“Sorry, Rik, gue telat dikit. Tadi gue ngantarin makan dulu buat Robo,” kata Mario begitu menghentikan motornya di depan Orik yang lagi berjalan menyusuri jalan kompleks rumahnya.
“Gue kira ada apa-apa dengan motor lo. Soalnya nggak biasanya lo telat jemput gue. Makanya gue jalan aja, niatnya mau naik angkot aja ke sekolah,” sahut Orik lalu segera duduk di belakang Mario. “Eh, tadi lo bilang, lo abis ngantarin makan buat Robo. Maksudnya apa?” tanyanya sambil mengenakan helm.
Mario menekan electric starter motornya. “Robo nggak dibawa sama Bang Ucok ke Medan , Rik. Dan gue yang akan melihara anjing itu. Sekarang untuk sementara Robo gue ungsikan dulu di pos ronda sampai gue bisa ngebujuk dan ngeyakinin keluarga gue supaya ngebolehin gue melihara Robo,” jelasnya dan segera menarik tuas gas motornya.
“Ooo, begitu…” hanya itu sahutan Orik yang mengeratkan pegangannya ketika Mario mulai melajukan lari motornya.
Mario mengendalikan motornya dengan penuh semangat. Pagi itu ia senang sekali. Robo yang selama dua hari ini menjadi beban dan memenuhi pikirannya, telah ditemukannya dalam keadaan baik-baik saja.
Motor yang ditumpangi Mario dan Orik melaju cukup kencang di atas mulusnya jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, meliuk-liuk membelah jalanan yang dipadati berbagai jenis kendaraan.
Mendekati depan pasar Dupa, yang di sisi jalannya di penuhi angkot yang lagi menunggu penumpang, Mario memperlambat laju motornya, karena banyak orang yang melintas atau menyeberang jalan seenaknya, maklum suasana umum pasar memang begitu, semerawut! Walaupun sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu setiap hari, tetap saja Mario kaget berat ketika seorang kernet angkot yang lagi nguber penumpang tiba-tiba lewat di depan motornya, untung saja rem motornya double disk, pakem banget, jadi seketika motornya langsung berhenti dengan suara mendecit tajam ketika ia menarik tuas rem depan dan menginjak pedal rem belakang. Si kernet angkot berkaos dengan atribut partai politik itu cuek saja, seakan tidak terjadi apa-apa, malah sengaja meledek dengan memamerkan gaya langkah gemulainya bak banci kaleng abis luluran oli bekas, terus menyeberangi jalan.
“Kurang ajar tuh orang!” Mario mengkertakkan rahangnya, geram. Debaran jantungnya masih mengencang. Kalo tuh orang ketabrak, dia bisa mampus! Dan abis itu gue juga bakal mampus karena di gebukin orang-orang sepasar. Gue sumpahin lo jadi banci beneran seumur idup!
“Kalem, bro!” sahut Orik sambil menepuk bahu Mario.
Tiba-tiba… “Teeettt!!!”
Orik terlonjak kaget di posisinya, bahkan sampai mencengkeram erat bahu Mario.
Begitu juga Mario. “Kamfretz!” rutuknya, hampir saja tangannya spontan menarik tuas gas motornya. Dengan kegeraman yang semakin menumpuk ia langsung menoleh kebelakang.
“Hoi, ngapain lo bengong di situ! Lo ngalangin jalan! Minggir cepat!” seorang anak muda berkaca mata hitam dan berseragam SMU berteriak ketus dari mobil sedan sport hitamnya.
“Monyet lepas itu rupanya! si Robin, Rik,” geram Mario, masih tetap menatap tajam ke belakang. “Sombong banget tuh anak. Pengen gue gibas tuh dia punya congor!”
“Udahlah, fren. Nggak usah diurusin. Jalan aja cepat. Kita hampir telat nih,” kata Orik, enggan memperpanjang masalah. “Ayo cepat!”
Dan Mario pun menumpahkan kegeramannya dengan menggerung-gerungkan gas motor bermesin dua taknya itu, menyemburkan asap yang menggumpal di sekitar mobil sedan sport hitam itu, dan membuat pengemudinya menyumpah-nyumpah hebat sebelum Mario menarik gas motornya dan melaju kencang meninggalkan tempat itu.
“Isep tuh asap, biar perut lo kembung sekalian!” rutuk Mario puas dan terus melajukan motornya.
Orik diam saja, walaupun sebenarnya ia juga kesal sama Robin yang mengageti plus mengumpatinya dan Mario barusan, tapi ia bersikeras menahan gejolak kekesalan itu, enggan membuat emosi amarah Mario semakin membara, yang bisa berakibat fatal, sebab anak-anak muda seperti mereka gampang sekali memulai perkelahian hanya karena hal-hal yang sepele sekalipun. Makanya Orik memilih diam.
Sesampai di parkiran SMU Pulau Permai, Mario memarkirkan motornya. Tapi begitu turun dari motor dan meletakkan helmnya, tanpa bicara ia langsung meninggalkan Orik yang sedang membuka helm, lalu dengan setengah berlari ia bergegas menuju gerbang, keluar, menyeberangi jalan dan terus menghampiri sebuah sedan sport hitam yang baru saja berhenti di depan warnet yang berada sekitar lima puluh meter dari sekolahnya.
Wah, kacau! Alamat berantem, nih. pikir Orik, dan langsung berlari menyusul Mario.
Mario berdiri dengan sangar di depan pintu mobil itu. “He, Robin, keluar lo! Gue pengen sparring sama lo!” tantangnya tanpa basa-basi sambil menunjuk muka orang di dalam mobil.
Kontan memancing emosi orang yang ditantang. Ia langsung keluar dari mobilnya dengan menghempas pintu mobil.
“Sial, pagi-pagi gini ngajak berantem! Gue sih ok-ok aja, tapi kenapa?! Lo ada masalah apa sama gue!” cecar Robin tak kalah geram.
Mario menyeringai. “Eh, lo jangan belagak bego, ya?! Tadi lo ngata-ngatain gue di depan pasar Dupa! Sombong lo!”
“Oh, jadi yang naik motor butut mogok tadi, Elo!” Robin diam sejenak. “Wah, sorry gue nggak tau, sungguh gue nggak tau,” lanjutnya dengan nada agak lunak, tapi kemudian ia menyeringai. “Kalo gue tau itu lo, gue tabrak aja langsung!!!”
“Kamfretz!!!” Mario langsung melontarkan pukulannya.
Tapi Robin berhasil menghindar, dan segera pasang kuda-kuda, siap menyerang balik.
Mario semakin panas, memperlihatkan rahangnya yang mengeras. Tapi begitu ia siap memukul lagi, Orik sudah berdiri di depannya menghalangi. “Yo, udah! Jangan cari masalah!”
“Dengerin tuh temen lo! Kalo nggak, gue beri nih muka lo, biar penyok sekalian!” ejek Robin.
Orik yang semula berniat menengahi perkelahian itu jadi ikut panas mendengar kata-kata penuh provokasi Robin. Tiba-tiba tangannya gatal pengen nonjok mulut anak itu. Tapi ia masih menahan diri sekuat mungkin.
“Rob, lo jangan memperburuk suasana. Gue udah usahain nenangin Mario, Elo malah mancing-mancing emosi!” kata Orik kesal.
“Jadi lo ikut emosi juga! Ok, gue layanin lo berdua!” tantang Robin dengan ekspresi arogannya yang belum luntur.
Emang buruk mental nih anak, gaya eksekutif tapi mental preman kampung! geram batin Orik. Ia masih berjuang meredam emosinya.
Tapi tidak dengan Mario, dengan kemarahan yang sudah mutlak menguasainya, ia segera menghambur menyerang. Robin menyambut, dan keduanya pun saling piting dengan serunya. Orik ikut menghambur, tapi bukan untuk membantu Mario melumpuhkan Robin. Ia berusaha menarik tangan Mario yang lagi mendekap leher Robin, sehingga kepala dan hidung anak itu menempel pasrah di bawah ketek Mario. Tapi dekapan dekapan Mario cukup erat, tak bisa dilepaskan Orik.
“Yo, udah! Lepasin, bahaya, ntar ketahuan Satpam sekolah!” akhirnya hanya itu yang bisa dilakukan Orik di sela-sela usahanya melepaskan aksi smackdown amatiran itu.
Mario dan Robin terus berpitingan. Orik setengah putus asa. Sampai akhirnya sebuah motor matic berhenti di arena pertarungan itu.
Farah, Nindy? Orik melongo. Ia jadi malu melihat kedua gadis yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
“Bang Mario, udah!!!” teriak Nindy begitu turun dari motornya.
Refleks Mario melirik ke suara yang sangat dikenalnya itu, dan langsung membuatnya tersadar. Sial, kok Nindy dan Farah ada di sini, sih. Kontan saja rasa malu perlahan merayapinya. Dekapan tangannya di leher Robin mengendur, dan Robin langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan kepalanya dari dekapan ketek Mario.
Robin terduduk sejenak dengan nafas memburu, berusaha menghirup udara segar sebanyak mungkin, sebab selama hidungnya menempel di ketek Mario, ia hampir tidak berani menarik nafas.
“Bang Mario? kok berantem sih,” kata Farah lembut.
Mario diam saja, malu! Wajahnya tampak kusut penuh keringat dengan pakaian awut-awutan.
“Udahan, bang. Kita balik aja ke sekolah, ntar jadi tontonan lagi,” sahut Nindy sambil melihat ke sekitar tempat itu. Gadis itu menghela nafas lega. Untung saja warnet dan ruko-ruko di situ belum pada buka, masih sepi.
“Ayo, Yo. Lo sih, pakai nurutin emosi segala,” timpal Orik sambil menarik tangan Mario.
Mario menurut saja. Tapi baru saja ia melangkah terdengar teriakan Robin.
“Enak aja lo mau kabur! Urusan kita belum selesai!”
Nindy dan Farah yang baru saja menaiki motor langsung menoleh.
“Udah, bang, jangan dilayanin,” kata Nindy.
“Ayo, Bang Orik, cepat ajak Bang Mario ke sekolah!” timpal Farah.
Sebenarnya Mario masih panas, ia merasa belum puas melampiaskan kemarahan pada Robin. Tapi kehadiran Nindy dan Farah menghalangi hasratnya untuk melayani tantangan Robin. Ia membiarkan Orik menariknya meninggalkan tempat itu.
Robin menatap tajam. Ia bertambah kesal bercampur cemburu melihat Nindy yang disukainya ternyata berada di pihak Mario. Kepalang tanggung. Gue harus nunjukin sama cewek itu kalo gue ini cowok sejati. geramnya dalam hati.
“Hoi pengecut! Jangan pergi lo, kita berantem lagi. Tadi kan lo yang ngajak gue sparring duluan. Atau lo emang udah rela gue bilang pengecut. Dan gue akan bilang sama semua anak sesekolahan kalo lo itu emang pengecut, nggak punya nyali!”
Sungguh, Mario sudah berjuang hebat menahan gelembung amarahnya yang semakin membesar. Tapi ucapan Robin barusan otomatis membuat pecah gelembung itu. Sekarang amarahnya sudah menyebar rata dari dada sampai ke ubun-ubun kepalanya. Mulut tuh anak harus gue gibas! Ia tak peduli lagi dengan Nindy dan Farah, juga Orik yang menatap cemas kepadanya, berharap agar ia tidak mengindahkan tantangan Robin.
“Monyet lepas! Lo jual gue beli, kontan!” geram Mario sambil mengepalkan tinjunya ke arah Robin.
“Ok, Marimar letoy! Tangan gue juga udah gatal mau bonyokin muka lo!” sambut Robin tak kalah gertak.
Lalu kedua anak muda berseragam sekolah itu pun sudah saling berhadap-hadapan dengan ekpresi wajah ingin menghabisi lawan. Mario bergerak-gerak ringan sambil memainkan kaki dan kepalan tangannya, berlagak seperti petarung Muaythai. Robin tak mau kalah, pasang kuda-kuda layaknya seorang Taekwondoin. Dan keduanya pun segera saling serang. Mario memburu dengan kombinasi pukulan dan sapuan kaki, di sambut dengan tendangan berputar oleh Robin. Tapi serangan kedua petarung amatiran itu sama-sama luput. Sesaat mereka saling menggeram, dan bersiap menyerang lagi.
“Mario, cukup! Bego lo! Lo itu anak sekolahan bukannya preman pasar!” seru Orik seketika.
Walaupun sering nyolot-nyolotan dan saling ejek sama Orik, Mario tidak pernah merasa tersinggung, tapi kali ini situasinya beda. Raut wajahnya memanas, dan langsung melirik tajam ke Orik, nggak rela dikatain bego!
Melihat gelagat ketersinggungan yang ditunjukkan Mario, Nindy langsung bertindak menyelamatkan situasi. “Bang Mario, nggak zamannya lagi pamer kekuatan otot. Sekarang zamannya keunggulan otak yang lebih ditonjolin!” sahutan tegas Gadis itu membuat Mario kaget berat. “Kita ini pelajar bukan jagoan jalanan! Lagian, hari gini berantem? Malu sama dunia!”
Wajah Mario memerah, malu!
Robin cuma menyeringai tak senang.
Farah tersenyum teduh. “Bang Mario, Bang Robin, buat apa sih berantem. Nggak ada untungnya. Yang dapat cuma luka-luka, benjol, bonyok. Apalagi lagi kalo ketahuan pihak sekolah, abang berdua bisa diskor atau bahkan di keluarkan dari sekolah!”
Robin tersentak. Mario masih terdiam. Emosi keduanya mulai mereda, berganti dengan rasa malu yang perlahan memasuki mereka. Gila, cing! Siapa sih yang nggak malu di ceramahin dua orang cewek pagi-pagi begini, mana dua-duanya adik kelas lagi!
Orik menghampiri kedua petarung yang sedang berdiri keki itu. “Udahlah Yo, Rob. Ngapain sih berantem. Kita kan satu sekolahan, satu nusa satu bangsa. Harusnya kita itu bersatu, bukannya gontok-gontokan. Ayo, masuk! Bel lima menit lagi, nih.”
“Maaf-maafan, dong,” celetuk Nindy sambil tersenyum pada Mario, mencoba mencairkan suasana.
Mario sudah setengah mengulurkan tangannya namun ditariknya lagi ketika Robin mendengus dan melangkah cuek meninggalkan tempat itu, membawa setumpuk ketidakrelaan melihat Nindy menghadiahi Mario dengan senyuman manis.
Nindy mengangkat bahunya sambil mengernyit lalu menaiki motor maticnya. Farah tersenyum saja, ikut naik. “Ayo, bang, balik lagi ke sekolah,” ajaknya.
Sejenak Mario tenggelam dalam pandangan kosongnya. Ia masih tak habis pikir mengapa ia begitu sulit mengendalikan nafsu amarahnya, lalu pakai berantem lagi, di depan gebetan lagi, trus diceramahi gebetan lagi. Gue malu!!! Lalu tanpa perlu di tarik-tarik lagi ia mengekori Orik yang bergegas meninggalkan tempat itu menuju ke sekolah mereka.
Di koridor sekolah, melewati kelas III IPS 1, Bernard menghampiri mereka berdua. “Orik, Yo! Ada turnamen futsal Piala Walikota, di GOR Futsal For Fun. Terbuka untuk umum. Kita ikut, ya?” ajaknya penuh semangat.
“Yang bener, Ber! Wah kita harus ikut tuh,” sambut Mario antusias, seakan lupa akan peristiwa memalukan barusan. “Rik?” ia menjawil lengan Orik yang malah diam saja tanpa reaksi apa-apa.
“Males!” jawab Orik pendek. “Yok, masuk!”
“Eit, tunggu dulu!” Bernard menahan Orik yang hendak melangkah menuju kelasnya. “Lo kenapa sih, Rik! Kok nggak semangat gitu.”
“Nggak apa-apa. Gue cuma males ikut aja. Lo-lo aja yang pada ikut. Tanpa gue, lo semua kan masih bisa main,” ujar Orik beralasan.
“Rik, lo masih trauma, ya? Sama kekalahan kita di final waktu itu,” kata Mario. “Rik, ini kesempatan kita untuk membuktikan kalo kita bisa juara kali ini. Lo ikut, ya? Lo kan striker terbaik tim kita,” bujuknya.
Orik menghela nafasnya. “Yo, di level liga futsal SMU aja kita gagal, apalagi di level turnamen umum, lawannya pasti lebih berat!”
“Soal lawan nggak usah dipikirin. Yang penting kita ngedaftar dulu dan ntar, kita mainnya lose control aja. Moga-moga aja dengan tampil tanpa beban penampilan kita lebih baik di turnamen kali ini. Lagian, walaupun itu turnamen umum tapi usia peserta dibatasi, di bawah dua puluh tiga tahun,” timpal Bernard.
Mario menepuk bahu Orik. “Iya, Rik. Kita daftar aja dulu. Terserah, ntar lo mau main apa nggak. Pokoknya dengan ada nama lo aja di tim kita, udah cukup ngangkat semangat kami.”
Bernard mendelik. Jelas saja ia keberatan. Mana mungkin tim mereka bisa bermain baik dan berprestasi kalo Orik yang notabene penyerang andalan tim itu hanya sekedar nampang nama aja di turnamen yang bakal mereka ikuti. Tapi kemudian ia memahami kode yang di tunjukkan Mario.
“Gue yang tekel, fren!” Kata Mario penuh percaya diri sambil mengetukkan ujung telunjuknya di pelipis kanannya, melintaskan sebuah ide jitu di benaknya. Gue yakin, dengan memakai cara ini Orik nggak bakalan nolak ikut turnamen itu. Hihihi…gelaknya dalam hati. Lalu ia mendorong pelan punggung Orik menuju kelas mereka.
Bernard mengangguk lega dan masuk ke kelasnya. Ia tahu Mario pasti bisa membujuk Orik agar mau bermain untuk tim futsal mereka.
Bersambung Ke Bagian 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar