Separuh jalan lagi, pikir Romeo saat melewati sebuah jembatan kecil, dan sekitar lima puluh meter ke depan akan ada jalan berbelok ke kiri yang langsung menuju ke kompleks perumahan tempat tinggalnya. Ia semakin bersemangat melangkahkan kakinya untuk melahap setengah kilo meter jalur sisa. Sudah terbayang di benaknya, sesampai di rumah ia akan langsung minum segelas air putih untuk menyegarkan tenggorokannya yang terasa mengering hebat, setelah itu, ufff, aku akan langsung merebahkan tubuh lelahku di atas ranjang berkasur tipis itu. Oh, nikmatnya, batinnya menghayal indah.
Saat hendak berbelok, pendengarannya diganggu oleh suara gaduh, teriakan, sumpah serapah, dan erangan kesakitan. Kepalanya refleks bergerak ke kanan, tampak sebuah rumah kosong dalam kondisi rusak berat yang hampir-hampir di tutupi oleh semak belukar di sekelilingnya, dari sana rupanya sumber kegaduhan itu berasal. Besarnya rasa ingin tahu telah membuat hatinya memaksa kakinya untuk melangkah mendekati rumah itu. Memang, ada sedikit keraguan dan kekhawatiran memengaruhinya, tapi hasutan hatinya lebih kuat untuk terus memaksanya mendekati rumah itu.
Romeo berjongkok di depan sebuah jendela kayu yang hampir lepas dari handlenya, jantungnya berdegup kencang saat melihat seorang pria berbaju kaos kuning, wajahnya tampak babak belur dengan mata kiri membengkak, biru lebam, dan darah kental memenuhi bawah hidung hingga ke dagunya. Sedangkan kedua tangannya dipegangi oleh dua orang pria kekar bertampang bengis. Seorang pria kurus, berkulit hitam legam dan berjaket kulit cokelat kusam, tak henti-henti menyemburkan kata-kata kotor sambil melayangkan pukulan dan tendangan ke tubuh pria malang yang terus memperdengarkan lolongan kesakitan yang menyayat hati.
Romeo menggeram di tempatnya. Hawa panas menjalarinya, tangannya terkepal erat, tapi ia masih menahan diri. Melawan seorang pria kurus itu walaupun tangan kirinya mengenggam sebilah pisau, kurasa aku masih sanggup, pikirnya. Tapi melihat kedua pria kekar yang otot-ototnya tampak mengeras dan menyembul dari baju kaos tanpa lengannya, membuat ia sedikit menimbang-nimbang kemampuannya, atau lebih tepatnya berperan menebalkan keraguannya untuk menolong pria malang itu.
Tiba-tiba pria kurus itu melayangkan pandangan tajam ke arah jendela di mana Romeo sedang mengintip, seketika membuat pemuda itu menarik kepalanya dari jendela. Huft, ketauan nggak ya, cemas batinnya.
Alhamdulillah, gumam Romeo ketika pria itu memindahkan pandangannya kembali kepada pria malang di depannya.
Wajah pria kurus yang berhias gigi tonggos itu tampak masih diliputi kemarahan yang amat sangat. “Sudah, lepaskan saja manusia tak berguna itu!” serunya sambil membalikkan badan, berjalan menuju kursi di sudut ruangan.
Mendengar seruan bernada perintah itu, spontan kedua pria kekar itu melepaskan pegangannya pada pria malang yang barusan menjadi sansak hidup itu. Pria malang itu langsung terkulai di lantai dengan kondisi tubuh seperti tak punya tulang, dan lemas tak berdaya.
Setelah duduk sejenak, pria kurus bergigi tonggos bangkit dari kursi, mendekat lagi, lalu berjongkok di sebelah pria malang itu. Kali ini pisau yang telah berpindah ke tangan kanannya, diacung-acungkannya di depan wajah pria malang itu. Pria kurus itu menggeram. Gemeretak giginya cukup jelas terdengar. Nafasnya turun naik seperti tak sabar mengikuti alur pernafasan yang tenang. Sepertinya kemarahan pria tonggos itu belum surut sedikitpun walaupun sudah membuat pria malang di hadapannya terkapar dengan tubuh babak belur, dan setelah tangan kirinya menoyor kepala pria itu, ia kembali menyalak buas. “Yonas, kau memang super bodoh, bego, idiot, dongok! Sudah hampir berbusa mulutku karena sering memperingatkan kau. Pakai otak kalau lagi jual barang, liat-liat dulu siapa yang mau beli, jangan asal sodorkan barang gitu aja!”
Pria kurus itu berhenti sejenak. Kali ini gagang pisau di tangan kanannya yang beraksi mematuk jidat pria malang itu. “Masa, kau tak bisa bedakan pembeli biasa dengan polisi, untung kau masih bisa kabur. Kalau sudah begini aku yang kena getahnya. Big Bos pasti akan marah besar. Sekarang kau ikut aku menghadap Big Bos. Kau yang harus mempertanggung jawabkan barang yang disita polisi itu!”
Tiba-tiba, braak!!! Daun Jendela yang dijadikan Romeo sebagai tempat menggantungkan tangan lepas dari handlenya, tanpa ampun benda itu jatuh ke tanah dengan bunyi yang cukup keras untuk didengar oleh semua makhluk yang bertelinga di tempat itu.
Sial! gerutu Romeo sambil melompat mundur, membalikkan badan, dan kaki-kakinya segera bergerak cepat. Lari… tapi terlambat, ketiga penjahat itu keburu melihatnya.
Pria kurus bergigi tonggos itu menggeram dengan mata menyala marah. “Cupeng, kau jaga manusia bodoh ini! Joker, kau ikut aku, kejar orang itu!”
Sudut mata Romeo yang membandel menyempatkan diri melirik ke belakang, dilihatnya pria kurus bergigi tonggos dan seorang anak buahnya segera menghambur keluar rumah, mengejarnya yang sudah duluan berlari dengan kecepatan di atas rata-rata. Sial! Badan letoy, haus, perut keroncongan, malah di ajak balapan lari di siang bolong. Mana panas lagi, keluhnya.
Romeo terus berlari menyusuri jalan dengan kepanikan memenuhi pikirannya. Ia berharap akan segera berpapasan dengan seseorang atau beberapa orang yang mungkin bisa meringankan bebannya melawan dua manusia yang sedang memburunya itu. Tapi, lagi-lagi ia harus mengerutu, sial! Jangankan manusia, ayam pun tak tampak melintas di jalan itu. Pada kemana sih, manusia-manusia di tempat ini. Hanya tampak pucuk-pucuk tumbuhan jagung dan singkong yang memenuhi sisi kiri kanan jalan itu. Ia masih terus berlari dalam kepanikan. Namun, walaupun hatinya masih terus mencoba memaksanya untuk terus berlari, tapi rupanya kelelahan mutlak menguasai kedua kakinya, ia berhenti dengan dada menyesak hebat, dan menyandarkan tubuhnya di batang sebuah pohon di pinggir jalan, mencoba menghirup udara segar sebanyak mungkin untuk memenuhi paru-parunya yang seakan-akan telah kehabisan oksigen. Sial lagi! Baru disadarinya ternyata udara yang berbau tak sedap yang telah dihirupnya dengan sepenuh hati, dan terlihat jelas tumpukan sampah yang menggunung di lahan kosong di sekitar tempat itu.
Kedua orang yang mengejar Romeo sudah mendekat, tapi begitu melihat pemuda itu sedang asyik beristirahat ria sambil menyandarkan diri di batang pohon, telah menggoda pemburu itu untuk melakukan hal yang sama. Kedua pria yang semula begitu bernafsu mengejar Romeo langsung berjongkok, terduduk, dan segera menggeletak di tanah, tampak begitu kepayahan menghela nafas.
Tapi pria kurus bergigi tonggos itu benar-benar manusia yang keras hati, nafas masih turun naik seperti orang kena serangan asma, ia masih menyempatkan diri menyemburkan gertakan. “Awas kau… sini...biar kupisahin kepala kau… dari batang leher kau!” ancam pria kurus bergigi tonggos itu terpatah-patah seraya mengacungkan pisaunya ke arah Romeo. Sedangkan rekannya yang bertubuh kekar layaknya seorang binaragawan itu hanya diam, terduduk kelelahan, dan sibuk menghimpun oksigen di paru-parunya.
Beberapa saat kemudian kedua penjahat itu segera berdiri, atur posisi dan bersiap menyerang Romeo yang masih menyibukkan diri mengatur nafas, sambil mencoba mengumpulkan tenaga yang tersisa. Tapi Romeo segera bersiap menghadapi kemungkinan terburuk yang bakal menimpanya. Sepasang matanya menyala mengikuti setiap gerak-gerik kedua orang yang memburunya.
Pria kekar berkaos lengan buntung dengan tato kelelawar di lengan kirinya, lebih dulu menyalak. “Ayo bang, kita habisi aja orang itu! Dia pasti sudah melihat aksi kita tadi.”
“Ya, kau memang harus dilenyapkan orang usil, sok tau!” sahut si pria kurus bergigi tonggos. “Bersiaplah melepas nyawamu!” ia segera menghambur menyerang Romeo dengan kombinasi pukulan dan tusukan pisau ke arah muka dan dada.
Walaupun jantungnya masih berdegup kencang, Romeo mencoba bersikap tenang dan waspada menghadapi serangan lawan. Dengan sedikit memiringkan tubuh ke kiri dan ke kanan, berkali-kali ia berhasil menghindari beberapa pukulan dan tusukan si tonggos, akibatnya pria tonggos itu semakin bernafsu menyerangnya dengan serangan membabi buta. Tapi justru itu yang diinginkan Romeo, memanfaatkan emosi lawan yang tak terkendali sekaligus mencoba menguras tenaganya. Ia terus mencoba meladeni serangan lawan dengan tenang dan lebih hati-hati. Sejujurnya, pisau di tangan lawan lebih membuatnya miris daripada pukulan dan tendangan lawan. Sejauh ini Romeo masih mampu meladeni serangan si tonggos. Rupanya hadiah berupa sebuah buku panduan ilmu beladiri yang diberikan pamannya ketika ia masih berumur sepuluh tahun sangat berguna baginya saat ini untuk mempertahankan selembar nyawanya, sehingga setiap serangan demi serangan yang terus dilancarkan oleh pria tonggos itu selalu luput.
Untung kedua penjahat ini tidak menyerangku berbarengan. Romeo masih sempat melirik pria berbadan kekar berkaos lengan buntung dengan tato kelalawar di lengannya itu belum berbuat apa-apa, masih diam di tempatnya seakan hanyut menikmati menonton pertarungan yang berlangsung di hadapannya.
Itu lebih baik, berdiri aja yang manis di situ, jadilah penonton yang baik, harap Romeo.
Tapi, akhirnya sebuah bentakan menyapa pria kekar itu.
“Jangan diam saja kerbau dongok!!! Bantuin aku, cepat habisi orang ini!” teriak si pria tonggos menumpahkan kekesalannya melihat anak buahnya berdiri bengong, belum juga membantunya menyerang Romeo.
Payah nih tonggos, beraninya main keroyokan, keluh Romeo. Tapi hal itu justru membuat degup jantungnya semakin sulit diatur. Satu orang musuh belum dapat diatasinya, eh sekarang bertambah lagi satu orang, berbadan kekar pula. Mudah-mudahan cuma bangkainya aja yang besar, harapnya lagi.
“Eh…., iya bang!” sahut si pria kekar tergagap, tersentak dari keterpanaannya dan segera menghambur ikut menyerang Romeo.
Romeo melompat mundur. Sejenak menimbang-nimbang kekuatannya untuk menghadapi kedua lawannya. Akhirnya dua lawan satu sekarang. Ok, aku layani! Tapi kali ini aku harus lebih hati-hati. Kedua orang bengis ini benar-benar sangat bernafsu ingin menghabisiku.
Pertarungan sengit kembali berlangsung. Berkali-kali Romeo hanya bisa terus mengelak dan menangkis serangan kedua penjahat itu, membuatnya bosan dan cukup kelelahan dalam posisi bertahan seperti itu. Sampai akhirnya ia melihat celah untuk menyerang balik. Ketika Pria tonggos itu mengarahkan tendangan ke arah dadanya, dengan cepat ia merunduk dan berhasil menghindar, kemudian ketika lawan masih bertumpu dengan satu kaki karena kaki satunya terangkat saat melancarkan tendangan, segera sapuan kaki kanan Romeo menyapu cepat dan keras ke arah kaki lawan. Tak ayal lagi kaki pria tonggos itu tersapu dengan mudah dan akibatnya tubuh kurus itu terhempas ke tanah, dan lebih sial lagi sebuah tunggul kayu menyediakan tempat mendarat yang menyakitkan untuk menyambut hempasan punggungnya.
Sejenak pria tonggos itu menggeliat. Rasa sakit yang begitu hebat dengan cepat menjalari punggungnya sehingga membuat mulutnya tak mampu melontarkan umpatan barang sepatah kata pun. Punggungnya terasa menggeletar hebat seperti kesetrum listrik.
Yeah, satu lawan telah ku KO-kan! Romeo tak dapat menyembunyikan kegirangannya. Senyum puas menyeringai di wajahnya.
O, oww, satu lagi. Ia buru-buru memperkuat kuda-kudanya.
Melihat si tonggos rebah dan meringkuk seperti udang bongkok sambil menggigit bibir karena menahan sakit, temannya yang bertubuh kekar langsung memburu Romeo dengan pukulan dan tendangan terbaiknya.
Romeo menyambut serangan itu dengan tangkisan. Tapi ia tak mau lagi hanya terus bertahan sambil memapaki serangan lawan, karena sekarang bisa terasa kalau tenaganya seakan berlipat ganda. Ia memutar otak untuk merancang teknik terbaik sambil mencari kelemahan lawan agar bisa melumpuhkan satu lawan tersisa itu.
Kali ini seimbang, ayo kita beradu kemampuan, geram batin Romeo seraya balik melontarkan pukulan dan tendangan. Kepercayaan dirinya meninggi menyusul keberhasilannya meng-KO seorang lawan barusan. Setelah beberapa kali berhasil menangkis serangan lawan sambil menyerang balik ke arah lawan, akhirnya kesempatan itu menghampirinya, ketika ia berhasil menghindari pukulan lawan, ia bisa menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang terlambat menarik pukulannya. Dengan cepat dipelintirnya tangan itu ke arah punggung lawan. Sekarang posisi Romeo berada di belakang lawan, lalu segera tangan kirinya menarik rambut lawan ke belakang sehingga kepala lawan terdongak ke atas. Dan, dengan mudah kaki kanannya berulangkali menghantam kedua betis lawan. Akibatnya lawan langsung terduduk dalam posisi tangan kanan masih terpelintir di punggung dan kepala terdongak ke atas, Ini dia, benar-benar bebas tanpa hambatan! Kemudian tanpa ampun lutut kanan Romeo menelikung dengan leluasa berulang kali menghantam dagu lawan. Dilepaskannya lawan yang sudah limbung, dan jatuh rebah seperti karung basah ke tanah.
Tampak darah mengucur dari sela bibir pria kekar itu, akibat bibirnya sempat tergigit saat dagunya disinggahi hantaman lutut Romeo.
He, he, dua lawan telah ku KO-kan, batin Romeo bersorak girang lagi. Tapi, benar-benar keras hati nih orang.
Si pria tonggos tampak memaksakan dirinya berdiri. Sebelah tangannya berada di balik punggungnya untuk meredakan denyutan rasa sakit yang masih betah menyiksa punggungnya akibat jatuh dan menghantam tunggul kayu tadi. Dari raut wajah dan sorot matanya tampak sekali kemarahan dan kegeraman yang amat sangat. Segera ia atur posisi untuk mulai menyerang Romeo lagi. Kali ini ia tampak lebih berhati-hati, seakan tidak mau menganggap remeh Romeo lagi, karena terbukti ia dan rekannya sudah berhasil dirobohkan Romeo barusan.
Romeo sejak dari tadi memang sudah bersiap menunggu serangan berikutnya dari pria tonggos yang masih menghunus pisau di tangannya. Ia geser kaki kanannya ke samping bermaksud hendak memasang kuda-kuda. Tapi, astaghfirullah, tiba-tiba kakinya malah terperosok ke dalam lubang kecil yang tak tampak olehnya karena ditutupi rumput liar. Akibatnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan memasrahkan diri jatuh ke tanah. Belum sempat ia mengatur posisi atau berdiri, seketika kaki kanan pria tonggos itu sudah menginjak dadanya. Argh, sakit! Rongga dadanya terasa menyempit, sesak, dan sulit bernafas. Sekarang posisi pria tonggos itu jongkok dengan lutut menekan kuat dada Romeo, dan dengan cepat ia mengayunkan pisau di tangannya ke arah leher Romeo.
Tapi rasa puji dan syukur yang terbersit di hati Romeo. Alhamdulillah! Allah belum mengijinkan pisau itu mencabut nyawaku, karena tangan kanannya yang bergerak refleks berhasil menangkap tangan lawan dan menahannya dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada agar hujaman pisau itu tidak menyentuh kulit lehernya, dan tangan kirinya segera membantu menahan.
Pria tonggos itu semakin bernafsu untuk terus berusaha menekan pisaunya ke arah leher Romeo. Sesaat terjadi dorongan dan tekanan turun naik bergantian. Sesaat pria tonggos itu berhasil menekan pisau di tangannya ke arah Romeo, tapi sesaat kemudian Romeo berhasil kembali mendorong tekanan pisau di tangan lawan menjauhi kulit lehernya.
Benar-benar adu kekuatan yang melelahkan dan menegangkan. Keputusasaan dengan cepat menyelimuti Romeo. Kedua tangannya yang sangat kelelahan gemetaran menahan hujaman pisau lawan, membuat lawannya merasa semakin di atas angin. Hampir-hampir ia pasrah pada nasib, mati diujung pisau lawan. Tapi sebelah matanya sempat melirik sebuah benda yang ada di samping kirinya, yah, sebuah payung rusak yang tinggal gagangnya saja. Ia segera menumpuk tenaga di tangan kanannya yang masih menahan tekanan tangan lawan.
Romeo berseru untuk menyemangati dirinya. “Bukan kau yang menentukan hidup matiku, tapi Allah!!!” lalu dengan secepat kilat tangan kirinya menyambar gagang payung itu, dan dengan tenaga yang tersisa dilontarkannya ujung payung itu ke arah wajah si pria tonggos.
“Ampun, ya Allah,” desis Romeo. Tanpa diduganya ujung payung itu melesak tepat menancap di mata kiri lawan.
Teriakan keras meluncur dari mulut pria tonggos itu. Kedua tangannya serta merta memegangi gagang payung yang menancap di mata kirinya. Pisau di tangannya terlepas sudah.
Romeo segera mendorong tubuh pria tonggos yang menindihnya sehingga pria itu terguling di tanah, terus meraung-raung kesakitan sambil menyemprotkan umpatan-umpatan kotor dari mulutnya. Darah mengucur deras dari mata kiri pria tonggos itu, wajahnya sudah berlepotan darah segar. Ujung payung itu masih menancap di mata kirinya. Kedua tangannya masih memegang gagang payung, belum berani mencabutnya.
Romeo langsung berdiri dengan tatapan penuh kengerian. Bergidik juga hatinya melihat ujung payung yang menancap di mata pria tonggos itu. Dilihatnya pria kekar letoy yang masih terduduk di tanah dengan wajah tegang sambil mengelus dagunya yang terasa ngilu. Tak mau ambil pusing, Romeo segera meninggalkan tempat itu dengan perasaan tidak mengenakkan memenuhi hatinya. Sebelumnya ia merasa tidak punya firasat apa-apa sehingga ia bisa mengalami peristiwa yang menakutkan di siang itu.***
Bersambung Ke Bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar