Entah sudah berapa lama lubang itu merasakan keangkuhan sebagai predator
penjerat, yang katanya dilubangi oleh para kuli yang dipekerjakan oleh
kontraktor pemegang proyek pemasangan instalasi telekomunikasi milik perusahan
terkemuka dinegeri ini. Perasaan, ketika Janu melewati jalan itu berhari-hari
kebelakang, lubang sialan itu sudah menampakkan diri, bahkan dengan senang hati
menyambut roda depan Old Rider memasukinya
saat hujan nan lebat mengguyur bumi. Saat itu Janu tak terluka segores pun sebab
air tumpah ruah memenuhi lubang, hanya saja ia harus berjuang menarik Old Rider yang berenang bebas dalam lubang.
Ditambah lagi Old Rider harus mati
sejenak sebelum businya dikeringkan.
Pasti lubang itu sudah menutup diri saat ini, pikir Janu sebelumnya,
sehingga Old Rider dipaksanya
membalap dengan kepercayaan diri akibat dihasut oleh semangat darah muda yang
dipompa kencang jantungnya. Akibatnya, hari itu hampir saja ia menjadi keledai,
hewan yang diisukan dunia sebagai makhluk pandir yang terperosok ke lubang yang
sama untuk kali keduanya.
Sejenak Janu menghirup nafas kelegaan sehirup dua hirup. Sialan! ia malah
melepas batuk. Diluar kesadarannya, udara yang disedot hidungnya telah dicampuri
asap. Kaca penutup helm dibukanya untuk membebaskan penglihatan, pintu kesadarannya
terbuka, suasana berkabut bermotif kuning jingga keruh telah menyelimuti kota itu. Kemudian matanya
menangkap setumpuk orang mulia yang berdiri dibawah traffic light membagikan
masker sederhana sekedar penutup mulut dan hidung dari serbuan asap jingga nan
kuning beraroma menyesakkan dada. Asap itu juga yang telah berandil besar dalam
membagikan berbagai macam gangguan pernafasan terhadap makhluk-makhluk penghuni
kota itu,
sungguh menyesakkan dada.
Setiap tahun selalu saja kota ini menjadi langganan
persinggahan asap yang konon katanya berasal dari hutan-hutan yang terbakar
atau sengaja dibakar oleh makhluk-makhluk yang dikatakan oleh Zat Yang Maha
Pencipta didalam kitab sucinya sebagai makhluk pembuat kerusakan dimuka bumi.
Tentu saja perilaku jahiliah itu menggugah kemurkaan Zat Yang Maha Perkasa, jika
makhluknya yang kufur itu kuasa dengan kejam membakari dan menggunduli hutannya
tanpa ampun, maka Zat Yang Maha Kuasa juga dengan sangat mudah mudah menghujani
bumi dengan air bahnya dari langit, banjir!!! Camkan baik-baik! Zat Yang Maha
Penyayang itu tak pernah menzalimi ciptaannya, tapi ciptaannya itulah yang menzalimi
diri mereka sendiri dengan kearoganan tak bertepi tanpa batas, merasa dunia
milik pribadinya, sehingga merasa berhak bertingkah laku sesuka hati. Rasakanlah
akibatnya!
"Terima kasih, semoga Allah SWT merahmati kalian” ucap Janu tulus ketika
menerima sodoran masker gratis dari seorang remaja lelaki berkaos putih bertuliskan
kalimat sederhana bernada ajakan, “Jangan Rusak Hutan Kita". Remaja itu
menampakkan keterkejutannya dari balik masker yang menutupi sebagian wajahnya,
rupanya ia termasuk orang yang jarang sekali disirami sebaris kalimat pendek
yang menggetarkan hati itu.
Old Rider melaju cukup pelan
namun berusaha tampil elegan menyusuri jalan-jalan yang diseraki danau-danau mini,
berkali-kali pula Janu dengan lincah dan cekatan mengendalikan tunggangannya
menghindari danau-danau itu. Perasaannya lagi, belum genap seumur jagung jalan
yang dilewatinya itu diresmikan oleh birokrat setempat penggunaannya. Bahkan
beberapa bulan yang lalu jalan itu masih mulus hampir mendekati kemulusan
sirkuit sentul, arena balap membalap kebanggaan negeri ini. Beberapa bulan yang
lalu juga, Janu masih mencoba dengan tulus memuji kinerja birokrat didaerahnya. "Hebat, tak percuma aku menusukkan paku kekepalanya saat Pilkada dua tahun
berlalu," batinnya saat menikmati kemulusan jalan bersama Old Rider waktu itu. "Kontraktornya juga luar biasa, memang layak
keluar sebagai pemenang tender, kualitas kerjanya muluuus banget, gitu loh," batinnya lagi, masih pada saat itu.
Tapi saat ini, hampir saja Janu mengalamatkan tuduhan kepada truk-truk
beroda sepuluh dan berbodi over kapasitas yang "diloloskan" saat penimbangan
dan sering mondar mandir terseok-seok melewati jalan itu bagaikan raksasa
kekenyangan tak mampu menghela badan, sebagai tersangka tunggal perusak jalan
itu. Namun...tiba-tiba ia teringat obrolan lepas dengan sohib kentalnya,
mengenai mafia berkedok kontraktor yang doyan makan batu, pasir, semen, bahkan
aspal pun disantapnya dengan rakus. Lebih parahnya lagi, kontraktor-kontraktor
terhormat berkendara mewah itu juga sering menunda pemberian balas jasa atas
keringat yang mengucur deras dan tenaga yang terkuras habis para makhluk yang
akrab disebut kuli. "Kami pernah menahan lapar beberapa lama ketika proyek
sudah selesai, tapi Pak 'PEMBORONG’'malah menghilang seperti setan diuber petir,"
ujar sohib kentalku yang pernah merasakan pahit getirnya menjadi kuli.
Old
Rider melaju terangguk-angguk tersendat-sendat hingga akhirnya tak kuasa
lagi memutar rodanya, mogok total. "Minumanmu habis rupanya," ujar Janu ketika
melihat tak setetes pun bensin tersisa dalam tangki bahan bakar Old Rider. "Pucuk dicinta ulam pun tiba,"
ujarnya lagi penuh kelegaan ketika sepasang matanya menangkap tanda SPBU tak
sampai seratus meter kedepan. "Tenanglah, sebentar lagi akan aku lepaskan hasrat
dahagamu," gumamnya segera menghela kawan setianya.
Segera Janu mengambil posisi antri, banyak sekali rupanya peminat bensin
hari itu. Tampak seorang lelaki berperawakan kurus berseragam biru muda sibuk
mengucurkan bensin ketangki-tangki penagihnya, disebelahnya seorang pria tambun
dengan santai mengucurkan bensin ke sebuah jerigen berukuran jumbo, tiga
jerigen jumbo lainnya masih menanti untuk dipenuhi tak peduli umpat gerutu
jubelan pengantri yang takut kehabisan jatah. Antrian yang bergerak seperti barisan
kura-kura yang berlomba lari memancing kericuhan, para pengantri dibarisan
belakang kehabisan sabar, berserabutan saling mendahului, bersitegang berperang
kata, tak peduli dengan seenaknya menyemprotkan bahasa-bahasa rimba yang
menusuk-nusuk pendengaran. Ketegangan memasuki fase klimaks ketika petugas SPBU
berbodi ceking berwajah pucat pasi dengan gagap mengumumkan "Be...bensinnya
habis."
Si pria tambun semakin menegaskan ketamakannya, berusaha memeluk empat
jerigen penuh bensin, tapi apalah daya tangannya tak cukup panjang mendekap keempat
jerigen simbol kelobaannya siang itu. Ketakutan semakin terlukis jelas diraut
mukanya yang berminyak ketika sorot tajam mengandung kegeraman puluhan manusia
beringas kehausan bensin mengalihkan pandangan ke arah jerigen miliknya.
"Itu!!! penumpuk bensin, rampas,"
teriak makhluk-makhluk itu semakin ganas tak terkendali seraya berhamburan
menubruk keempat jerigen yang coba dikawal sepenuh jiwa oleh pemiliknya.
Makhluk-makhluk ganas itu tanpa ampun memuaskan nafsu amarahnya dengan
merampas paksa jerigen-jerigen itu, entah sadar atau pura-pura mabuk, tak
mempedulikan tubuh tambun itu terinjak-injak, tak tersisa rasa iba mendengar
pekik jerit menyayat hati pria tambun nan loba itu. Segera kemudian dengan
sorak sorai riuh rendah, guyuran-guyuran bensin tercurah ketangki-tangki bahan
bakar mereka yang menganga kehausan. Entah itu pantas disebut vandalisme,
anarkisme, atau apa pun sebutannya, telah terjadi disiang bolong itu.
Janu bergidik penuh kengerian melihat drama nyata penuh kegilaan tersaji didepan
kepala matanya. Setelah terpana terpaku sesaat, segera ia menyeret Old Rider menjauhi makhluk-makhluk penuh
angkara murka itu, enggan ketularan virus gila mendadak.
"Bang tolong isi dua liter," ujar Janu ketika menghampiri kios bensin
yang mangkal dibalik tembok SPBU.
"Dua puluh ribu," pria pemilik kios bensin itu berujar pendek dengan
pandangan acuh tak acuh, seperti tak butuh pembeli, seperti tak mau uang,
seperti enggan bertatap muka.
Tak ada perlawanan dari Janu atas nilai yang dipatok penjual bensin yang
licik culas dan mahir menangguk di air keruh itu, padahal dengan harga resmi ia
bisa mendapatkan empat liter bensin. Tanpa kerelaan diangsurkannya empat lembar
uang lima
ribuan hasil patungan rekan-rekannya kepada penjual congkak yang serta merta
menerkam sodorannya seperti kucing garong diumpani lauk busuk.
Alaaamak...ironis, sangat ironis malahan, minyak langka didaerah yang
katanya penghasil minyak bumi terbesar dinegeri ini. Keterlaluan, ternyata
jutaan barel minyak yang bersemayam dalam perut bumi didaerah ini seperti tak
berarti apa-apa, puluhan tahun dieksploitasi habis-habisan, jangankan
mengimbaskan kemakmuran seperti yang dinikmati negeri-negeri Arabian nun jauh
disana, mencukupi kebutuhan harian saja tak cukup. Itu baru soal cerita minyak
yang dikandung bumi. Ternyata, daerah ini juga dipenuhi ribuan hektar tumbuhan
pemasok bahan baku
utama jenis minyak lainnya, minyak goreng. Tapi tak ada daya, tetap saja jeritan
para ibu melengking mengeluhkan harga minyak goreng yang terkadang membumbung
tinggi. 'Dibawah minyak, diatas minyak’ hanya sebuah julukan tak bernilai yang
dialamatkan pada daerah ini, nonsens.
Itulah nyanyian batin Janu ketika berada diatas Old Rider melanjut perjalanan melelahkannya siang itu.
"Selamat siang, tolong tunjukkan kelengkapan surat-surat anda," ujar seorang
pria gagah berseragam penuh keramahan ketika menghentikan kelajuan Janu diatas Old Rider.
Perasaan kecut Janu seketika memudar
melihat gelagat bersahabat yang ditunjukkan sang pengabdi hukum, dengan
percaya diri Janu merogoh dompetnya, menarik benda yang dimintai si pria gagah
berseragam.
Si pria gagah berseragam terlihat gigih penuh ketelitian memeriksa
surat-surat yang ditunjukkan Janu, tapi tak menemukan setitik pelanggaran.
Kemudian matanya nanar mengedarkan pandangan kearah Old Rider, tiba-tiba ia berubah jadi begitu cerewet. "Kaca Spionnya
retak, warna cat di STNK jelas-jelas hitam tapi sudah diubah menjadi Abu-abu,
penutup pentil bannya mana?" Lihai sekali ia rupanya mengorek-ngorek kesalahan.
"Kaca spionnya memang retak, tapi masih bisa melirik yang dibelakang.
Maklumlah, motor tua, jadi warna hitamnya memudar jadi abu-abu. Penutup pentil
penting juga ya, pak?" ujar Janu polos.
"Maaf, terpaksa anda saya tilang, tapi damai ditempat juga boleh," ujar si
pria gagah berseragam memvonis seraya mengajukan tawaran tingkat rendah,
merendahkan diri dan institusinya kederajat menghinakan.
"Damai? Wah, ribuan terima kasih, pak," Janu begitu terkesan atas kebaikan
lawan bicaranya, tak sadar akan intaian pemangsa.
"Damai, yaaa pakai ini," lanjut si pria gagah berseragam kesal seraya
menempelkan jari telunjuk dan ibu jarinya. Melihat Janu pasang wajah bingung,
si pria gagah berseragam buru-buru memperjelas, DUIT," desisnya.
"Maaf beribu maaf, saya tidak punya duit pak, sudah tiga bulan belum
gajian,' ujar Janu memelas, coba memancing perasaan iba.
"Tidak ada duit, motornya saya tahan,'" ketus, tak ada lagi secuil
keramahan tersisa pada pria gagah berseragam itu.
"Terserahlah, pak," ujar Janu pendek pasrah pada nasib, matanya menengadah
kelangit mohon pertolonganNya. Segera ia berlalu...
"Eeeeh, mau kemana? Bawa sajalah motornya," ujar si pria gagah berseragam
kehilangan minat menahan motor tua nan butut itu. “Siapa sudi menyita besi tua
buduk karatan," pikirnya.
Kembali kalimat syukur menggumam dibibir Janu.
Perjalanannya hari itu berlanjut hingga ia membelokkan Old Rider kesebuah gedung yang acap
disebut kantor yang berfungsi sebagai pengayom korps para pahlawan tanpa tanda
jasa. "Akhirnya..." Ingin ia menghela nafas lega lagi, namun diurungkannya, "udaranya
masih tercemar," pikirnya.
"Pak Janu, seminggu yang lalu saya kan
sudah kasih tahu, gaji untuk guru honorer belum cair, nunggu anggaran daerah
diketok palu dulu," ujar pria yang mengurusi keuangan dikorps guru itu.
Janu melangkah lesu keluar kantor, sudah tiga bulan ia dan rekan
sejawatnya yang berstatus guru honorer daerah belum mendapat gaji. Membayang
dibenaknya wajah penuh harap rekan-rekannya ketika mengutus dirinya untuk
mempertanyakan sejumlah nilai sebagai balas jasa mereka. Tapi...ternyata harus
tunggu ketok palu dulu. "Ketok saja kepala kami sekalian dengan palu itu,"
batinnya penuh kekesalan menggumpal didada.
Janu masih merasa lebih beruntung
dengan status lajangnya, ia masih bisa nebeng orang tuanya yang sangat
pengertian itu. Tapi...terasa ingin berhamburan airmatanya mengingat
rekan-rekannya...
"Sudah beberapa bulan ini anakku tak minum susu, untung ia masih mau ku
seduhkan teh dengan sedikit gula,” ujar Bu Wati.
“Warung tempat aku biasa ngutang, tak mau lagi menambah bon hutangku," Pak
Arif menimpali.
"Aku masih bingung, harus pinjam uang kemana buat makan besok," sambung
Pak Edi.
Tak tahu harus menuding kemana, siapa yang harus disalahkan, siapa yang
harus bertanggung jawab...
"Hari yang berat," gumam Janu ketika sudah bertengger diatas Old Rider yang menjadi teman setianya
hari itu. Seperti memahami kegundahan Janu, Old
Rider merayap dengan tenang, pelan menyusuri jalan seolah-olah tak ingin
menambah kesusahan tuannya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar