Senin, 03 Januari 2011

OLD RIDER Oleh Firman Al Karimi

Suara berderit memekik tajam ketika Janu menginjak sekuat-kuatnya pedal rem Old Rider, penyambung kakinya ketika bepergian. Kalau diusut lebih lanjut sebenarnya pedal rem kaki itu punya kompatriot, tapi rupanya benda yang bernama rem cakram itu sudah payah sekali cengkeramannya, berakibat rem kaki merelakan pedal miliknya diinjak sedalam-dalamnya oleh Janu. Sebuah kalimat pendek bernada syukur spontan melompat dari mulut Janu. Roda depan Old Rider berhenti satu senti kotor dari bibir lubang berkedalaman hampir satu meter dan menganga selebar setengah meter, siap menelan makhluk malang yang ketiban sial hari itu.
Entah sudah berapa lama lubang itu merasakan keangkuhan sebagai predator penjerat, yang katanya dilubangi oleh para kuli yang dipekerjakan oleh kontraktor pemegang proyek pemasangan instalasi telekomunikasi milik perusahan terkemuka dinegeri ini. Perasaan, ketika Janu melewati jalan itu berhari-hari kebelakang, lubang sialan itu sudah menampakkan diri, bahkan dengan senang hati menyambut roda depan Old Rider memasukinya saat hujan nan lebat mengguyur bumi. Saat itu Janu tak terluka segores pun sebab air tumpah ruah memenuhi lubang, hanya saja ia harus berjuang menarik Old Rider yang berenang bebas dalam lubang. Ditambah lagi Old Rider harus mati sejenak sebelum businya dikeringkan.
Pasti lubang itu sudah menutup diri saat ini, pikir Janu sebelumnya, sehingga Old Rider dipaksanya membalap dengan kepercayaan diri akibat dihasut oleh semangat darah muda yang dipompa kencang jantungnya. Akibatnya, hari itu hampir saja ia menjadi keledai, hewan yang diisukan dunia sebagai makhluk pandir yang terperosok ke lubang yang sama untuk kali keduanya.
Sejenak Janu menghirup nafas kelegaan sehirup dua hirup. Sialan! ia malah melepas batuk. Diluar kesadarannya, udara yang disedot hidungnya telah dicampuri asap. Kaca penutup helm dibukanya untuk membebaskan penglihatan, pintu kesadarannya terbuka, suasana berkabut bermotif kuning jingga keruh telah menyelimuti kota itu. Kemudian matanya menangkap setumpuk orang mulia yang berdiri dibawah traffic light membagikan masker sederhana sekedar penutup mulut dan hidung dari serbuan asap jingga nan kuning beraroma menyesakkan dada. Asap itu juga yang telah berandil besar dalam membagikan berbagai macam gangguan pernafasan terhadap makhluk-makhluk penghuni kota itu, sungguh menyesakkan dada.
 Setiap tahun selalu saja kota ini menjadi langganan persinggahan asap yang konon katanya berasal dari hutan-hutan yang terbakar atau sengaja dibakar oleh makhluk-makhluk yang dikatakan oleh Zat Yang Maha Pencipta didalam kitab sucinya sebagai makhluk pembuat kerusakan dimuka bumi. Tentu saja perilaku jahiliah itu menggugah kemurkaan Zat Yang Maha Perkasa, jika makhluknya yang kufur itu kuasa dengan kejam membakari dan menggunduli hutannya tanpa ampun, maka Zat Yang Maha Kuasa juga dengan sangat mudah mudah menghujani bumi dengan air bahnya dari langit, banjir!!! Camkan baik-baik! Zat Yang Maha Penyayang itu tak pernah menzalimi ciptaannya, tapi ciptaannya itulah yang menzalimi diri mereka sendiri dengan kearoganan tak bertepi tanpa batas, merasa dunia milik pribadinya, sehingga merasa berhak bertingkah laku sesuka hati. Rasakanlah akibatnya!
"Terima kasih, semoga Allah SWT merahmati kalian” ucap Janu tulus ketika menerima sodoran masker gratis dari seorang remaja lelaki berkaos putih bertuliskan kalimat sederhana bernada ajakan, “Jangan Rusak Hutan Kita". Remaja itu menampakkan keterkejutannya dari balik masker yang menutupi sebagian wajahnya, rupanya ia termasuk orang yang jarang sekali disirami sebaris kalimat pendek yang menggetarkan hati itu.
Old Rider melaju cukup pelan namun berusaha tampil elegan menyusuri jalan-jalan yang diseraki danau-danau mini, berkali-kali pula Janu dengan lincah dan cekatan mengendalikan tunggangannya menghindari danau-danau itu. Perasaannya lagi, belum genap seumur jagung jalan yang dilewatinya itu diresmikan oleh birokrat setempat penggunaannya. Bahkan beberapa bulan yang lalu jalan itu masih mulus hampir mendekati kemulusan sirkuit sentul, arena balap membalap kebanggaan negeri ini. Beberapa bulan yang lalu juga, Janu masih mencoba dengan tulus memuji kinerja birokrat didaerahnya. "Hebat, tak percuma aku menusukkan paku kekepalanya saat Pilkada dua tahun berlalu," batinnya saat menikmati kemulusan jalan bersama Old Rider waktu itu. "Kontraktornya juga luar biasa, memang layak keluar sebagai pemenang tender, kualitas kerjanya muluuus banget, gitu loh," batinnya lagi, masih pada saat itu. 
Tapi saat ini, hampir saja Janu mengalamatkan tuduhan kepada truk-truk beroda sepuluh dan berbodi over kapasitas yang "diloloskan" saat penimbangan dan sering mondar mandir terseok-seok melewati jalan itu bagaikan raksasa kekenyangan tak mampu menghela badan, sebagai tersangka tunggal perusak jalan itu. Namun...tiba-tiba ia teringat obrolan lepas dengan sohib kentalnya, mengenai mafia berkedok kontraktor yang doyan makan batu, pasir, semen, bahkan aspal pun disantapnya dengan rakus. Lebih parahnya lagi, kontraktor-kontraktor terhormat berkendara mewah itu juga sering menunda pemberian balas jasa atas keringat yang mengucur deras dan tenaga yang terkuras habis para makhluk yang akrab disebut kuli. "Kami pernah menahan lapar beberapa lama ketika proyek sudah selesai, tapi Pak 'PEMBORONG’'malah menghilang seperti setan diuber petir," ujar sohib kentalku yang pernah merasakan pahit getirnya menjadi kuli.     
            Old Rider melaju terangguk-angguk tersendat-sendat hingga akhirnya tak kuasa lagi memutar rodanya, mogok total. "Minumanmu habis rupanya," ujar Janu ketika melihat tak setetes pun bensin tersisa dalam tangki bahan bakar Old Rider. "Pucuk dicinta ulam pun tiba," ujarnya lagi penuh kelegaan ketika sepasang matanya menangkap tanda SPBU tak sampai seratus meter kedepan. "Tenanglah, sebentar lagi akan aku lepaskan hasrat dahagamu," gumamnya segera menghela kawan setianya.
Segera Janu mengambil posisi antri, banyak sekali rupanya peminat bensin hari itu. Tampak seorang lelaki berperawakan kurus berseragam biru muda sibuk mengucurkan bensin ketangki-tangki penagihnya, disebelahnya seorang pria tambun dengan santai mengucurkan bensin ke sebuah jerigen berukuran jumbo, tiga jerigen jumbo lainnya masih menanti untuk dipenuhi tak peduli umpat gerutu jubelan pengantri yang takut kehabisan jatah. Antrian yang bergerak seperti barisan kura-kura yang berlomba lari memancing kericuhan, para pengantri dibarisan belakang kehabisan sabar, berserabutan saling mendahului, bersitegang berperang kata, tak peduli dengan seenaknya menyemprotkan bahasa-bahasa rimba yang menusuk-nusuk pendengaran. Ketegangan memasuki fase klimaks ketika petugas SPBU berbodi ceking berwajah pucat pasi dengan gagap mengumumkan "Be...bensinnya habis."
Si pria tambun semakin menegaskan ketamakannya, berusaha memeluk empat jerigen penuh bensin, tapi apalah daya tangannya tak cukup panjang mendekap keempat jerigen simbol kelobaannya siang itu. Ketakutan semakin terlukis jelas diraut mukanya yang berminyak ketika sorot tajam mengandung kegeraman puluhan manusia beringas kehausan bensin mengalihkan pandangan ke arah jerigen miliknya.
 "Itu!!! penumpuk bensin, rampas," teriak makhluk-makhluk itu semakin ganas tak terkendali seraya berhamburan menubruk keempat jerigen yang coba dikawal sepenuh jiwa oleh pemiliknya.
Makhluk-makhluk ganas itu tanpa ampun memuaskan nafsu amarahnya dengan merampas paksa jerigen-jerigen itu, entah sadar atau pura-pura mabuk, tak mempedulikan tubuh tambun itu terinjak-injak, tak tersisa rasa iba mendengar pekik jerit menyayat hati pria tambun nan loba itu. Segera kemudian dengan sorak sorai riuh rendah, guyuran-guyuran bensin tercurah ketangki-tangki bahan bakar mereka yang menganga kehausan. Entah itu pantas disebut vandalisme, anarkisme, atau apa pun sebutannya, telah terjadi disiang bolong itu.
Janu bergidik penuh kengerian melihat drama nyata penuh kegilaan tersaji didepan kepala matanya. Setelah terpana terpaku sesaat, segera ia menyeret Old Rider menjauhi makhluk-makhluk penuh angkara murka itu, enggan ketularan virus gila mendadak.
"Bang tolong isi dua liter," ujar Janu ketika menghampiri kios bensin yang mangkal dibalik tembok SPBU.
"Dua puluh ribu," pria pemilik kios bensin itu berujar pendek dengan pandangan acuh tak acuh, seperti tak butuh pembeli, seperti tak mau uang, seperti enggan bertatap muka.
Tak ada perlawanan dari Janu atas nilai yang dipatok penjual bensin yang licik culas dan mahir menangguk di air keruh itu, padahal dengan harga resmi ia bisa mendapatkan empat liter bensin. Tanpa kerelaan diangsurkannya empat lembar uang lima ribuan hasil patungan rekan-rekannya kepada penjual congkak yang serta merta menerkam sodorannya seperti kucing garong diumpani lauk busuk.
Alaaamak...ironis, sangat ironis malahan, minyak langka didaerah yang katanya penghasil minyak bumi terbesar dinegeri ini. Keterlaluan, ternyata jutaan barel minyak yang bersemayam dalam perut bumi didaerah ini seperti tak berarti apa-apa, puluhan tahun dieksploitasi habis-habisan, jangankan mengimbaskan kemakmuran seperti yang dinikmati negeri-negeri Arabian nun jauh disana, mencukupi kebutuhan harian saja tak cukup. Itu baru soal cerita minyak yang dikandung bumi. Ternyata, daerah ini juga dipenuhi ribuan hektar tumbuhan pemasok bahan baku utama jenis minyak lainnya, minyak goreng. Tapi tak ada daya, tetap saja jeritan para ibu melengking mengeluhkan harga minyak goreng yang terkadang membumbung tinggi. 'Dibawah minyak, diatas minyak’ hanya sebuah julukan tak bernilai yang dialamatkan pada daerah ini, nonsens. Itulah nyanyian batin Janu ketika berada diatas Old Rider melanjut perjalanan melelahkannya siang itu.
"Selamat siang, tolong tunjukkan kelengkapan surat-surat anda," ujar seorang pria gagah berseragam penuh keramahan ketika menghentikan kelajuan Janu diatas Old Rider.
Perasaan kecut Janu seketika memudar  melihat gelagat bersahabat yang ditunjukkan sang pengabdi hukum, dengan percaya diri Janu merogoh dompetnya, menarik benda yang dimintai si pria gagah berseragam.
Si pria gagah berseragam terlihat gigih penuh ketelitian memeriksa surat-surat yang ditunjukkan Janu, tapi tak menemukan setitik pelanggaran. Kemudian matanya nanar mengedarkan pandangan kearah Old Rider, tiba-tiba ia berubah jadi begitu cerewet. "Kaca Spionnya retak, warna cat di STNK jelas-jelas hitam tapi sudah diubah menjadi Abu-abu, penutup pentil bannya mana?" Lihai sekali ia rupanya mengorek-ngorek kesalahan.
"Kaca spionnya memang retak, tapi masih bisa melirik yang dibelakang. Maklumlah, motor tua, jadi warna hitamnya memudar jadi abu-abu. Penutup pentil penting juga ya, pak?" ujar Janu polos.
"Maaf, terpaksa anda saya tilang, tapi damai ditempat juga boleh," ujar si pria gagah berseragam memvonis seraya mengajukan tawaran tingkat rendah, merendahkan diri dan institusinya kederajat menghinakan.
"Damai? Wah, ribuan terima kasih, pak," Janu begitu terkesan atas kebaikan lawan bicaranya, tak sadar akan intaian pemangsa.
"Damai, yaaa pakai ini," lanjut si pria gagah berseragam kesal seraya menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Melihat Janu pasang wajah bingung, si pria gagah berseragam buru-buru memperjelas, DUIT," desisnya.
"Maaf beribu maaf, saya tidak punya duit pak, sudah tiga bulan belum gajian,' ujar Janu memelas, coba memancing perasaan iba.
"Tidak ada duit, motornya saya tahan,'" ketus, tak ada lagi secuil keramahan tersisa pada pria gagah berseragam itu.
"Terserahlah, pak," ujar Janu pendek pasrah pada nasib, matanya menengadah kelangit mohon pertolonganNya. Segera ia berlalu...
"Eeeeh, mau kemana? Bawa sajalah motornya," ujar si pria gagah berseragam kehilangan minat menahan motor tua nan butut itu. “Siapa sudi menyita besi tua buduk karatan," pikirnya.
Kembali kalimat syukur menggumam dibibir Janu.
Perjalanannya hari itu berlanjut hingga ia membelokkan Old Rider kesebuah gedung yang acap disebut kantor yang berfungsi sebagai pengayom korps para pahlawan tanpa tanda jasa. "Akhirnya..." Ingin ia menghela nafas lega lagi, namun diurungkannya, "udaranya masih tercemar," pikirnya.
"Pak Janu, seminggu yang lalu saya kan sudah kasih tahu, gaji untuk guru honorer belum cair, nunggu anggaran daerah diketok palu dulu," ujar pria yang mengurusi keuangan dikorps guru itu.
Janu melangkah lesu keluar kantor, sudah tiga bulan ia dan rekan sejawatnya yang berstatus guru honorer daerah belum mendapat gaji. Membayang dibenaknya wajah penuh harap rekan-rekannya ketika mengutus dirinya untuk mempertanyakan sejumlah nilai sebagai balas jasa mereka. Tapi...ternyata harus tunggu ketok palu dulu. "Ketok saja kepala kami sekalian dengan palu itu," batinnya penuh kekesalan menggumpal didada.
 Janu masih merasa lebih beruntung dengan status lajangnya, ia masih bisa nebeng orang tuanya yang sangat pengertian itu. Tapi...terasa ingin berhamburan airmatanya mengingat rekan-rekannya...
"Sudah beberapa bulan ini anakku tak minum susu, untung ia masih mau ku seduhkan teh dengan sedikit gula,” ujar Bu Wati.
“Warung tempat aku biasa ngutang, tak mau lagi menambah bon hutangku," Pak Arif menimpali.
"Aku masih bingung, harus pinjam uang kemana buat makan besok," sambung Pak Edi.
Tak tahu harus menuding kemana, siapa yang harus disalahkan, siapa yang harus bertanggung jawab...
"Hari yang berat," gumam Janu ketika sudah bertengger diatas Old Rider yang menjadi teman setianya hari itu. Seperti memahami kegundahan Janu, Old Rider merayap dengan tenang, pelan menyusuri jalan seolah-olah tak ingin menambah kesusahan tuannya.***
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar