Senin pagi, tidak seperti biasanya Mario menjemput Orik lebih awal. Selama dalam perjalanan ke sekolah mereka, SMU Pulau Permai, Mario diam saja, terus berkonsentrasi mengendalikan motornya. Orik yang duduk di belakangnya juga berlaku sama. Pun begitu setelah sampai di sekolah. Setelah menaruh tas di kelas, tanpa berbicara mereka berdua langsung bergegas ke kantin sekolah.
“Gimana Rik, sukses acara malam mingguannya,” tanya Mario pada Orik ketika keduanya lagi asyik nikmatin bakso tahu goreng.
“Ya…begitulah,” jawab Orik pendek. Mulutnya terus menyeruput kuah bakso sambil sesekali mendesis-desis kepedasan. “Elo sendiri gimana, sukses nggak?”
“Ya…begitulah,” sahut Mario tak kalah irit. Mulutnya tak henti-henti mengunyah bola bakso.
Orik mendongak sewot, menghentikan aktivitas makannya. “Lho, kok jawaban lo kayak gitu. Nggak kreatif banget!” protesnya gusar.
“Elo tuh yang mulai. Ngejawab singkat gitu!” balas Mario. Sejenak ia diam, menatap sohib yang duduk di seberang mejanya. “Rik, pagi kemarin Farah bilangin ke gue kalo lo belum bikinin blog buat dia. Lo gimana sih, niatan ngegebet Farah, nggak? Payah lo, gue udah susah-susah ngeyakinin Farah supaya mau di bantuin sama lo untuk bikinin blognya, eh malah disia-siain.”
Kini giliran Orik yang menatap tajam ke Mario. “Lo tuh yang payah! Nindy juga ngadu sama gue, kalo lo juga nggak datang ke rumahnya malam minggu kemarin.”
Lalu keduanya terdiam sambil terus saling bertatapan. Setelah beberapa saat keduanya malah tersenyum geli. “Jadi… kita senasib man, sama-sama nggak bisa manfaatin kesempatan. hihihi…” kata Mario sambil cekikikan. “Tapi kenapa lo sampai nggak jadi datang ke rumah Farah?” selidiknya penasaran.
“Elo sendiri kenapa juga nggak jadi datang ke rumah Nindy?” Orik balik nanya, tak kalah penasaran.
Keduanya kembali terdiam, cuma bersitatap.
Tiba-tiba muncul Aldo dan Yoga menghampiri, dan langsung duduk di antara mereka berdua.
“Hei Rik, malam minggu kemarin gue liat lo lagi naik sepeda mini lewat depan rumah gue, mau kemana?” tanya Aldo.
Orik cuma mendelik tajam seraya menggeram kesal ketika mendengar pertanyaan tetangga satu kompleksnya itu.
“Hihihi… jadi malam itu lo nekat ke sana naik sepeda mini si Boby, adik lo. Kapan nyampenya, bulan depan kaleee! Hihihi…” ejek Mario sembari melepas tawa yang cukup membuat wajah Orik memerah seketika.
Tapi tawa hebat Mario seketika terhenti ketika Yoga yang juga tetangganya satu kompleks, nyeletuk. “Eh, Yo, malam minggu kemarin gue juga liat lo lagi nyusurin jalanan kompleks sambil jongkok-jongkok gitu, kayak lagi nyari sesuatu. Nyari apaan sih.”
“Hihihi… jadi malam itu lo juga nekat pakai dengkul ke sana . Nyampenya tahun depan kaleee! Hihihi…” Orik balas ngejek dengan tawa nggak kalah hebohnya. Kali ini rona udang bakar pada wajah Orik migrasi ke muka Mario.
Aldo dan Yoga ikutan ngikik seru, namun keduanya segera terdiam, mencoba meresapi dan memahami kalimat-kalimat yang terlontar dari adu ejek antara Orik dan Mario. Mereka berdua lagi ngeributin apa sih.
Seperti membaca isi pikiran Aldo dan Yoga, segera Orik menegur keduanya. “Lo berdua nggak usah mikir yang macam-macam deh. Ayo lanjutin lagi ngikiknya. Hihihi… Yo, Yo, lo emang aneh, jaman modern gini masih masih ngandalin dengkul. Hihihi…”
“Lo juga aneh, Rik. Nggak kasian apa sama sepeda mini adek lo ketiban badan kekar lo. Hihihi…” sahut Mario.
Serempak Aldo dan Yoga berdiri.
“Lo berdua sama anehnya! Yok , Ga , kita pindah meja aja. Kelamaan di sini malah ikutan jadi orang aneh,” ujar Aldo sambil pindah duduk di bangku meja sebelah.
“Iya nih, gue juga nggak mau ketularan virus cekakak-cekikik nggak karuan kayak gitu, ntar malah diantarin ke RSJ Panam lagi,” Yoga mengekori Aldo dan duduk di sebelahnya.
Orik dan Mario sok cuek, malah semakin mengikik hebat. Untung pagi itu cuma mereka berempat yang lagi nongkrong di kantin itu, plus Ibu penjaga kantin yang lagi geleng-geleng kepala melihat polah tingkah mereka.
Bel tanda masuk yang berdering usil membuat mereka segera meninggalkan kantin menuju kelas, bersiap menghadapi keuletan guru Ekonomi Akuntansi mereka, Pak Sanusi.
☺☺
Kelas III IPS 2 memperlihatkan kondisi senyap pagi itu, hanya menampakkan tiga puluh orang siswa-siswi yang sedang konsen menekuni soal ulangan yang berikan Pak Sanusi, guru yang punya hobi memberikan ulangan mendadak. Maksudnya sih sangat baik, supaya setiap siswa-siswinya selalu siap menguasai mata pelajaran yang telah diajarkannya. Tapi buat Orik dan Mario yang masih dibayangi acara malam mingguan mereka yang gatot alias gagal total, inisitif baik guru berwajah ramah namun tegas itu jelas-jelas membuat mereka berdua kelimpungan mengerjakan soal-soal ulangan itu. Padahal hanya satu soal saja yang diberikan Pak Sanusi, yaitu soal nomor satu di buku Lembaran Kerja Siswa, berupa data transaksi sebuah perusahaan. Cuma, perintahnya aja yang cukup memusingkan kepala, yaitu :
Berdasarkan data transaksi, buat:
a. Jurnal umum
b. Jurnal penyesuaian
c. Neraca saldo
d. Neraca lajur
Hampir dua jam berlalu. Mario yang lagi bercucuran keringat menoleh ke Orik yang duduk di sebelahnya. Lalu berbisik lirih. “Ssst, Rik, angkat dikit kertas jawaban lo. Gue mati akal, nih. Pliz, bagi jawaban dunk.”
“Dengan senang hati sobatku. Liat dan salinlah semua jawaban gue sepuas hati lo,” bisik Orik juga sembari mengikik kecil.
Mario menyambut uluran bantuan Orik dengan wajah berseri-seri. “Lo emang paling bisa diandalin, Rik. Lo ada saat gue butuh, en lo berbakat jadi akuntan kayak bokap lo.” Tapi setelah sepasang matanya sibuk jelalatan menyapu isi kertas yang diangkat Orik. “Kamfretz lo! Apanya yang mau gue salin, kertas lo bersih polos kayak gitu!” rutuknya tanpa sadar, begitu keras.
Seketika semua mata seisi kelas serempak meneropong ke arah Mario. Termasuk Pak Sanusi. “Mario! Kertas jawaban siapa yang mau kamu contek, hah!” hardiknya.
Sesaat Orik mendelik tajam ke Mario. Mario balas mendelik.
Terdengar lagi hardikan Pak Sanusi. “Mario, kamu dengar tidak! Kertas jawaban siapa yang mau kamu contek!”
“O…rik, Pak,” jawab Mario pelan, lututnya mulai bergetar. Apes gue.
Perasaan tidak nyaman juga mulai merayapi Orik. Mudah-mudahan aja gue nggak kecipratan masalah.
Pak Sanusi menghela nafas, geram. “Mario, sini kamu! Bawa kertas jawabanmu, cepat!”
Perlahan Mario beringsut dari mejanya. Orik yang sempat diliriknya tersenyum geli. Rasain lo, pakai bawa-bawa nama gue segala sih.
“Orik, kamu juga ke sini, sekalian sama kertas jawabannya!” suruh Pak Sanusi.
Senyum geli Orik menguap. “Sialan lo, Yo. Gara-gara lo, gue ikutan ketiban masalah,” gerutunya kesal sambil ngekorin Mario ke depan kelas.
Keduanya berdiri sambil menundukkan kepala penuh ketegangan di hadapan Pak Sanusi yang menatap tajam ke arah mereka. Namun melihat kedua siswanya menunduk tegang kayak terdakwa yang sedang diadili, raut wajah Pak Sanusi sedikit melunak, perkataannya juga biasa saja, tidak seperti orang yang sedang marah. “Mario, bapak sangat tidak suka mendengar kata umpatan di kelas ini, seperti yang kamu ucapkan tadi. Kamu itu siswa, terpelajar. Tidak boleh mengeluarkan kata-kata orang yang tidak berpendidikan seperti itu. Mengerti kamu.”
“Mengerti pak,” jawab Mario begitu pelan.
“Bagus. Kemarikan kertas jawaban kamu!” pinta Pak Sanusi.
Dengan tangan gemetaran Mario mengangsurkan kertas jawabannya ke Pak Sanusi.
Mata Pak Sanusi membelalak begitu menerima kertas yang diulurkan Mario. “Astaghfirullah! Mario, waktu ulangan sudah hampir habis tapi kertas jawaban kamu masih kosong melompong seperti ini. Pantas saja kamu berniat menyontek sama Orik. Makanya kamu belajar yang benar seperti Orik,” ujarnya seraya memindahkan pandangannya ke Orik. “Orik, sini kertas jawaban kamu!”
Dengan enggan Orik memberikan apa yang diminta gurunya itu. Mati gue!
Pak Sanusi sedikit tersenyum menyambut kertas jawaban yang diulurkan Orik. Tapi senyumnya seketika hilang tak berbekas begitu melihat kertas jawaban itu, mengernyitkan dahi, dan sedetik kemudian ia tertawa kecil. Namun ia segera menarik habis tawanya lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hebat! Kamu pakai tinta apa Orik sehingga tulisan kamu tidak terlihat tertulis di kertas ini. Kamu pakai tinta rahasia, ya? Pantas saja tadi Mario mengeluarkan umpatan tak berguna karena tidak bisa membaca jawaban kamu.”
Orik dan Mario saling pandang, tersenyum lega dan menutup mulutnya seraya mengikik pelan. Pak Sanusi nggak marah lagi, malah melucu. Hihihi…
“Ya, tertawakanlah terus kebodohan kalian!” mereka berdua tersentak mendengar ucapan Pak Sanusi. Mereka semakin menundukkan wajah ketika terdengar cekikikan riuh di beberapa sudut kelas. Teman-teman mereka pasti pelakunya.
“Sekarang kembali ke tempat duduk kalian! Yang lain silahkan kumpulkan jawaban kalian!” perintah Pak Sanusi. “Cepat, waktunya habis!”
Siswa-siswi yang lain bergerak berserabutan mengumpulkan jawaban ke meja Pak Sanusi. Mario dan Orik kembali ke tempat duduknya dengan lesu. Tapi kelesuan mereka semakin bertambah ketika, “Mario dan Orik, kalian harus belajar lebih giat lagi. Saya tidak mau dianggap gagal menyampaikan ilmu kepada kalian berdua. Karena itu demi kebaikan kalian sendiri, dan supaya kalian lebih menguasai mata pelajaran ini, kalian saya beri tugas tambahan. Kerjakan sisa soal di LKS tadi, dari nomor dua sampai nomor lima . Kumpulkan besok tepat jam tujuh pagi!” lanjut Pak Sanusi.
Mario terperangah. Haaah? Empat soal! Satu soal empat poin. Busyet, sama aja ngerjain enam belas soal.
Orik meringis. Sumpret! Gue nggak bakalan mau jadi akuntan.
☺☺
Jam lima sore Orik terbangun dari tidur siangnya ketika sang Bunda menggedor-gedor hebat pintu kamarnya yang sengaja dikuncinya, biar bobok siangnya lebih nyaman sejahtera.
“Orik, bangun! Udah jam lima nih. Kamu belom sholat asyar, kan ?” terdengar teriakan Bunda. Untuk urusan satu itu sang Bunda paham benar tabiat anaknya, sebab setiap sore adalah kegiatan rutinnya membangunkan Orik dari tidur siang dan sekalian mengingatkannya untuk sholat asyar. Hal yang sama juga terjadi saat sholat subuh. Sedangkan untuk sholat zuhur, kebetulan aturan sekolah Orik mewajibkan setiap siswa-siswi yang muslim untuk sholat berjamaah di musholla sekolah. Dan saat sholat maghrib dan asyar mereka sekeluarga selalu melakukannya secara berjamaah dengan diimami sang ayah.
Orik menggeliat, bangun, diam sejenak untuk memulihkan kesadaran, dan berjalan malas menuju pintu, sebab Bunda takkan menghentikan aksi gedor menggedornya sebelum melihat anaknya itu bangun dan masuk ke kamar mandi. “Huaaah,” ia menguap di depan pintu kamarnya yang sudah dibukanya.
Bunda segera mengibaskan tangannya di depan wajahnya. “Orik, jangan racuni bunda dong, dengan uap baumu itu. Bunda bisa pingsan, tau!”
“Sorry, Nda,” Orik membalikkan badannya, menguap lagi dan melangkah menuju kamar mandi di pojok kamarnya.
Bunda tersenyum sejenak dan berlalu. Ia merasa tidak perlu memastikan sampai Orik keluar dari kamar mandi dan sholat asyar. Ia percaya anaknya sudah dewasa dan cukup mengerti bahwa sholat fardu lima waktu itu wajib dilakukan oleh setiap muslim di mana saja dan dalam kondisi apapun.
Usai sholat asyar Orik turun ke lantai bawah, perutnya yang berkokok terus ketika sedang sholat tadi membuatnya melangkah menuju dapur. Ia tersenyum lega ketika melihat masih ada beberapa bungkus mie instan di lemari. Setelah itu segera ia beraksi mengolah mie instan itu menjadi makanan yang siap untuk di santap.
Kurang dari lima belas menit ia sudah mematikan kompor gas dan mengangkat teflon berisi mie instan rebus plus dua butir telor ceplok serta taburan bawang goreng.
Orik baru saja mulai mengangkat mangkuk dan meniup-niup mie rebus porsi jumbonya yang masih panas ketika Tari adiknya, menghampirinya di depan meja makan. “Bang Orik, konsen banget makan mienya. Kelaperan, ya? Tuh ada telpon dari Bang Mario. Cepet ambil gih,” ujar Tari tersenyum manis.
Orik meringis. Tumben nih anak ngomongnya enak banget. Pasti lagi ngincer mie gue, nih. Uh, Mario, ngapain lagi nelpon sore-sore gini. Mana gue siap tempur lagi mo ngelabrak…
“Bang, cepet! Kasian dong sama yang nelpon. Teleponnya nggak Tari tutup!” Tari mengingatkan dengan nada mendesak.
“Iya, anak bawel!” Orik bangkit dari duduknya. “Awas, mie gue jangan lo apa-apain. Pyiuh, pyiuh, pyiuh…” lanjutnya sambil menyembur mangkuk mienya kayak dukun gadungan lagi menyembur pasien bego yang ketipu. Lalu dengan setengah berlari ia bergegas ke ruang tengah, melewatkan cibiran Tari.
Gayanya, pakai ngasih pyiuh-pyiuhan segala. Tapi kayaknya aroma mie rebusnya nggak ngaruh deh akibat semburan tadi. Waduh, mana ada telornya lagi. Uh, gue jadi laper deh. Gue embat aja dikit, nggak bakal ketauan. Tari mulai beraksi, duduk di kursi menghadapi mangkuk berisi mie rebus yang tak bertuan di atas meja. Sendokan pertama. Mmm, tuh kan bener. Semburannya nggak ngaruh. Kuahnya seger gini. Sendokan kedua. Wuih, telornya gurih banget. Tangannya bersiap mengangkat sendokan selanjutnya. Gila, gue ketagihan nih. Tanggung, mie segini enak disia-siain gitu aja. Mumpung tuannya lagi cuap-cuap. Moga-moga aja Bang Mario ngomongnya muter-muter. Tapi… ntar, Bang Orik pasti ngamuk jungkir balik ngeliat mie ini gue abisin. Bodo, ah! Bang Orik emang sering ngamuk tapi masih terkendali kok. Hihihi…” dan berlanjutlah aksi penjarahan mie rebus itu.
Orik masih sibuk bertelepon ria di ruang tengah. “Tumben lo nelpon sore-sore gini, biasanya jam segini lo masih molor sampe malam, trus molor lagi kayak ular abis ngelahap jatah makan malam lo.”
“Enak aja lo. Rik, gue nggak bisa tidur neh, kepikiran tugas hukuman tadi,” sahut Mario di seberang sana .
“Trus ngapain lo nelpon gue.”
“Yah, pakai nanya lagi. Fren! Kita harus kompakan untuk urusan yang satu ini.”
“Maksud lo.”
“Yah, kita ngerjainnya bareng-bareng. Ngng… maksud gue sih, kita minta bantuan bokap lo aja. Bokap lo kan akuntan!”
“Enak aja. Lo pikir bokap gue mau apa ngerjain tugas kayak gitu!”
“Niat gue bukan gitu, nyet! Maksud gue, bukan bokap lo yang ngerjain tugas kita. Tapi kan kita bisa nanya-nanya ke bokap lo kalo kita lagi kesulitan ngerjain tuh soal.”
“Yah, sama aja, mbek! Kita berdua emang nggak ngerti sama sekali cara nyusun laporan keuangan kayak gitu. Jadi sama aja kita nyuruh bokap gue buat ngerjain tuh soal.”
Terdengar dengusan geram Mario. “Hei, choi, nyadar dunk. Tuh soal ada enam belas biji. Besok jam tujuh pagi udah harus ada di tangan Pak Sanusi. Soal empat biji aja nggak ada satu pun yang bisa kita selesaikan dalam waktu dua jam. Bayangin aja kalo enam belas biji. Sampe minggu depan atau abis lebaran tahun depan tuh soal juga nggak bakal kelar kita kerjakan, karena kita nggak pernah ngerti cara ngerjainnya. Makanya kita harus pakai akal. Sorry, bukan maksud gue manfaatin bokap lo. Tapi setidaknya kita kan bisa mengawalinya dengan bertanya, selanjutnya, ya…syukur-syukur bokap lo bisa jadi guru yang baek. Soalnya selain akuntan, bokap lo kan juga dosen, dan syukur-syukur juga otak kita sedikit berbaik hati menghilangkan kebebalannya.”
“Heh, otak kita? Otak lo kali yang bebal. Tapi...” waduh, gimana nih nasib mie gue. Aman nggak sih. Nih anak ngomongnya lama banget lagi. “Ok, deh, udahan dulu. Ntar, lo datang aja abis maghrib. Gue mau tempur dulu,” klik, Orik menutup teleponnya. Dan dengan perasaan tidak enak memenuhi hatinya ia berlari ke ruang makan.
“Egh!” ia menemukan Tari bersendawa sembari mendecap-decap. “Kenyang deh gue makan mie rebus gratisan. Pakai bonus dua buah telor lagi. Egh!”
Mulut Orik ternganga dengan mata terbelalak lebar begitu melihat mangkuk mienya yang sedang di hadapi Tari sudah bersih tak bersisa walaupun setitik kuah pun. Tragis bener nasib gue punya adik terusil sedunia. “Tarriii, kenapa lo nekat ngabisin hak milik gue. Tadi kan udah gue sembur!” sergahnya penuh kegeraman. Awas lo gue kerjain.
“Biar aja. Rasanya nggak ngaruh kok, tetep enak. Mienya empuk, kuahnya seger, en telornya gurih. Hmmm, Bang Orik emang pintar masak. Sering-sering kayak gini napa, bang,” jawab Tari polos tanpa dosa.
“Bukan begitu Tari adik gue tersayang. Soalnya tadi…” Orik menggantung kalimatnya, memikirkan ide super gokil bin nyeleneh.
“Udah, abang nggak usah kuatir. Tari nggak bakal sakit deh, karena makan mie rebus plus campuran semburan tadi. Tari jadi terharu nih, abang ternyata perhatian banget ya sama Tari. Hikz, hikz…” Tari malah pura-pura terharu, tidak menyadari bahaya yang mengintainya.
“Tari, gue cuma mau ngasih tau. Tadi… waktu gue lagi masak mie itu, hidung gue gatel, trus gue ngupil. Tapi…” kata Orik, menggantung kalimatnya lagi.
“Tapi apa, bang?” perasaan Tari mulai tidak enak.
“Mmm, upil gue jatuh ke mie rebus itu. Tapi nggak banyak kok, cuma segede ujung telunjuk aja, agak lengket sih, dan… item lagi.” Rasain lo!
“Huek!” Tari merasakan ada sesuatu bergerak dari lambung naik ke tenggorokannya. Hidungnya terasa pedas. Pandangan matanya berkunang-kunang.
“Eh, jangan dikeluarin di sini, dunk. Cepet gih sana ke kamar mandi. Hihihi…” Orik tertawa girang melihat tipu muslihatnya memakan korban.
Tari yang sudah tidak bisa lagi menahan gejolak yang mengobrak-abrik perutnya segera berlari menuju kamar mandi dan merelakan menumpahkan semua yang baru saja dimakannya di sana .
Makanya jangan suka nyuri hak milik orang dunk! Dosa tau! Tapi… Orik termenung sejenak. Ia masih mendengar penderitaan adiknya dari kamar mandi. Rasa ibanya segera terbit. Penyesalan memukulnya.
Gila, gue kok tega banget sih sama adik sendiri. Kalo dia sakit gimana, gue dosa juga dunk karena udah buat adik gue menderita. Orik berlari ke ruang tengah, membuka lemari obat dan setelah menyambar botol minyak kayu putih, ia berlari lagi ke kamar mandi belakang dan menemukan Tari masih sibuk berhuek-huek ria. Segera ia mengoleskan sedikit minyak kayu putih di ujung hidung adiknya lalu juga mengusap tengkuk adiknya itu dengan minyak itu. Beberapa saat kemudian Tari sudah agak baikan. Huek-huekannya tidak terdengar lagi. Orik segera menuntun adiknya duduk di kursi dapur.
“Tari, sorry deh. Gue tadi cuma pura-pura. Nggak bener kok, kalo mie rebus itu kemasukan upil gue. Sumpret! Gue nggak bohong. Maafin gue, ya? Lo jangan sakit, ya? Ntar, dosa gue nambah lagi, dunk. Pliz, maafin gue,” ucap Orik memohon sambil mengusap-usap lembut kepala adiknya.
Tari tersenyum haru, hatinya bergetar, dan membiarkan dua bulir bening keluar dari kedua sudut matanya, dan menuruni pipinya. “Tari maafin, bang. Lagian Tari juga salah kok, udah ngabisin mie rebus abang. Maafin Tari juga ya, bang?” hanya itu yang bisa diucapkannya, dan membiarkan tangan abangnya terus mengusap lembut kepalanya.
Waduh, kok suasana berubah jadi melow gini, sih. Tapi gue lega, Tari mau maafin gue.
Kryuk! Orik meringis mendengar kokokan lambungnya. “Tari, kamu mau mie rebus lagi nggak, biar abang yang masakin. Di jamin steril. Mau, ya?” tawarnya lembut.
Tari mengangguk riang. “Mau dong, yang tadi kan udah keluar semua. So, Tari laper lagi. Tapi kali ini abang, Tari bantuin, deh.”
“Kamu mau bantuin?” Orik menyambut antusias.
“Pasti! Bantu nungguin sampe mienya siap dimakan,” kata Tari sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi mungilnya yang berbaris rapi.
Orik tertegun sejenak, pura-pura pasang wajah jutek, namun seketika senyumnya mengembang, “Ok, deh, adik gue tersayang. Elo duduk aja yang manis di situ. Abang akan masakkan mie rebus terlezat paling yummy buat lo,” ujarnya riang.
“Tapi…” Tari mengernyit. Gimana kalo…
“Nggak usah kuatir, deh, Insya Allah dijamin halal dan steril,” janji Orik begitu melihat ekspresi ragu adiknya.
Mendengar nama Allah di sebut-sebut Tari semakin yakin, segera ia mengganti kalimat yang semula tersusun di benaknya. “Bukan itu, bang. Maksud Tari… GPL!”
Ganti kening Orik yang berkerut.
Tari tersenyum. “Gak pake lama!”
Orik lega. “Ok, deh, cook hotel bintang lima segera beraksi, yeah!” teriaknya penuh semangat.
Tari tertawa renyah melihat kelakuan abangnya. Walaupun rada usil, ternyata abang gue baik juga.
Setelah itu dengan cekatan kembali Orik memperlihatkan ketangkasannya dalam memasak mie rebus. Tiga bungkus mie plus empat butir telor dimasaknya sekaligus, maklum ia laper berat. Beberapa saat kemudian sudah terdengar celetukan Tari. “Hmmm, haruuum. Udah belom, bang.”
“Ok, selesai. Lo siapin mangkuk deh, dua!” suruh Orik sambil mengangkat teflon dari kompor gas.
Orik lalu membagi isi teflon ke dua buah mangkuk yang sudah disiapkan Tari di atas meja makan. Tari lagi-lagi menatapnya dengan penuh minat.
Baru saja kedua kakak beradik itu hendak mencicipi kelezatan mie rebus itu. “Wah, lagi makan-makan, neh. Bagi dikit dunk buat gue yang juga lagi kelaperan ini,” Mario tiba-tiba muncul dari ruang tengah.
Tari cuek, meneruskan menikmati jatahnya.
Orik mendengus. Tapi begitu melihat Mario yang memandangnya dengan tatapan mata sayu kontan memancing rasa kesetiakawanannya.
“Heran gue, Yo. Indera keenam lo jalan juga kalo lagi ada makanan. Gue suruh datang abis maghrib, eh malah nongol sekarang. Tapi ya udah, Kita makan semangkuk berdua aja, deh. Emang udah rezeki lo kali,” kata Orik sambil menarik kursi di sebelahnya.
Dengan wajah berseri-seri Mario segera duduk di samping Orik.
Tari menghentikan aksi makannya sejenak, lalu mendekatkan mangkuknya ke mangkuk Orik, memindahkan sedikit isi mangkuknya ke situ. Dan mereka bertiga pun menikmati hidangan mie rebus itu dengan lahap penuh kenikmatan di sore menjelang maghrib itu.
Maghrib pun tiba. Orik sekeluarga melakukan sholat berjamaah di ruang sholat keluarga. Sedangkan Mario yang seorang kristiani, duduk menunggu di ruang tengah sambil menonton tivi yang volumenya sengaja dibuat mute, ia tidak mau mengganggu kekhusyukan temannya sekeluarga beribadah. Hal itu juga berlaku ketika saat waktu sholat Isya masuk.
Tepat jam delapan malam, usai menikmati jamuan malam bersama dengan keluarga Orik, Mario sudah stand by di ruang belajar Orik di lantai dua. Ia dan Orik duduk di karpet, lagi konsen memperhatikan Pak Fadly, ayah Orik yang sedang sibuk cuap-cuap sambil sesekali menuliskan penjelasannya di white board.
Setelah dirasa cukup memberi penjelasan, Pak Fadly memberi perintah. “Ok, sekarang coba kalian kerjakan dulu soal nomor dua poin satu. Baca baik-baik data transaksinya dan setelah itu coba buat jurnal umum berdasarkan data itu. Ingat konsentrasi, pikiran jangan melayang kemana-mana. Silahkan!” lalu Pak Fadly duduk di sofa sambil menghidupkan laptopnya.
Sejenak Orik dan Mario saling bersitatap. Lalu serempak berkata penuh semangat. “Let start and win our fight!” lalu mereka mulai menggeluti soal pertamanya.
Sepuluh menit berlalu. Orik mengetuk-ngetuk jidatnya sambil memonyongkan mulut. Mario garuk-garuk kepala lalu melirik ke Orik. “ssst, gimana, lo bisa nggak?” desisnya.
“Lagi usaha bro,” jawab Orik lalu kembali menekuni soalnya.
Pak Fadly mendehem. “Kerjakan dulu sebisa kalian. Saya ingin tau sampai dimana daya tangkap kalian atas penjelasan saya tadi. Setelah itu kita akan bahas apa yang sudah kalian kerjakan. Kalau kalian tekun dan sungguh-sungguh, kalian pasti bisa mengerjakan soal itu. Terutama kamu, Rik. Masa anak seorang akuntan dan dosen konsentrasi mata kuliah akuntansi tidak tau cara buat jurnal dan nyusun laporan keuangan sederhana kayak gitu. Jangan malu-maluin ayah, ya?”
“Yah, panjang banget penjelasannya. Konsentrasi kita jadi buyar nih,” protes Orik.
Pak Fadly tersenyum geli. “Silahkan lanjutkan lagi,” dan kembali menekuni laptopnya.
Orik dan Mario juga kembali sibuk menggeluti soalnya. Tapi tak lama kemudian keduanya kembali saling tatap. “Kok gue nggak ngerti juga, ya,” celetuk Mario.
“Sama,” timpal Orik.
Pak Fadly segera bangkit dari duduknya. “Baik, kalau gitu soal pertama poin satu sampai empat kita kerjakan bersama. Sisanya kalian kerjakan sendiri!”
Orik dan Mario mengangguk riang. Tapi, “Yah, poin soalnya kan ada enam belas, gimana kalo ayah bantu kami ngerjainnya sampai poin sepuluh,” tawar Orik tak tanggung-tanggung.
“Orik, nggak usah kuatir, ayah akan mengawasi kalian sampai semua soal itu selesai kalian kerjakan. Kalau nggak ngerti kalian kan bisa tanya sama ayah,” ujar Pak Fadly bijak.
Rongga dada Orik dan Mario yang semula agak menyempit dan sesak sekarang sudah terasa lapang dan lega. Dengan dibimbing oleh Pak Fadly yang penyabar mereka melanjutkan lagi perjuangannya.
Di sela-sela perjuangannya Orik nyeletuk. “Yah, Orik kok nggak pintar kayak ayah, sih. Nilai di sekolah walaupun nggak jelek, tapi nggak bagus-bagus amat. Pintarnya ayah kayaknya enggan nurun ke Orik, nurunnya cuma sama Tari dan Boby aja. Tari selalu juara kelas, dan Boby yang belum berumur lima tahun udah bisa baca. Kok bisa gitu sih, yah.”
Mario melebarkan senyumnya, lalu juga ikut nyeletuk. “Iya, Om. Saya dan Orik senasib. Saya juga heran, Om. Kok saya juga nggak pintar kayak Papa saya. Padahal saya pengen banget jadi perwira kayak Papa.”
Pak Fadly menghela nafas sejenak. Lalu tersenyum seraya menatap kedua anak muda itu. “Orik, Mario, kalau mau pintar kalian harus menjadikan rasa malas sebagai musuh utama, karena itu pasang kalimat DON’T BE LAZY di pikiran kalian. Usaha yang keras, sebab kepintaran itu nggak datang dengan sendirinya. Kalau diibaratkan, pisau yang tumpul nggak akan bisa tajam kalau nggak pernah diasah dengan cara baik dan benar. Begitu juga dengan otak. Kalau otak hanya dipakai untuk memikirkan atau menghayalkan banyak hal yang nggak bermanfaat, maka otak akan menjadi tumpul, bebal.”
“Gimana caranya supaya otak tidak menjadi bebal, Om ,” timpal Mario.
Pak Fadly diam sejenak lalu menjawab. “Gunakan otak hanya untuk memikirkan hal-hal yang baik dan bermanfaat. Biasakan memori otak untuk menerima dan menyimpan ilmu pengetahuan baru setiap saat. Jangan cuma mengandalkan ilmu yang didapat di sekolah, oleh karena itu jadilah pelajar yang haus ilmu dengan memelihara kegemaran membaca dan banyak bertanya. Jangan enggan menanyakan sesuatu yang belum kalian mengerti kepada guru atau orang tua, bahkan kepada teman sekalipun. Salah satunya seperti yang sedang kalian lakukan sekarang. Kalian mau bertanya kepada saya.
“Saya senang kalau seandainya setiap saat kalian mau belajar seperti ini, tapi dengan penuh keikhlasan dan kesadaran bahwa semua ilmu yang sedang kalian pelajari gunanya adalah untuk bekal kalian di masa depan. Bukan hanya karena tugas hukuman dari guru kalian!” sentil Pak Fadly sambil tersenyum tipis.
Orik mengernyitkan dahinya. “Kok Ayah tau,” herannya.
“Orik, siapa aja pasti bisa menebak kalau tugas yang sedang kalian kerjakan itu adalah tugas hukuman. Mana ada sih guru yang tega memberikan tugas seabrek-abrek kayak gini,” jawab Pak Fadly lalu tertawa geli. “Tapi saya tetap bangga sama kalian, walaupun hanya karena tugas hukuman kalian tetap mau bela-belain begadang demi menyelesaikan tugas ini.”
“Tapi selain dengan belajar yang benar, ada lagi lagi nggak, yah, caranya supaya Orik bisa pintar,” tanya Orik lagi.
Pak Fadly menatap anaknya dengan pandangan teduh lalu berkata. “Berdoalah kepada Yang Maha Pintar dan Maha Tahu, yaitu Allah SWT, agar selalu di beri pikiran yang jernih dan mudah menerima ilmu.” Kemudian ia memindahkan pandangannya ke Mario. “Kamu juga harus berdoa menurut kepercayaan yang kamu anut, Yo. Sebelum belajar, pintalah pikiran yang terang dan jernih kepada Yang kamu yakini, supaya ilmu yang kamu pelajari dapat kamu tangkap dengan baik,” lanjutnya bijak.
Mario mengangguk pelan, mencoba meresapi kata-kata Pak Fadly. “Makasih Om, sarannya,” Jawabnya lirih.
“Kita mulai lagi, yuk,” ajak Orik.
“Yoa, fren!” sambut Mario penuh semangat.
Pak Fadly tersenyum puas melihat semangat kedua anak muda yang mulai terbangun itu.
Jam satu lewat empat puluh lima menit dini hari. Orik dan Mario sudah tergeletak di atas karpet. Suara ngorok mereka riuh rendah saling bersahutan. Pak Fadly tersenyum melihatnya. Kemudian dengan lembut ia mengganjal kepala Orik dan Mario dengan bantal.
“Akhirnya mereka mampu juga menyelesaikan soal-soal itu. Sebenarnya mereka berdua tidak bodoh. Mungkin hanya karena tidak pernah menganggap serius apa yang mereka pelajari. Hmmm, padahal usia mereka berdua sudah lewat tujuh belas tahun tapi kadang-kadang tanpa disadari masih suka bertingkah laku seperti Boby yang masih kecil,” gumam Pak Fadly sambil memasang obat nyamuk electric dan berlalu turun ke lantai bawah.
Di tengah lelapnya Orik mengigau, don’t be lazy, bro!
Yeaaa…huah! sambut Mario juga dalam igauannya.
☺☺
Bersambung Ke Bagian 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar