Gue keluar dari toilet dengan perasaan lega, berjalan santai sambil menampakkan raut wajah riang persis seperti penembak angka yang menang lotere. Gue terus berjalan di koridor kampus sambil memperdengarkan siulan burung Murai keselek jangkrik, melewati puluhan fans setia gue (sebagian besar cewek) yang duduk di bangku-bangku panjang sambil melempar senyum manis ke gue bahkan ada beberapa yang terkikik halus dengan wajah merona merah sambil nunjuk-nunjuk gue. Hmm, emang udah nasib gue jadi idola kayak gini. Senyum gue ikut mengembang.
“Hai Cescu, riang amat ni hari…” sapa Dea, gadis manis berbibir tipis setipis silet. Ramah banget. Senyumnya itu…kagak nahan, bro!
“Iya nih, Cescu, pasti uang jajannya dinaikin ya ma nyokap,” timpal Fany gak mau kalah mengumbar senyum (ssst, cewek ini incaran gue walaupun kayaknya dia gak berminat jadi incaran gue.)
Jajan? Kamfretz, gue disamain sama anak SD. Tapi biar aja deh, yang penting senyumnya itu. Oh, gue semakin melayang.
Gue terus berjalan bak model amatiran lagi beraksi di atas catwalk, mendekati geng gue yang juga tak kalah heboh menyambut kedatangan gue dari toilet.
Begitu menghampiri mereka berlima, segera gue disambut delikan jijaynya Maloy. “Ihh, Cescu porno deh. Masa pintu surga dibuka lebar kayak gitu.”
Gue melongo, memikirkan sesuatu…
Dan, seakan gak memedulikan perasaan gue. Raka, Daren, Koko dan Awan langsung ngakak heboh-hebohan jungkir balik di atas bangku panjang sambil nunjuk-nunjuk gue. Sedangkan Maloy sang provokator menambahkan kejijayaiannya dengan mengedip-ngedipkan matanya seraya melambai-lambaikan tangannya yang segera mengundang rasa jijik gue.
Heran gue, gila kok bisa barengan gitu, ya? Tapi, Pintu surga??? Glek! Gue menelan ludah, pahit. Perasaan gue langsung gak enak, dan kepala gue yang mendadak pusing langsung mengingatkan gue akan suatu hal. Sejenak gue jadi teringat sama suatu peristiwa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu, saat gue masih SD. Kebetulan (ralat: bukan kebetulan sih, tapi kebiasaan), pagi itu gue telat bangun. Habis cuci muka dan berpakaian secepat kilat, gue buru-buru mengayuh pedal sepeda BMX kebanggaan gue seperti pembalap yang nafsuan mau finis duluan. Hebat!!! Cuma butuh waktu kurang dari semenit gue sudah standby di depan gerbang sekolah (sebenarnya…sekolah gue persis berada di seberang jalan depan rumah gue!), memasang wajah memelas berharap belas kasihan dari ‘Pak Lele’ (nama aslinya Anjas tapi berhubung kumisnya jarang tipis kayak kumis ikan lele, jadi deh dia punya nama samaran “Pak Lele”.)
Di depan posnya, Pak Anjas, eh Lele, melirik gue sesaat (pasti di pikirannya ada tulisan, ‘ini dia nih, anak paling lelet sesekolahan. Satu-satunya anak yang tiap hari ngangguin kesenangan gue baca koran gosip karena harus bukain pintu gerbang yang sudah dikunci). Sambil menghela nafas berat, ia meletakkan korannya, bangkit dari duduknya dan berjalan malas ke pintu gerbang, menghampiri gue yang setiap pagi gak pernah bosan memasang wajah si fakir yang belum makan berhari-hari demi mengharapkan belas kasihan si sekuriti.
Pak Lele mengeluarkan puluhan kunci dari saku celananya, menarik satu anak kunci dan membuka gembok gerbang. “Masuk!” katanya tegas, kejam dan pastinya tanpa raut muka yang bersahabat.
Dan gue dengan lega menuntun sepeda memasuki halaman sekolah. Tapi kelegaan gue gak bertahan lama karena tiba-tiba diganggu oleh suara yang lebih bengis bahkan paling ditakuti seantero sekolah.
“Cescu!!! Empat tahun kamu sekolah di sini selalu saja kamu terlambat masuk, padahal sekolah ini berada di depan hidung rumah kamu!” hardik Pak Jaya seraya berkacak pinggang, sang penguasa nomor satu di tempat itu alias kepala sekolah.
Penasaran, gue spontan melihat ke belakang, ke arah rumah gue. Ngngng, kayaknya…gak ada deh, pikir gue risau. Mata Pak Jaya Katarak kali. Hihihi… risau gue berubah menjadi geli.
“Kenapa kamu noleh ke belakang?! Mau pulang?! Tidak niat sekolah!!!” rentetan bentakan itu kembali menghantam gendang telinga gue.
Sumpah, gue gemetaran. Tapi gue mencoba mengumpulkan keberanian karena untuk satu hal ini gue yakin bahwa gue benar. “Maaf Pak, perasaan rumah saya tidak punya hidung, deh,” sahut gue takut-takut.
“Cescuuu!!!” Geram Pak Jaya. Segera tangan kanannya meliuk memeragakan jurus ular mabuk mematuk bangkai kodok, dan mengincar kuping gue yang agak lebar.
Gue pantang bersikap pasrah! Eit, gue berkelit indah bak seorang balerina bersendal jepit. Pak Jaya tambah meradang. Serangannya tambah ganas, dan gaya berkelit gue semakin liar. Sehingga akhirnya Pak Jaya memasang jurus pamungkasnya, ‘sepasang capit kepiting rebus basi’ dan incarannya tetap sama, kuping gue (kelihatannya Pak Jaya gemes deh sama kuping gajah gue).
Demi melihat aksi pertarungan sengit namun tidak seimbang itu, Pak Lele yang berdiri kaku tampak berjuang menahan tawa, terlihat jelas dari pipinya yang agak menggelembung sambil menggigit bibir.
Pak Jaya pantang menyerah untuk menaklukkan kuping gue. Ah sial, kali ini jurus Pak Jaya bener-bener ampuh. Gerakannya cepat dan mematikan. Walaupun beberapakali gue sempat meliuk dan menundukkan kepala, tapi sepasang capit kasar itu akhirnya berhasil juga menjepit erat kedua kuping gue, nyeri!. Tamatlah riwayat kuping gue, keluh gue.
Tapi keadilan itu datang juga, dimana gue, seorang anak kelas empat SD yang polos dan baik hati walaupun mempunyai rekor tak tertandingi dalam hal jumlah keterlambatan datang ke sekolah, harus di zalimi dengan serangan jurus maut oleh pendekar jadi-jadian yang beraninya cuma melawan bawahannya dan anak yang lemah lembut dan penyayang seperti gue… Tak sengaja saat menunduk, sepasang mata elang gue menangkap pemandangan yang tak biasa tapi luar biasa dalam menyelamatkan nasib kuping gue dari amukan jurus ‘kepiting rebus basi Pak Jaya’.
“Paaak…pintu surga bapak kebuka!” seru saya agak tertahan karena menahan takut dan nyeri di telinga.
Tapi…wow, keren! Ampuh, bro! jepitan jari tangan Pak Jaya langsung mengendur.
Spontan Pak Jaya melirik ke arah bawah. Ajaib, mimik wajahnya seketika memerah dengan mulut yang menganga lebar, dan segera melepaskan jepitannya dari kuping gue. Kemudian dengan cepat kedua tangannya berjuang untuk menutup ‘pintu surga’ yang barusan gue bilang terbuka itu. Keringatnya dengan cepat bercucuran dan perjuangannya sia-sia karena pintu yang coba ditutupnya gak kunjung tertutup, macet!!!
Bahkan Pak Lele yang semula menampakkan kegelian yang luar biasa melihat ‘pintu surga’ atasannya terbuka lebar, sekarang menampilkan rasa kasihan mendalam melihat perjuangan dan penderitaan bosnya itu. Spontan, tangannya bergerak, hendak membantu.
“Eee…mau apa kamu, jangan pegang-pegang!” elak Pak Jaya sambil berjinjit ke samping, menjauhkan pintunya yang gak kunjung tertutup itu.
Pak Lele langsung mengunci langkah dan berdiri kagok seperti arca setengah jadi. Ihhh, emangnya gue cowok apa ‘an. Mungkin kalimat itu yang tertera di otaknya.
Gue juga pasang wajah prihatin. Tapi nun jauh di sana, di lubuk hati gue yang paling dalam, gue malah bersorak kegirangan. Makanya jangan suka menghakimi anak baik-baik kayak gue. Hihihi…
Kegirangan gue gak berlangsung lama. Dengan cepat wajah Pak Jaya berubah cerah, rupanya perjuangan itu hampir dimenangkannya. Terlihat jelas dari kedua tangannya yang semula tegang karena menarik resettling celananya yang rada macet, sekarang sudah santai, dan dengan senyum kemenangan ia menarik resettling itu menutup ke atas, perlahan namun pasti. Tapi…baru setengah jalan, resettling sialan itu macet lagi. Pasti membuat Pak Jaya geram sekali. Itu terlihat dari kemarahan yang ia tumpahkan dengan cara menarik resettling itu sekuat tenaga, dan…terjadilah kejadian tragis yang gak pernah gue harapkan sebelumnya.
“Aaaargh…” teriakan itu terdengar begitu menyayat hati. “Pit, pit, pipit kejepit eh, pit…pit…abis deh pipit…” racau Pak Jaya sambil berjinjit nyeri.
Kali ini tanpa membuang waktu lagi, tumben, Pak Lele langsung mengeluarkan ide cemerlang untuk membopong Pak Jaya yang terus meringis menahan sakit ke ruang UKS, meninggalkan gue yang berdiri bengong sambil mengurut dada yang perih karena dihimpit berton-ton perasaan bersalah, karena turut andil membuat sang penguasa nomor satu di SD itu masuk ruang UKS dan mungkin saja akan segera di rujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik untuk menyelamatkan...gak tega gue ngelanjutinnya.
Itulah sekelumit kisahnya. Dan sekarang, suara kemayu dan cempreng si Maloy mengarah jelas ke gue… “Ihh, Cescu porno deh. Masa pintu surganya dibuka lebar kayak gitu”.
Tidaaaaaaak….jerit gue dalam hati seraya menoleh ke bagian bawah depan gue. Dan terlihatlah dengan jelas di sana pemandangan yang tak biasa sekaligus juga luar biasa seperti yang pernah gue liat sepuluh tahun lalu, yang bisa merusak reputasi gue yang emang udah hancur-hancuran di kampus ini. Oh, my god, pintu surga gue kebuka lebar! Kok gue jadi pikun gini seh, sampai lupa menutup resettling celana gue waktu abis buang air di toilet tadi. Pantas aja cewek-cewek genit itu pada tersenyum aneh ke gue, kirain, luv u, luv u…eh, gak taunya…Kamfreeetz!!!
Tanpa menanggapi tingkah geng gue yang gila mendadak itu, yang masih betah cekakak-cekikik seperti digelitikin setan bencong, segera gue membalikkan badan dan menghambur ke dalam ruang kelas yang sepertinya sedang kosong karena suasananya yang hening. Begitu berada di dalam, tanpa liat kiri-kanan, depan-belakang, gue segera beraksi untuk menutup pintu surga gue yang gak punya perasaan itu. Hmm, ternyata nasib gue emang lebih baik ketimbang yang dialami Pak Jaya sepuluh tahun lalu, karena dengan enteng resettling itu bisa gue tarik keatas, sehingga…aman, pintu surga gue tertutup sudah. Fiuuuh, lega gue, dan dengan senyum kemenangan yang mengembang gue segera menegakkan pandangan. Tapi…tidaaaaak!!! Mampus gue! Kalo saja saat ini gue bisa menghilang dari kelas sialan ini…sebab, mata-mata itu! Oh my god, puluhan pasang mata serentak menatap gue dengan pandangan tajam yang langsung menikam jantung gue. Ternyata kelas itu tidak kosong, tapi dihuni oleh mahasiswa-mahasiswi yang sedang mid semesteran (pantas aja suasananya sepi banget seperti pekuburan) dan diawasi oleh Bu Shinta, dosen berparas simpatik (dosen idola gue, bo!), pengajar mata kuliah Bisnis Manajemen. Dan…mereka semua telah melihat siaran langsung nan eksklusif ‘aksi bodoh’ gue waktu menutup resettling tadi, benar-benar memalukan!!! Makin hancur berkeping-keping reputasi gue!
Kali ini gue pasrah. Ejek dan hinalah kebodohan gue sepuas hati kalian. Hikz, hikz, hikz. Gue membalikkan badan dan berjalan gontai keluar kelas dengan diiringi koor tawa penghuni kelas itu…habis, habis deh gue!
Mungkin saja kejadian memalukan ini sebagai hukuman untuk gue karena sepuluh tahun lalu gue juga menyebabkan seseorang yang paling dihormati di SD gue mengalami peristiwa memalukan, karena harus dua kali ganti rumah sakit untuk menyelamatkan…oh, nasib...semua ini gara-gara pintu surga. Huhuhu…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar