati gue, pagi ini kan, gue ada ujian semesteran sama Bu Hesti," gumamnya lagi seraya menepuk dahinya. Segera ia masuk. "Maaf Bu, saya terlambat, saya…" ujar Roy dengan nada memelas.
"Ya sudah, saya nggak butuh alasan usang kamu, cepat ambil soal ujiannya dan duduk," potong Bu Hesti tegas dan dingin seperti biasanya.
Segera Roy duduk setelah mengambil soal ujian di meja Bu Hesti. Tapi sesaat ia tampak gelisah, celingak celinguk kesana kemari.
"Ssst Dul, lu punya pulpen lebih gak, gue lupa bawa nih,"ujar Roy.
Tapi Abdul yang duduk di sebelahnya hanya menggelengkan kepala tanpa menoleh, tampak sibuk berjuang menggeluti soal ujiannya.
"Sialan ni orang, kok tiba-tiba jadi sombong banget sih. Gue sumpahin biar otak lu butek, gak bisa jawab tu soal,"gerutunya dalam hati. Bahasa tubuhnya yang masih menampakkan kegelisahan mengundang suara yang amat dikenalnya untuk angkat bicara.
"Ada apa Roy? Cepat kerjakan soalnya, saya tidak akan menambah waktu ujian kamu," tegur Bu Hesti.
"Maaf Bu, boleh izin keluar sebentar. Saya lupa bawa pulpen,"suara Roy terdengar agak berat seperti dipaksakan bersuara.
 "Kalau begitu sekarang kamu keluar, besok ikut ujian susulan dengan kelas lain," sederet kalimat tegas yang disemprotkan Bu Hesti sudah cukup membuat Roy beranjak dari tempat duduknya, keluar ruangan tanpa perlawanan.
 "Kenapa sih setiap hari senin gue harus masuk pagi. Gak tau apa, kalau malamnya jadwal gue begadang nonton bola. Bu Hesti sih, udah bagus jadwal kuliahnya jam sepuluh eh malah dimajuin ke jam delapan,”gerutu Roy ketika sudah berada di taman kampus, duduk terhenyak di tempat duduk yang terbuat dari semen, terasa dingin di bokongnya, lumayanlah buat pendingin suasana hati yang panas. Tiba-tiba ponselnya bergetar...
"Met pg chayank. Gmana begadangnya smlm, sukses?" begitu pesan singkat yang terbaca diponselnya.
Buru-buru ia membalas sapaan yang cukup menyejukkan hati itu. "Met pg jg Titi chayank. Sial bngt tim aq kalah. Kmu lg dmana?"
"Kalah?! Wah kaciaaan bngt. Tp kmu jngn sedih ya. Ak lg dkantor neh."
"Ok de sukses sllu en udahan dulu ya?Lg sibuk, ntar dsambung lg.bye."
Sesaat Roy tertawa geli. "Lucu juga ni orang. Baru smsan beberapa kali aja udah sayang-sayangan,". Sudah beberapa hari terakhir ini, Roy sering smsan dengan seorang pemirsa setia siaran radio yang dipandunya. Roy memang nyambi sebagai penyiar radio, buat nambahin uang saku, katanya.
****
"Assalammualaikum dan selamat sore para pendengar di manapun anda berada. Yang lagi bobok-bobok ayam dikamar, yang lagi jalan-jalan sore ama gebetan, para jomblo yang lagi ngelaba, silahkan gabung sama Ryan di sini. Buat yang mau kirim-kirim salam atau request lagu, segera angkat telepon anda," Sore itu seperti biasa Roy cuap-cuap diudara. Ia memang menggunakan nama kecilnya 'Ryan' saat siaran.
"Saya tunggu penelpon pertama sore ini. Ok, kelihatannya belum ada tanda-tanda telpon yang bakal masuk. Baiklah, mungkin pendengaran anda butuh refresh setelah kecapean mendengarkan kata-kata tak mengenakkan sepanjang hari, akan saya segarkan dengan sebuah tembang manis dari..." cuap-cuapnya terputus.
 "Yap, akhirnya ada juga penelpon yang masuk. Assalammualaikum, selamat sore, selamat bergabung, dengan siapa nih," sapa Roy.
"Waalaikum salam. Masa lupa sih sama aku," jawab suara di seberang sana bernada cembetut.
"Upss, maaf Titi, soalnya suara kamu mengingatkan aku pada seseorang, tapi bedanya suara kamu terdengar lebih halus dan lembut."
"Bang Ryan bisa aja. Bang Ryan, minta lagu dong."
"Boleh seboleh bolehnya. Titi mau request lagu apa?"
"Hanya ingin kau tau miliknya Republik, ada kan?"
"Pokoknya untuk Titi yang gak ada pun bakal Bang Ryan usahain ada deh. Ok Titi, salam dan lagunya buat siapa aja."
"Salam dan lagunya buat seseorang yang spesial banget. Ucapannya...Aku ingin suatu saat nanti kau tahu betapa aku menyayangimu." 
"Wow, ucapannya dalam banget. Siapa tuh cowok yang beruntung disayang Titi."
"Mau tau aja, udahan dulu ya bang Ryan, makasih, assalammualaikum."
"Waalaikum salam. Ok, itu tadi Titi dengan ucapan romantisnya sedalam sumur galian. Buat Titi yang lagi kasmaran satu tembang yang manis banget dari Republik, Hanya Ingin Kau Tau. Go..."
****
"Bang nasi goreng porsi jumbo satu, pedas. Jangan lupa telur dadarnya dua ya? en gak pake lama," ujar Roy kepada penjual nasi goreng langganannya. Abis cuap-cuap membuang kata-kata cukup banyak membuat perutnya pengen dimuatin makanan sebanyak mungkin.
Penjual nasi goreng itu tahu betul tabiat Roy yang suka gak sabaran nungguin pesanannya. Benar aja,"Bang buruan dong, laper banget nih, dari tadi ngaduk-ngaduk penggorengan mulu, kapan kelarnya," sungut Roy, gak peduli lirikan aneh dua pasang mata cewek yang lagi asyik nikmatin santapan nasi gorengnya.
Begitu Nasi goreng pesanannya terhidang di depan matanya, tanpa ampun dengan cekatan sendok sarat muatan ditangannya turun naik dari piring kemulut. Sesekali mulutnya mengeluarkan desisan kepanasan dan kepedasan. Dua orang cewek yang sedari tadi memperhatikannya berdecak kagum melihat ketangkasan Roymalang itu sudah berpindah tempat dari piring ke perut Roy. Diakhiri dengan seruputan dua gelas air, ia terduduk tak berdaya melawan kekenyangannya. Celakanya, tiba-tiba matanya terasa begitu berat. Habis makan kantuk melanda. memindahkan nasi goreng ke mulutnya. Tak butuh waktu lama, nasi goreng yang
****
"ntung besok gue masuknya agak siangan. Bu Hesti, kaulah penyebab rasa kantuk ini," batinnya begitu menghempaskan tubuhnya dikasur kamar kosnya. Tapi...."What?!! Besok jam delapan pagi gue kan ada ujian susulan sama Bu Hesti. Kirain gue bakal nikmatin tidur ni malam, gak tau nya…Oh Bu Hesti tega nian dikau menyiksa aku seperti ini. Kalau tak mengingat wajahmu yang berparas cantik tak sudi aku jadi mahasiswamu," kali ini Roy bicara sendiri seperti orang mabuk. Masa makan nasi goreng aja mabuk, kelewatan.
****
  Sepertinya pagi itu Roy benar-benar tidak ingin mengulangi kejadian kemarin. Diliriknya jam dinding di ruangan itu. "Jam delapan kurang lima menit. Hebat, gue yang pertama sampai  diruangan ini, yang lain belum pada nongol. Bu Hesti juga belum kelihatan puncak hidungnya," gumamnya.
Beberapa saat ia menunggu. Tak sabar, lagi-lagi ia melirik ke arah jam. "Sudah jam delapan lewat lima belas menit. Pada kemana sih tu makhluk-makhluk, ngaret banget jadi orang, malu-maluin bangsa Indonesia aja," gerutunya.
Tanpa sengaja pandangannya  beralih ke white board didepannya. Sejenak ia menggosok-gosokkan tangan pada matanya seolah tak percaya membaca tulisan berwarna merah yang tertulis di white board itu.
MAHASISWA/I YANG IKUT UJIAN DENGAN BU HESTI SEGERA KE RUANGAN 07 – 16
****
"Roy, saya benar-benar angkat tangan sama kamu. Jangan salahkan saya jika kamu harus mengulang mata kuliah ini tahun depan," ujar Bu Hesti.
"Tapi saya benar-benar tidak tahu Bu, kalau ujiannya pindah ruangan," ujar Roy coba beralasan. "Bu, saya mohon maaf, saya akui saya salah, tapi tolong Bu, beri saya kesempatan untuk ikut ujian susulan lagi," sambungnya agak menghiba.
"Maaf saya tidak ada waktu untuk itu. Saran saya, coba kamu lebih disiplin dengan waktu kalau nggak mau hidup kamu berantakan," ujar Bu Hesti seperti biasa, tegas dan dingin lalu membalikkan badan, ngeloyor pergi.
****
Seperti biasa malam itu Roy habis siaran, makan en pulang ke kosan, menelusuri jalan yang mulai sepi dengan sepeda motornya. Ada perasaan tak mengenakkan di hatinya, ia sangat kuatir kalau sampai ia harus mengulang mata kuliah yang sama tahun depan karena saat ini ia sedang nyusun skripsi dan berharap tahun ini bisa lulus ujian skripsi. Gak lucu kan? gara-gara satu mata kuliah ia harus nunggu lulus dan diwisuda tahun depan.
Begitu melewati halte bus yang ada didekat sebuah supermarket matanya menangkap seseorang yang cukup dikenalnya. “Itu kan Bu Hesti. Ngapain malam-malam gini nongkrong di halte,” gumamnya.
Begitu motornya berhenti di depan Bu Hesti, langsung ia menyapa dengan sapaan tersopan yang dimilikinya, "Assalammualaikum Bu, lagi nunggu siapa?"
Sesaat Bu Hesti hanya terdiam, mencoba mengenali dengan lebih jelas orang yang menyapanya karena Roy mengenakan Helm yang menutupi mukanya. Menyadari itu segera Roy membuka Helmnya.
"Waalaikum salam. Kamu Roy, Ibu kira siapa, abis dari mana?" tidak seperti biasanya kali ini suara Bu Hesti terdengar begitu lembut ditelinga Roy.
"Oh, abis jalan-jalan Bu. Ibu sendiri dari mana?"
"Ini, dari supermarket. Soalnya cuma malam Ibu ada waktu buat belanja."
"Bu Hesti mau pulang kan? Biar saya antar," ujar Roy menawarkan bantuan.
"Tapi kamu kan cuma bawa helm satu, ntar ditilang polisi, lagi."
"Sudah hampir jam sembilan malam Bu, gak apa-apa, yuk naik."
Jadilah malam itu Roy mengantar Bu Hesti kerumahnya. Dari pembicaraan ringan selama di perjalanan tahulah Roy bahwa Bu Hesti masih sendiri. Ia pun merantau dikota itu. Sebenarnya Bu Hesti alumni di Universitas tempat ia mengajar sekarang. Bahkan cuma berjarak dua angkatan dari Roy. Karena punya otak yang cemerlang, Bu Hesti sudah jadi asisten dosen sejak masih bersatus mahasiswi sampai akhirnya sekarang ia sudah jadi Dosen penuh. Akhirnya setelah berbicara dari hati kehati, Roy diberi kesempatan oleh Bu Hesti untuk mengikuti ujian susulan.
****
"Akhirnya selesai juga ujiannya. Gak sia-sia gue plototin buku sampe tengah malam. Emang bener, kalo mau berhasil harus giat belajar," Roy lega sekali karena tidak begitu kesulitan menyelesaikan soal ujian yang di berikan Bu Hesti. Maklum semalam ia bela-belain belajar sampai tengah malam. Rupanya, sejak sempat bicara cukup lama malam itu dengan Bu Hesti semangatnya begitu terlecut. Sekarang ia sangat menghargai waktu. Skedul kegiatannya sehari-hari sudah diaturnya sedemikian rupa. Bahkan saat ini Bu Hesti adalah sosok yang mengagumkan baginya, masih muda, mandiri, dosen dan cantik pula, cantik?
"Mengapa gue jadi mikirin Bu Hesti terus, ya? Apa gue naksir ya, ama dia. Abis dia cantik juga sih. Tapi...dia kan dosen gue," gumam Roy ketika menyandarkan punggungnya dikursi panjang di depan ruangan kuliahnya. Sesekali melalui kaca jendela ia melirik Bu Hesti yang masih berada di ruangan kuliah.
"Telpon Titi, ah," gumamnya seraya meraih ponsel disakunya.
“Halo Titi chayang, pa kabar," sapa Roy begitu ponselnya menempel ditelinganya.
"Eh, bang Ryan. Tumben nelpon Titi, kelebihan pulsa ya," jawab suara di seberang sana.
"Nggak juga sih. Bang Ryan kangen ama Titi, kita ketemuan yuk, Bang Ryan kan belum kenal wajah Titi."
"Tapi sekarang Titi gak bisa, sebentar lagi ada jam ngajar."
"Jam ngajar?"
"Ya, sebenarnya profesi Titi dosen, Bang."
"Dosen...” sesaat Roy bangkit dari duduknya. Tanpa sengaja ia melihat melalui kaca jendela Bu Hesti juga lagi nelpon.
"Apa mungkin..." gumam Roy.
"Halo, halo, Bang Ryan. Kok diam sih."
"Ya...kamu..." entah apa yang menggerakkan, tiba-tiba kaki Roy melangkah keruangan kuliah mendekati Bu Hesti.
"Halo sayang kamu masih di sana?" terdengar olehnya Bu Hesti berujar. Bu Hesti tidak melihat kedatangan Roy karena berbicara membelakanginya.
"Ya sayang, aku masih di sini," jawab Roy lugas.
Kontan Bu Hesti membalikkan badannya begitu mendengar dua pantulan suara yang sama sekaligus.
"Roy, kamu..."
"Jadi...Titi itu..."
****
Malam itu Roy begitu bahagia, ia diundang oleh Bu Hesti makan malam dirumahnya. Ia benar-benar tidak menyangka Titi yang selalu bilang sayang kepadanya lewat telepon ternyata adalah Bu Hesti, sosok wanita yang sempat menjadi momok baginya tapi saat ini justru menjadi orang yang dikaguminya.
"Tapi...kata-kata sayang kamu di sms dan waktu nelpon aku beneran gak?" tanya Roy begitu usai nikmatin makan malam sajian Bu Hesti, eh Titi.
"Kalau kata-kata sayang kamu sama aku waktu nelpon gimana, beneran juga gak?" Titi malah balik nanya. Rona merah tampak jelas di wajahnya.
“"Titi, aku sungguh-sungguh sayang kamu. Aku  sadar siapa aku, tapi aku pengen berubah. Sekarang aku sudah atur semua kegiatan harian aku. Aku pengen sekali menyelesaikan kuliahku tahun ini lalu ngelamar kamu, eh maksud aku ngelamar pekerjaan," kali ini Roy berbicara dengan lebih mantap.
"Kamu beneren mau ngelamar aku. Tapi aku gak mau kelak anak-anakku mempunyai ayah yang tidak disiplin dan tidak menghargai waktu," canda Titi sambil tergelak ringan.
"Suwer deh. Aku siap jadi suami yang baik, disiplin dan menghargai waktu," ujar Roy dengan nada kocak.
"Roy, Roy, siapa juga yang mau jadi istri kamu," lagi-lagi Titi tergelak melihat tingkah Roy.
"Jadi...sayang-sayangan selama ini cuma boongan doang dong," ujar Roy kali ini dengan nada sendu bahkan terlihat putus asa bercampur kecewa.
"Roy, Jujur, aku juga suka sama kamu. Sejak aku sering ngikutin siaran kamu, dengerin kamu cuap-cuap, rasa capek dan sumpek aku ngajar di kampus seharian berkurang, aku terhibur banget. Tapi untuk melangkah ke jenjang rumah tangga itu butuh persiapan matang Roy. Sekarang sebaiknya kamu konsentrasi ke kuliah kamu aja, biar cepat selesai."
"Tapi aku benar-benar sayang kamu, Titi,"
"Roy... aku juga sayang kamu."
"Jadi kita resmi jadian dong."
Anggukan pelan dan senyum manis Titi sudah cukup menjawab pertanyaan Roy.
"Yes!!!" teriak Roy melompat kegirangan seperti anak kecil abis dikasih segudang mainan.
Titi hanya tersenyum manis melihat tingkah laku Roy, mahasiswa sekaligus belahan jiwanya saat ini.****
                                                                       








Tidak ada komentar:

Posting Komentar