Senin, 10 Januari 2011

True Friend (Obama feat SBY), Bagian 5 : Tragedi Gigi Palsu, oleh Firman Al Karimi


Jam tujuh malam Orik sudah memarkirkan Honda Jazz-nya di depan gerbang rumah Farah. Sambil bersiul-siul riang ia keluar dari mobil, dan… Hah? Ngapain Mario duduk di situ, bukannya sekarang dia seharusnya lagi di rumah Nindy. Kok, malah nongkrong di rumah Farah.
Mario yang lagi duduk di kursi teras depan rumah Farah segera menyambut kedatangannya sohibnya dengan hangat.
“Nah, gitu dunk. Jadi orang harus ingat janji. Janji jam tujuh, datang jam tujuh,” sapa Mario sambil nyengir.
Orik diam saja, terus berjalan mendekati Mario dan duduk di kursi di sebelahnya.
“Gue heran deh, Yo. Elo lagi lupa ingatan, ya? Lo kira ini rumah Nindy apa? Ngapain lo nongkrong di sini, ntar gangguin acara gue sama Farah lagi!” berondong Orik kesal.
Mario diam saja sambil mengulum senyum geli.
“Saya yang nyuruh Bang Mario ke sini, Bang Orik,” tiba-tiba Nindy muncul dari pintu depan diikuti Farah.
“Nindy? Kok ada di sini?” tanya Orik heran.  
“Ayah dan Ibu kebetulan lagi ngikutin acara keluarga di Bangkinang, jadi malam ini Nindy nginap di sini temenin saya,” malah Farah yang menjawab. “Mengenai tugas bikin blog itu, dikerjakan bareng di sini aja. Untung tadi Nindy sempat ngelihat Bang Mario lagi siap-siap mau keluar dari rumah sebelah, jadi langsung aja dia manggil Bang Mario ke sini,” lanjutnya menerangkan.
“Ngerti kan lo sekarang,” kata Mario sambil tersenyum puas.
Orik hanya menghela nafas dan mengangkat bahunya. “Yah, kalo gitu apa boleh buat. Kita mulai sekarang?”
“Nggak, besok!” ledek Mario.
“Iya bener, lo aja yang ngerjainnya besok, sendiri! Sekarang lo langsung lompat pagar aja ke rumah lo. Biar gue aja yang bikinin blog buat Farah dan Nindy sekaligus,” balas Orik.
“Huh, maunya. Enak di Elo, nggak enak di gue, dunk!” gerutu Mario sambil memonyong-monyongkan mulutnya, kesal ledekannya di perlurus Orik.
Farah dan Nindy hanya tersenyum geli melihat polah tingkah kedua kakak kelasnya itu.
“Masuk yuk,” ajak Farah.                                                                                   
“Ayo Bang Mario, Bang Orik. Mau tetep di sini, ntar dikerubutin nyamuk, lagi,” sambung Nindy.
Tanpa perlu berdebat lagi Orik dan Mario segera masuk ke rumah menyusul Farah dan Nindy. Mereka langsung ke ruang tengah yang cukup lapang dan tertata rapi. Mereka duduk di karpet lembut sambil menghadapi dua buah laptop.
“Bisa double connect, ya, Fa,” kata Orik sambil mengklik icon Mozilla firefox.
“Bisa, bang, udah di paralelkan sama ayah,” Jelas Farah.
“Asyik, ya, punya personal internet connection kayak gini. Nggak usah repot-repot nongkrong di warnet lagi,” celetuk Mario, juga lagi asyik menekuni laptopnya, di sebelahnya Nindy ikutan konsen memperhatikan.
Tiba-tiba muncul Bu Ema, pembantunya keluarga Farah. Wanita sekitar empat puluh tahun itu membawa nampan berisi minuman, membuat mata Orik dan Mario menyala-nyala melihat empat buah gelas berisi es sirup berwarna merah segar itu.
“Gue kok mendadak haus, ya,” celetuk Orik sambil mengelus tenggorokannya.
“Sama, gue juga. Nggak tau kenapa, tiba-tiba tenggorokan gue kering, nih,” timpal Mario sambil sesekali melirik ke arah nampan yang dibawa Bu Ema.
Bu Ema tersenyum sambil meletakkan minuman yang dibawanya di dekat keempat anak itu. “Silahkan diminum, nak. Kalau kurang nanti ibu tambah lagi,” ujarnya lembut.
Kontan Orik dan Mario beringsut mendekati minuman itu dan mengambil jatahnya. Sesaat kemudian keduanya sudah menikmati minuman sambil mendecap-decap enak.
“Makasih, bu, minumannya,” ucap Orik.
“Iya, bu, sirupnya seger banget,” tambah Mario.
Lagi-lagi Bu Ema tersenyum, puas. “Oh, ya, Fa. Makan malam juga sudah ibu siapin. Jangan terlalu lama, ya? Nanti makanannya dingin, kurang enak,” katanya mengingatkan sebelum berlalu.
Makan malam? Konsentrasi Orik dan Mario sedikit buyar. Santai bro, jaim dikit napa. Malu tuh sama gebetan. Rakus amat!
“Iya, bu, bentar lagi. Makasih,” ujar Farah.
Farah memang terbiasa memanggil ibu pada Bu Ema, bukan bibi sebagaimana sebutan pembantu pada umumnya. Bu Ema dan suaminya, Pak Agus yang juga supir pribadi ayahnya sudah ikut keluarganya sejak ia masih berusia dua tahun, jadi Farah sudah menganggap Bu Ema sebagai bagian dari keluarganya, bahkan nyaris tidak pernah terlintas di benaknya bahwa wanita  yang sebaya dengan ibunya itu adalah pembantunya.
 Jam sembilan malam, tugas bikin blog plus acara double ngapel berakhir. Orik dan Mario segera minta pamit pada Farah dan Nindy. Sebelumnya, sempat sih keduanya menawarkan jasa jaga malam gratis, tapi ditolak dengan halus oleh Farah. “Makasih, bang, nggak usah. Kan ada Bu Ema dan Pak Agus. Insya Allah aman kok.”
Orik tidak langsung pulang ke rumahnya, ia menaruh mobilnya di depan rumah Mario yang bersebelahan dengan rumah Farah. Niatnya sih ngobrol-ngobrol dulu sama Mario sebentar. Tapi ketika ia baru saja turun dari mobil, mendadak dilihatnya sorot mata Mario berubah garang. Iih, syerem. Kenapa Mario tiba-tiba melototin gue kayak gitu. Gawat, kemasukan jin kali nih anak. “Heh, Yo. Elo kenapa natap gue sangar kayak gitu. Nyadar dunk, gue jadi takut nih,” katanya sambil mengoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Mario.
“Jangan kegeeran lo. Siapa juga yang natap lo. Tuh liat!” tunjuk Mario.
Orik menoleh ke belakang, di lihatnya seekor anjing jenis Boxer lagi ngendus-ngendus rumput di depan gerbang pagar halaman rumah Mario. “Kenapa? Lo naksir sama tuh doggie,” katanya kalem.
Mario tak menjawab, hanya terus menggeram dalam hati. Awas lo, Robo. Bau limbah beracun lo masih terngiang-ngiang di hidung gue. Terngiang-ngiang di hidung?  Nggak salah tuh. Bodo! Gue harus tuntasin dendam gue sekarang juga. Mumpung si Robo lagi jauh dari rumah tuannya.
“Hoi, kok malah diam! Pliz, Yo, lo jangan pasang tampang syerem kayak gitu, dunk. Sumpret, gue jadi ngeper beneran, nih,” ujar Orik. Ia masih agak takut dan heran melihat ekspresi aneh wajah temannya itu.
“Rik, lo sobat sejati gue, kan?” kata Mario tiba-tiba.
“Ya, iya lah. Elo masih belum yakin. Kita kan udah lebih lima tahun berteman. Tapi ngapain lo nanya kayak gitu. Lo mau ngutang sama gue?” kata Orik sambil pasang wajah konyol, dan berharap sikap aneh sobatnya bakal luntur akibat candaannya.
Tapi malah harapan Orik yang meluntur.
 “Nggak, gue nggak lagi butuh duit! Rik, kalo lo emang sobat sejati gue, lo pasti mau bantu gue kan nuntasin dendam kesumat gue!” kata Mario masih dengan raut wajah yang menegang.
Dendam kesumat? Jangan-jangan… Orik semakin heran. Sesaat ia menyapukan pandangannya ke langit gelap. Hiii, ia bergidik sesaat ketika menatap bulan sabit yang bersinar irit di atas sana, takut kalau tiba-tiba Mario berubah menjadi serigala. Eh, bukannya serigala jadian-jadian itu muncul kalau bulan lagi bersinar penuh alias bulan purnama, bukannya saat bulan sabit.
“Yo, lo ngomong apaan sih, pakai nyebut-nyebut dendam kesumat segala. Pliz, nyadar dong,” ucap Orik cepat.
“Kamfretz, lo kira gue kesurupan apa! Gue pengen balas dendam sama tuh doggie!” jari telunjuk Mario menunjuk lurus tegang ke arah Robo yang masih asyik mengendus-ngendus rerumputan, tak menyadari bahaya yang sedang mengintainya.
Ups, Orik seakan tersadar. Sial, gue kira… “Lo diapain sama tuh doggie sampai lo dendam banget sama dia.”
Mario menggeram lagi. “Nih, tangan kanan gue pernah nyolek limbah tuh doggie. Dasar doggie nggak tau aturan, seenaknya aja markirin e’eknya!” katanya sambil mengacungkan tangan kanannya yang terkepal erat. Besar harapannya agar Emosi Orik ikut terpancing mendengar perkataannya.
Emang sih, emosi Orik terpancing, tapi sayangnya bukan emosi kemarahan seperti yang diidam-idamkan Mario, tapi malah emosi geli yang segera diekspresikan Orik dengan cekikikan.
“Hihihi…, pantes aja lo dendam banget sama tuh doggie,” ledek Orik. “Lagian, ngapain lo nyolek-nyolek e’eknya, kayak nggak ada kerjaan aja. Eh, bentar, jangan-jangan tuh doggie ke sini emang lagi nyariin lo. Mungkin lo lupa minta izin sama dia waktu lo iseng nyolek e’eknya. Hihihi…”
Wuaaa… wajah Mario memerah menyusul kegeramannya yang semakin memuncak. “Orrikz, plizzz! Gue nggak lagi niatan becanda! Kalo lo emang sobat sejati gue, ayo kita kasih pelajaran tuh doggie. Cepat, Hadang dia! Jangan sampai dia balik lagi ke rumah Pak Roy,” geramnya dengan nafas tersengal-sengal.
Orik yang kebingungan melihat kelakuan aneh temannya, tanpa sadar menganggukkan kepalanya.
“Ok, sekarang lo tunggu sini. Baik-baikin tuh doggie biar nggak keburu kabur. Gue ngambil senjata dulu,” kata Mario, lalu berlari menuju garasi.
Baik-baikin? Emangnya gue perawat anjing apa. gerutu Orik dalam hati. Tapi sumpret, ia tambah heran melihat kelakuan Mario. Ia seakan mulai meragukan kesehatan mental sohibnya itu.
Mario muncul dari garasi dengan wajah penuh semangat seraya mengacungkan sebuah ketapel. “Tarraaa… ini dia senjatanya, Rik! Gagang ketapel ini gue pesan khusus sama tukang kayu di luar kompleks sejak pertama kali dendam kesumat gue itu muncul.”
“Hebat lo, Yo! Gue salut sama lo. Elo pantes mendapat penghargaan karena kegigihan lo melestarikan kelangsungan senjata tradisional,” sambut Orik. “Tapi kok ketapelnya cuma satu. Buat gue mana? Tanpa senjata gimana bisa gue bantuin lo ngelawan tuh doggie,” lanjutnya bingung.
“Kalem, Rik. Lo nggak perlu ketapel. Tugas lo menghadang si Robo kalo dia hendak berbalik lari ke rumah Pak Roy,” jelas Mario.
“Gila lo! Menghadang lo bilang? En tanpa senjata! Lo mau jadiin gue bulan-bulanan dia. Tega banget lo!” protes Orik geram.
“Ssst, ribut amat. Tuh, lo ambil sapu lidi di sebelah lo. Kibas-kibasin kalo si Robo mau berbalik arah,” kata Mario santai sambil meregangkan karet ketapelnya.
“Yo, buka mata lo lebar-lebar. Itu anjing. Sangka lo makhluk itu kucing yang bisa ditakut-takutin pakai sapu lidi. Lo kira gue pawang binatang apa!” sentak Orik kesal.
Si Robo sepertinya mulai menyadari bahwa ada bahaya yang sedang mengintainya. Anjing itu menghentikan aksi mengendusnya. Sejenak ia melongok ke arah Orik dan Mario. Lo berdua lagi ngegosipin gue, ya? Sorry, yeee… Si Robo membalikkan badan dan berjalan pelan menjauhi posisinya.
Mario nggak tinggal diam, nggak rela buruannya lepas. Ia berjalan pelan menelusuri sisi selokan dengan gaya pantomin, pura-pura nggak memperhatikan si anjing Boxer. Yap, ia berhasil mendahului si Robo, lalu menelikung di depannya. Sejenak Mario berjongkok, lalu memakai tipuan usang, pura-pura mengambil batu. Lalu, “Hus, hus, hus!” halaunya seraya mengibaskan tangannya. Usahanya berhasil, si Robo tampak ragu meneruskan langkahnya, malah berbalik arah dan mulai berlari pelan.
“ Rik, bantuan gue. Halau tuh doggie ke lapangan dekat pos ronda!” teriak Mario.
Sial, abis ngapelin gebetan, gue malah di ajak berantem ngelawan anjing. Sambil menggerutu dalam hati Orik mengibaskan-ngibaskan sapu lidi di tangannya. “Hus, hus, hus!”
“Bagus, Rik, lo emang bisa diandalin!” puji Mario riang melihat si Robo terus berlari pelan menuju lapangan dan berhenti di depan pos ronda seraya celingak-celinguk bingung.
“Ssst, berhenti, Rik,” bisik Mario sambil berjongkok seraya mengokang ketapelnya. Mengokang? Gayanya!
“Elo mau membidik apaan,” celetuk Orik yang ikutan berjongkok.
“Tititnya!” jawab Mario pendek.
“Hah? Tegaan banget lo, Yo! Lo bisa membahayakan masa depan tuh doggie!” teriak Orik prihatin.
Mario cuek. Ia tetap berkonsentrasi membidik sasarannya seraya menarik karet yang melekat di kedua tangkai ketapelnya, bersiap menembakkan sebutir batu kecil yang menjadi pelurunya. Lalu, swiiing… Batu kecil yang dilontarkan ketapel melesat cepat mencari sasaran yang diincar Mario. Sayang, Mario rupanya bukan seorang snipper handal, apalagi suasana malam cukup temaram, maksud hatinya hendak menembaki titit si Robo, malah mengenai paha di sebelah selangkangan anjing peking itu. Tapi tetap saja si Robo bereaksi hebat menerima tembakan Mario yang baru saja mematuk pahanya.
“Kaing, kaing, gukz!” si Robo melompat kaget dan menyalak nyaring. Kurang ajar, siapa yang berani membokong gue. Si Robo segera membalikkan badannya dan menemukan si pembokong gelap itu lagi berjingkrak-jingkrak kegirangan.
“Hihihi… rasain lo pembalasan gue! Hihihi… puas gue, puasss! Rik, ketawa dunk, kok diam aja. Ini kan keberhasilan lo juga karena lo udah ngebantu gue nagih utang gue sama si Robo. Hihihi…” Mario masih betah cekikikan sambil menari-nari merayakan keberhasilannya.
“Perasaan gue nggak enak, nih,” gumam Orik begitu melihat si Robo, anjing dengan tinggi sekitar 60 cm itu berdiri garang di atas keempat kakinya yang kekar, menyeringai menampakkan tampang buto cakilnya yang menggeram-geram hebat..
Grrr, pengecut lo! Beraninya cuma main belakang. Untung hanya paha gue yang kena. Gimana kalo titit gue, bisa terputus regenerasi keluarga besar gue! Si Robo menggeram, menatap tajam penuh dendam ke arah Mario. Jenis anjing penjaga dari Jerman ini memang harus diprovokasi dulu baru ia mau menyerang, dan Mario telah berhasil memprovokasinya. Robo terus menggeram, dan amarahnya yang sudah membengkak hebat akhirnya meledak. Dengan gerakan ringan dan cepat, ia melompat dan berlari kencang ke arah Mario dan Orik.
Mulut Mario ternganga melihat reaksi kilat si Robo. Buru-buru ia memungut kerikil di jalanan lalu memasangnya di karet ketapel dan mengokang lagi. Tapi sial, ia panik banget, bukannya menarik karet ketapel ke arah belakang ia malah menarik karet itu ke arah depan, akibatnya kerikil yang terpasang di ketapel malah tertembak mengenai dadanya. Ia menggigit bibirnya, sakit. Sial, gue panik banget!
Melihat itu, Orik tidak tinggal diam. Ia membuang sapu lidi di tangannya.  Gawat! Tuh doggie melakukan counter attack. Mendingan ngacir aja. Ia segera menyambar tangan Mario yang masih meringis menahan nyeri di dadanya. “Kabur!” teriaknya.
Lalu Orik dan Mario pun berlari bak dua orang sprinter berlomba lari, tapi kayaknya lebih tepat kalau dibilang seperti dua orang copet lagi di uber massa. Rasa takut terkena virus rabies membuat tenaga keduanya berlipat ganda. Kedua terus berlari dengan kecepatan di atas rata-rata. Si Robo tak mau kalah, terus memburu, karena tak mau reputasinya sebagai anjing paling jago di kompleks itu (Karena diantara beberapa ekor anjing yang menghuni kompleks itu emang cuma dia seekor makhluk bernama anjing jantan, sisanya betina semua) tercoreng.
Tiba-tiba, gedebukh! Orik kesandung dan jatuh. Mario yang berlari di belakangnya ikut jatuh karena menabrak tubuh Orik yang melintang di jalanan. Akibatnya muka Mario langsung nyungsep ke jalan. Setelah sempat menatap bintang-bintang yang sempat beredar di atas kepalanya, Orik berdiri lagi. Tanpa memedulikan rasa nyeri di lututnya ia meraih dan menarik lagi tangan Mario yang masih kelimpungan sambil memegangi mulutnya yang berdenyut sakit.
Orik dan Mario terus berlari. Sedangkan Robo terus memburu dengan penuh semangat seperti nggak pernah kehabisan nafas bak seekor cheetah yang sedang memburu dua ekor kijang muda di belantara Afrika. Tapi akhirnya kelelahan terlebih dahulu mengalahkan kedua kijang muda itu. Orik dan Mario berhenti sambil berjongkok dengan napas ngos-ngosan.
“Gila tuh anjing! Ngotot banget!” kata Orik sambil berusaha mengirup udara segar sebanyak mungkin. Sebelah matanya melihat tiang listrik di dekatnya berjongkok. Nggak ada pilihan lain. “Yo, cepat naik!” seru Orik sambil memanjat tiang listrik, tanpa pikir panjang Mario mengikuti. Keduanya pun berserabutan memanjat tiang listrik itu.
“Rik, naik dikit lagi, dunk!” pinta Mario, nggak rela kepalanya dipantatin Orik.
“Ogah, ah. Gue takut kesetrum!” tolak Orik sambil terus memeluk tiang listrik. Matanya melirik ngeri ke kabel listrik yang bergelantungan di atas sana.
“Rik, pliz, cepet naik lagi. Si Robo udah di bawah,” rengek Mario panik melihat si Robo lagi pasang kuda-kuda, hendak melompat sambil menggeram menampakkan deretan gigi tajamnya.
“Tenang aja, Yo, lo aman kok. Nggak mungkin si Robo bisa nyolek pantat lo dari bawah sana. Lo masih cukup jauh dari jangkauannya di atas sini,” hibur Orik. Ia sendiri cukup lega di posisinya, memeluk tiang listrik seerat mungkin.
“Gukz!” Kata siapa gue nggak bisa nyolek tuh pantat. Tapi, nyolek? Ihh, jijay deh, emangnya gue cowok apaan. Gue ralat! Bukannya nyolek, tapi nyakar! “Grrr, gukz!”
Hup, si Robo melompat sambil menyambarkan dua kaki depannya ke pantat Mario yang ketakutan sambil memeluk erat tiang listrik, tapi cakarannya luput.
Mario terus berdoa sambil merintih.  Bapa di surga tolong lindungi aku, pliz! Aku kapok nggak bakal ngusilin doggie itu lagi.
Akibat kegagalan pertamanya si Robo semakin meraung marah.  Kini ia bersiap melompat lagi, kali ini dengan menumpuk tenaganya secara maksimal di kaki bawah, dan hup, bret! Bukan hanya berhasil menyarangkan cakaran di pantat Mario, tapi…
Wuekkk, busyet! Bau banget tuh pantat. Si Robo segera melepaskan sobekan celana jins Mario dari mulutnya
“Huaaa! Tolooong, ada anjing gila! Tolooong…” teriak Mario tambah panik. Lalu ia menyundul pantat Orik dengan keras. “Rik, naik lagi, pliz. Lo nggak bakal kesetrum. Kabelnya kan masih jauh  di atas. Tegaan amat lo, Rik. Liat nih jins baru gue sobek,” pintanya menghiba.
“Sempat-sempatnya lo mikirin jins lo. Pikiran tuh nasib pantat lo,” kata Orik enteng.
“Makanya naik dikit. Awas lo, kalo pantat gue kena rabies. Gantian pantat lo, gue gigit dari sini,  biar lo juga terkena rabies!” ancam Mario geram.
Ancaman Mario mengena, seketika Orik langsung beringsut naik lebih ke atas, kedua tangannya masih tetap memeluk erat tiang listrik.
“Dari tadi apa! Kan jins gue nggak bakalan sobek kayak gini!” gerutu Mario kesal. Tapi ia sedikit lega, sekarang pantatnya sudah cukup jauh dari jangkauan si Robo.
“Gukz!” Kurang ajar, malah naik lagi! Tapi lo berdua jangan girang dulu. Awas lo! Gue tungguin di bawah sini sampai pagi. Peluk aja terus tuh tiang sampai badan lo pegel. Syukur-syukur kalo lo berdua kesetrum trus koit, it, it… “Gukz!” Si Robo lalu bergelung santai di bawah tiang listrik. Sebelah matanya merem sedangkan sebelahnya lagi tetap melek ke atas mengawasi buruannya.
“Rik, gimana nih. Tuh doggie malah molor di bawah. Mana sebelah matanya pakai ngawasin ke atas lagi,” kata Mario sambil menyundul lagi pantat Orik.
“Elo minta bantuin aja. Teriak kek! Lo kan anak sini,” jawab Orik cuek. “Tuh liat, lampu rumah di depan masih nyala, teriakin aja ke situ!” sambungnya.
Itu kan rumah Pak Ustadz Amir. Gue segan, gimana kalo ntar gue ketahuan abis ngejailin si Robo? Tapi gue pegel juga terus-terusan meluk nih tiang. Pikir Mario. Tapi, apa boleh buat, daripada gue beku di sini sampai besok. “Tolooong… tolooong… “ dan Mario pun segera melolong dengan suara yang menyayat hati. Orik tak tinggal diam, ikut berpartisipasi memperdengarkan lolongan terbaiknya.
Dan aksi keduanya segera menampakkan hasil, pintu rumah di depan mereka segera terbuka. Seorang bapak-bapak berpeci dan berbaju koko yang berdiri di ambang pintu memandang heran ke arah tiang listrik, tempat  kedua anak muda itu sedang melolong-lolong hebat. Ia berjalan menuju ke pintu gerbang, berhenti sejenak seraya melihat arah bawah tiang listrik. Ia tersenyum dan segera membuka kunci, lalu melangkah mendekati tiang listrik seraya mengibaskan tangannya. “Hus, hus, hus!”
Lo berdua beruntung. Gue pergi dulu, tapi bukan karena kasihan atau sengaja ngalah sama lo berdua, tapi karena gue segan sama Pak Ustadz. Tanpa menyalak si Robo segera bangkit dan berlari pelan meninggalkan tempat itu.
“Ayo turun, anjingnya sudah pergi,” suruh Pak Ustadz Amir.
Segera Mario dan Orik merosot turun ke bawah. Uh, akhirnya, aman.
“Makasih, Pak Ustadz, udah bantuin kami,” ujar Mario sambil menghembuskan nafas lega.
“Alhamdulillah. Makasih, Pak Ustadz. Untung ada bapak, kalo nggak kami bakal ngeronda di atas sana sampai besok,” tambah Orik seraya menggerak-gerakkan badannya yang rada pegal.
“Kalian nggak apa-apa, kan?  Oh, ada yang kena gigit?” tanya Pak Ustadz Amir agak cemas.
“Kegigit sih, nggak pak. Cuma bagian belakang celana Mario agak sobek dikit. Mungkin dikira ada tulang gosong kesimpan di situ. Hihihi…” jawab Orik sambil tertawa geli.
Mario diam saja sambil menekuk wajah mendengar ledekan Orik. Tangannya refleks menutup celana jinsnya yang sobek di bagian pantatnya.
Pak Ustadz Amir tersenyum. “Ya, sudah. Kalau begitu kalian langsung pulang saja,” katanya. Ia tertegun sejenak menatap Orik. “Tapi sepertinya saya baru kali ini melihat kamu di sini.”
“Saya Orik, pak, teman Mario. Saya tinggal di perumahan Hutan Jati,” jelas Orik.
“Oh, begitu,” kata Pak Ustadz Amir manggut-mangut. “Saya ke dalam dulu, ya? Assalammualaikum, Orik. Selamat malam Mario,” ucapnya lalu masuk ke halaman rumahnya dan mengunci pintu gerbang.
“Wa’alaikum salam, pak,” jawab Orik.
 “Selamat malam juga, pak,” jawab Mario. “Yok, balik.”
Sambil berjalan ke rumah Mario, Orik melirik ke wajah temannya itu. “Eh, bibir lo kenapa? Kok jontor gitu,” tanyanya.
“Tadi waktu jatuh mulut gue sempat nyium jalan, tapi nggak apa-apa kok.” jawab Mario sambil terus berjalan.
“Yakin, mulut lo nggak kenapa-napa, Yo. Memar gitu soalnya,” kata Orik prihatin.
“Emang sih, agak nyeri. Tapi gue rasa nggak apa-apa. Mulut gue cuma agak terasa asem aja,” kata Mario sambil memain-mainkan lidahnya di dalam mulut. Tapi sejenak ia terdiam seraya menghentikan langkahnya, ketika lidahnya merasakan sesuatu yang lowong di deretan gigi depan sebelah atasnya. Seketika tangannya bergerak meraba deretan giginya itu. “Rik, gigi gue hilang,” lirihnya dengan wajah memucat.
“Gigi lo hilang? Di colong siapa? Marmut?” sahut Orik sekenanya.
Mario segera membuka lebar mulutnya, menampakkan sesuatu yang lowong di barisan gigi depan atasnya. “Lo lihat aja, Rik. Gigi gue masih ada, nggak?” suruhnya sambil berharap semoga saja dugaan dan perasaannya salah.
Dalam suasana temaram Orik melongok ke mulut Mario yang mangap. “Masih ada kok, tapi… busyet, dua gigi lo ngelayap kemana, Yo!” seru Orik terkejut melihat dua gigi tengah depan bagian atas Mario sudah tidak berada di tempatnya alias copot entah kemana.
Duh, bener, ternyata kedua gigi gue itu bener-bener hilang. Wajah Mario semakin memucat. “Dua gigi yang hilang itu, gigi palsu gue, Rik,” ujarnya lesu.
“Gigi palsu? Sejak kapan lo pakai gigi palsu. Kok lo nggak pernah bilang sih,” heran Orik.
“Nggak penting banget ngebahasnya. Sekarang tolongin gue nyariin gigi palsu gue yang hilang itu. Kecuali lo tega ngebiarin gue besok ke sekolah dengan gigi ompong kayak gini. Apalagi kalo ketemu Nindy. Wadduh, gimana nih!” Mario bertambah panik memikirkan kejadian besok jika ia ke sekolah dengan gigi depan ompong.
Jreng!
Burung kakak tua,
Hinggap di jendela,
Mario belom tua,
Giginya copot dua,
Jreng, jreng!!!
Glek! Mampus gue. Gue bakal jadi bulan-bulanan olokan anak-anak di sekolah. Dan keringat dingin pun segera bermunculan dari pori-pori kulitnya.
Orik berpikir sejenak. “Oh, iya, Yo! Tadi kan kita sempat jatuh di depan rumah sebelum rumah Pak Ustadz. Kali aja waktu itu gigi lo langsung copot. Yok, kita uber ke sana. Siapa tau gigi palsu lo itu lagi gelisah nungguin lo di sana.”
Wajah Mario berubah cerah dan kecemasanya sedikit berkurang. “Lo benar, Rik. Ayo kita ke sana!” sambutnya penuh semangat dan harapan. 
Segera keduanya berlari ke tempat mereka jatuh tadi saat diburu si Robo. Namun seketika keduanya segera mengerem langkah mendadak ketika melihat si Robo lagi ngendus-ngendus sesuatu di pinggir jalan.
“Rik, tuh liat! Gigi gue! Celaka, gigi gue dijilatin si Robo!” tunjuk Mario sambil merintih panik.
Entah kenapa tiba-tiba darah Orik memanas. Ia tidak rela melihat gigi palsu sohibnya diperlakukan sedemikian mesranya oleh si Robo. “Hoi, doggie stupid! Balikin gigi teman gue. Kalo nggak terpaksa malam ini kita bertarung sampai berdarah-darah!” gertaknya menggebu-gebu seraya mengacungkan tangannya  yang terkepal ke arah Robo.
Jadi ini gigi tuh anak. Huek! Sial, gue kira serpihan tulang ayam. Iiih, jijik, nggak sudi gue jilatin nih gigi, hiii. Gue ngalah aja, deh. Ngapain juga gue harus buang tenaga sampai berdarah-darah cuma karena ngerebutin gigi jorok kayak gini. Tak usah, yaaa.. si Robo melengos lalu berlari santai meninggalkan sepasang gigi yang baru saja dijilatinya itu.
Orik dan Mario segera mendekat.
Mario berjongkok sambil meraih sehelai daun pohon akasia yang tergeletak di pinggir jalan. “Gigi gue... Gigi gue dijilatin anjing,” lirihnya sambil memungut gigi palsunya dengan tangan beralaskan daun. “Rik, gue nggak mungkin masangin gigi ini lagi ke mulut gue. Selain jijik, gue juga takut terkena rabies,” lanjutnya dengan wajah sedih.
Sejenak Orik terdiam, bingung harus ngomong apa. Tapi akhirnya ia berkata juga. “Yo, sebaiknya kita pulang dulu. Bawa sekalian gigi lo itu.”
Mario berdiri dengan lesu lalu melangkah mengikuti Orik menuju rumahnya.
Apes banget gue malam ini. Batinnya. Dan besok bisa dipastikan ia tak akan berani membuka mulutnya lebar-lebar di sekolah, itu pun kalau ia memang masih punya keberanian datang ke sekolah besok.
 ☺☺

Bersambung Ke Bagian 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar