Senin, 10 Januari 2011

True Friend (Obama feat SBY), Bagian 2 : Double Gagal, oleh Firman Al Karimi


Malam itu, di teras rumahnya, Orik terlihat begitu rapi bersiap-siap mau ke rumah Farah. Bunga di tangannya diciuminya berulang-ulang, “Bunga ini spesial buat kamu Farah,” gumamnya. Dan bisa dipastikan, besok, sang Bunda akan berteriak-teriak histeris karena koleksi bunga di tamannya berkurang lagi.
“Cinta memang butuh pengorbanan. Maaf kan anakmu ini, Bunda. Ini semua demi perjuangan untuk meraih cinta sejati,” gumam Orik lagi. Sesaat ia tertawa geli. Mengapa gue jadi puitis gini. Bodo, ah. Lalu ia merogoh saku celananya. Waduh, kunci mobil gue kemana, ya? Perasaan sebelum mandi udah gue taruh di sini, tapi kok nggak ada. Eh… sial, mobil kok juga nggak ada. Tadi sebelum gue ke taman belakang juga masih terparkir di sini. Siapa yang bawa, ya? Baru sadar ia  akan keteledorannya.
Segera ia berbalik mau masuk ke rumah, tapi… Nih bunga harus gue umpetin dulu, bahaya ntar ketauan Bunda.
Setelah meletakkan bunganya di bawah meja teras depan, ia segera masuk ke dalam rumah.
“Bunda, mobil siapa yang bawa,” tanya Orik pada Bunda yang lagi asyik nonton sinetron kesayangannya di ruangan tengah.
“Dibawa Tari,” jawab Bunda pendek.
Sial, pasti tuh anak ngambil kuncinya waktu gue mandi tadi. “Kok Bunda biarin sih, dia itu kan masih SMP, Bunda,” protes Orik.
“Orik, kamu juga harus ngasih kesempatan ke adikmu buat bawa mobil. Biar dia lebih mahir nyetirnya. Lagian Bunda cuma ngijinin Tari bawa mobil seputar kompleks ini aja. Paling jauh dia ke rumah Indah,” sahut Bunda tanpa melepaskan pandangannya dari tontonan favoritnya itu.
Tari di rumah Indah? Indah kan rumahnya nggak jauh dari sini. Gue uber aja ke sana. Tapi…kalo jalan kaki jauh juga. Pikir Orik begitu menjauh dari Bunda. Sepeda, ya sepeda. Gue kan bisa pakai sepedanya Boby.
Di depan garasi ditatapnya sepeda mini si Boby. Mini amat. Batinnya melihat sepeda yang cuma setinggi pahanya itu. Egp, deh, dari pada jalan kaki.
Tanpa memedulikan bunyi berderit minta ampun sang sepeda, dengan susah payah dikayuhnya sepeda mini adik bungsunya itu ke arah rumah Indah.
Perasaan rumah Indah nggak sejauh ini deh, kok lama amat sampainya. Gerutunya ketika menghentikan kayuhannya di depan pos ronda yang gelap dan kosong. Berulang kali ia menyeka keringat yang menghujani wajahnya. Sial, kaki gue bisa kram kalo terus ngayuh nih sepeda.
Segera ia turun dari sepeda itu. Nih sepeda sebaiknya gue tinggalin aja di sini, lebih baik gue jalan kaki aja. Tapi kalo gue tinggalin di sini ntar ada yang nyelamatin lagi. Bisa ngamuk si Boby. Pikirnya.
Akhirnya Orik meneruskan perjalanannya sambil menuntun sepeda dengan posisi tubuh agak membungkuk karena sepedanya kerendahan. Sial, tau kayak gini mendingan gue jalan kaki aja dari tadi. Kurang ajar si Tari, nyiksa gue kayak gini. Orik terus menggerutu sepanjang perjalanannya.
Sesampainya di depan rumah Indah. Kok sepi. Jangan-jangan… batinnya begitu melihat keadaan rumah teman adiknya itu sepi seperti kuburan. Dilihatnya seseorang lelaki paruh baya berpakaian security  mendekatinya.
“Cari siapa dek,” tanya orang itu sopan.
“Indah kemana pak, kok sepi,” katanya sambil menebar pandangan ke sekeliling rumah itu.
“Oh, mereka sekeluarga sedang berlibur keluar kota, ke rumah neneknya di Bangkinang. Besok kan hari minggu. Saya Udin, Satpam di sini,” terang si security.
“Ya udah, makasih pak,” segera Orik memutar balik sepeda mininya. Dongkol bukan main hatinya tak menemukan apa yang dicarinya. “Ngelayap kemana sih tuh anak. Buat susah orang aja. Mana badan gue keringatan lagi. Abis deh bau parfum gue dilalap keringat,” gerutunya, terus melangkah sambil menuntun sepeda balik ke rumahnya.
“Sepedanya kok nggak dinaiki, dek,” tegur Pak Udin heran.
“Sepedanya ogah dinaiki, pak,” jawab Orik tanpa menoleh, meneruskan langkahnya dengan kedongkolan yang semakin menghebat di hatinya.
Begitu sampai di depan rumahnya, masih dengan kedongkolan yang mendalam ia segera memberi kabar pada Farah lewat HPnya. “Met malam Farah. Maaf, aku nggak bisa datang ke rumah kamu malam ini. Mobil dibawa kabur sama adikku. Kamu nggak marah, kan? Padahal aku udah siapin bunga yang harum banget buat kamu. Maaf banget, ya?”
Lalu dengan lesu Orik melirik ke rumah Nindy. Mario pasti lagi menuju ke sini sekarang. Gue harus segera masuk rumah dan mengurung diri  di kamar. Bisa malu juga kalo ketahuan sama Mario bahwa gue nggak jadi ke rumah Farah hanya gara-gara mobil gue dibawa kabur Tari si anak iseng itu. Setelah itu ia buru-buru mendorong sepeda mini Boby masuk ke pekarangan rumahnya dan mencampakkan begitu saja sepeda tak berdosa itu di depan garasi, lalu dengan setengah berlari menuju pintu depan, masuk ke rumah dan langsung menuju kamarnya di lantai dua tanpa menghiraukan tatapan heran Bunda yang masih nonton tv di ruang tengah.
Kenapa anak itu. Mana masuk rumah nggak ngucapin salam, lagi. Uh, perasaan beberapa menit yang lalu aroma parfumnya harum banget, tapi kok sekarang baunya asem gitu kayak kodok abis berjemur di pinggir kolam comberan. Batin Bunda heran.
☺☺

Sementara itu beberapa kilometer di sana, di kompleks perumahan Graha Permai, Mario tampak gelisah mondar-mandir sambil menggeram di depan rumahnya. Stelannya sih udah keren abis, tapi wajahnya yang ditekuk terus membuatnya terlihat seperti preman pasar habis kalah bertarung. Bosan mondar-mandir dan karena kegeraman di hatinya tak bisa ditahan lagi, segera ia masuk ke rumah dan menghampiri Mama yang lagi baca majalah di beranda depan.
“Ma, Opa pergi beli rokoknya ke Kutub Utara, ya? Kok lama banget. Nggak tau apa cucunya mau ngapel!” ujarnya melepas uneg-uneg yang menyesaki dadanya sedari tadi.
“Mario, kamu kok ngomong kayak gitu sih. Dosa tau! Sabar dikit, kenapa?!” jawab Mama agak marah melihat anaknya ngomong nyerocos kayak kereta api lewat.
 “Panjang umur. Itu kan Opamu. Tapi motornya kok dituntun gitu, susulin cepat gih,” lanjut Mama begitu melihat Opa Mario di depan gerbang, tampak lagi ngos-ngosan berjuang mendorong motor.
Mario langsung bergegas keluar rumah menyambut Opa, dan mengambil alih mendorong motor yang semula dihela Opa itu ke halaman rumah. Sejenak ia belum berani berkomentar atas aksi mendorong motor yang dilakukan Opa barusan, sebab Opa bersungut-sungut terus.
“Keterlaluan kamu, Yo! Kamu sengaja mau ngerjain Opa, ya? Motor kamu kehabisan bensin begitu Opa sampai di warung ujung jalan sana. Udah kedodoran nih nafas Opa ngedorong motor kamu,” semprot Opa dan langsung duduk begitu saja di lantai teras dengan nafas turun naik nggak beraturan. Terlihat begitu letih dan kepayahan.
Sorry Opa. Biasanya bensin motornya full terus kok. Cuma kali ini aja aku lupa ngeceknya,” sahut Mario mencoba membela diri.
“Iya, cuma kali ini, tapi Opa yang kena getahnya!” semprot Opa lagi seraya berulang kali menyeka keringat yang mengalir deras di wajah tuanya.
Terbit juga rasa iba Mario demi melihat ekspresi lelah Opa. “Mendingan Opa ngerokok dulu deh, biar hilang kesal dan capeknya,” sarannya, soalnya ia tahu benar, biasanya kalau lagi ngerokok Opa tenang banget, dan nggak banyak bersuara.
“Benar juga kamu, Yo!” sambut Opa seraya merogoh saku bajunya, kemudian beralih ke saku celana. Tapi mendadak ekspresi wajahnya berubah bingung. “Rokoknya kemana, ya? Perasaan tadi naruh di saku…”
Wadduh, celaka nih. Pasti pikunnya Opa kumat lagi. Rokoknya pakai hilang lagi. Mendingan gue kabur aja dari pada dapat masalah tambahan. Mario beringsut, mundur perlahan mau masuk ke rumah.
Tapi langkahnya segera terhenti dan terpaku di ambang pintu. “Mario, mau kemana kamu! Sini, rokok Opa nggak ketemu nih. Coba kamu cari dulu, paling jatuh di jalan depan sana,” suruh Opa.
Huh, bener-bener apes gue malam ini! Lalu dengan hati dongkol dan pikiran penuh gerutuan, jadilah malam itu Mario berjalan kaki sambil membungkuk-bungkukkan badan nyusurin jalanan kompleks, namun benda yang di carinya nggak kunjung ketemu. Ia berhenti di depan rumah Pak Roy. Dua meter di depannya, si Robo, anjing jenis Boxer milik Pak Roy lagi mengais-ngais sesuatu di rerumputan pinggir selokan.
 Mungkin itu rokok Opa yang sedang di colek-colek tuh doggie. pikirnya.
“Hus! Pergi sana,” desis Mario sambil berjongkok pura-pura mau ngambil batu. Si Robo mafhum, anjing kekar itu segera beranjak dari posisinya.
Dalam suasana malam yang temaram, Mario mendekati pinggir selokan. Tangannya mulai mengacak-acak rerumputan. Kok rokoknya nggak ada, ya? Tapi ia belum menyerah, tangannya terus menjelajahi tempat si Robo mengais-ngais tadi. Ups, apaan neh. Jari tangannya menyentuh sesuatu yang lembek dan agak hangat. Dengan perasaan yang mulai tidak enak, ia mendekatkan jari tangannya ke hidungnya. “Huek! Sial! Kamfretz si Robo! Kurang ajar tuh doggie, bisa-bisanya ngerjain gue,” umpatnya geram.
Sejenak matanya liar mencari-cari si pelaku buang hajat yang mengotori jemari tangan dan mencemari hidungnya. Dari balik pagar dilihatnya si Robo sedang asyik bergelung di depan pintu rumah majikannya, Pak Roy, dengan sebelah mata merem dan sebelahnya lagi agak kebuka, seakan mengejek Mario. Bego lo, limbah gue lo acak-acak. Gurih kan baunya. Hihihi…gukz!
Mario menggeram. Ok, sekarang lo aman. Tapi tunggu aja, ntar. Pas ada kesempatan, lo pasti gue bales!
Setelah menyapukan tangannya yang terkena kotoran di rerumputan, Mario mulai lagi membungkuk-bungkuk menyusuri jalanan kompleks hingga sampai ke warung tempat Opa beli rokok tadi. Tapi rokok yang dicari nggak kunjung ketemu juga. Keterlaluan si Opa nyiksa gue kayak gini.
“Nyari apa, dek,” tanya si pemilik warung begitu melihat Mario celingak-celinguk di depan warungnya.
“Ini bang lagi nyari rokok Opa saya, jatuh di jalan katanya,” jawab Mario sambil duduk melepaskan lelahnya di depan warung.
“Oh, jadi kakek yang tadi beli rokok di sini, Opa kamu, ya? Ini rokoknya, tadi habis dibayar rokoknya malah ditinggal di sini. Kelupaan kali, soalnya dia sempat marah-marah begitu melihat motornya kehabisan bensin,” terang pemilik warung itu seraya menyerahkan sebungkus rokok kepada Mario.
Opa?!!!
Sepanjang perjalanan pulang ke rumahnya tak henti-hentinya Mario menggerutu dan menggeram dengan dada yang menyesak hebat.
“Gara-gara rokok ini gue batal ke rumah Nindy. Rokok ini juga yang membuat tangan gue nyolek-nyolek limbahnya si guguk sialan itu. Gue bersumpret nggak bakal pernah ngerokok seumur hidup gue. Rupanya rokok bukan hanya dapat menyebabkan penyakit kanker, gangguan janin dan jantung, tapi juga dapat ngebatalin ngapelin calon pacar plus kepegang limbah jorok. Gue benci rokoook…!!!” umpat Mario ketika menghenyakkan pantatnya di teras depan.
“Ketemu rokoknya, Yo,” sapa Opa yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah.
“Nih, rokoknya Opa. Tadi Opa tinggalin di warung,” jawab Mario lesu.
“Ya ampun, kok Opa bisa lupa, ya,” ujar Opa sambil menepuk jidatnya begitu menerima rokoknya. Tapi bungkus rokoknya kok bau terasi busuk gini, ya? Ah, peduli amat. Lalu dengan wajah berseri-seri Opa membuka bungkus rokoknya dan melangkah ringan masuk ke dalam rumah.  
Mario merogoh HP dari saku celananya. “Halo Nindy. Maaf, aku nggak jadi ke rumah kamu malam ini. Lagi nggak enak badan. Abis kerja rodi, nih. Maaf banget ya, Nin,” sejenak ia terdiam sambil mengonsep kata. “Oh, ya, Nin. Aku juga mau bilang kalo kamu cantik banget kayak, kayak…” tapi lagi-lagi Mario kehabisan kata-kata. Selalu saja begitu. Kasian banget.
Gue harus cepat masuk rumah. Sebentar lagi Orik pasti lewat sini, mau ke rumah Farah. Kalo Orik tau kalo gue batal ke rumah Nindy gara-gara kerja rodi malam-malam, nyusurin jalan sambil nyariin rokok Opa  yang hilang, bisa malu besar gue.
☺☺

Bersambung Ke Bagian 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar