Senin, 10 Januari 2011

True Friend (Obama feat SBY), Bagian 7 : It’s Nightmare Time, oleh Firman Al Karimi


Beberapa hari ke depan.
Mario menghentikan motornya di depan gerbang rumah Orik.
“Elo nggak mampir dulu, Yo,” kata Orik begitu turun dari motor.
“Nggak, deh. Gue langsung pulang aja. Laper banget!” jawab Mario sambil menggerung-gerungkan gas motornya.
“Ya, udah, makan di dalam aja,” kata Orik menawarkan.
Mario cuma meringis. “Makasih, Rik. Gue nggak enak keseringan makan di rumah lo.”
“Yah, payah lo. Pakai segan-segan segala lagi,” kata Orik sambil menowel kepala sohibnya yang mengenakan helm itu.
“Terserah apa kata lo. Gue cabut dulu, bro!” kata Mario dan langsung tancap gas.
“Hati-hati!” teriak Orik, lalu membuka gerbang pagar dan melangkah menuju pintu rumahnya.
Begitu masuk ke kamarnya, Orik langsung mengganti seragam sekolahnya yang rada bau keringat dengan pakaian sehari-harinya. Setelah itu ia merebahkan tubuh letihnya di atas ranjang, tidak mengindahkan rasa lapar yang menggelitiki lambungnya sedari tadi. Sejenak pandangannya menerawang ke langit-langit kamar. Ia tersenyum, puas, karena saat di sekolah tadi ia sudah tidak menjadi jubir Mario lagi sebab sejak kemarin sore setelah mengambil pesanan gigi palsunya di Babah Aseng, Mario sudah  resmi memakai gigi baru dan langsung mengakhiri aksi bisu yang dilakoninya selama beberapa hari terakhir.
Senyum Orik semakin lebar tapi kini diiringi dengan getar-getar aneh yang berkecamuk di dadanya. Ada apa lagi ya dengan Orik?
Tadi pagi saat di sekolah…
“Rik! Fa… Fa… cepet… lo liat,” dengan nafas yang tersengal-sengal Mario menghampiri Orik yang lagi duduk di kelas, asyik dengan buku bacaannya.
“Eh, lo kenapa sih, Yo. Pagi-pagi gini udah meracau. Lo kesambet jin penunggu toilet, ya?!” ujar Orik sambil menutup buku bacaannya. Ia heran melihat kelakuan sohibnya yang beberapa menit lalu bilang hendak ke toilet, eh begitu balik malah meracau nggak karuan.
Mario menarik sebuah kursi dan duduk di dekat Orik.
“Rik, Farah pakai jilbab,” bisik Mario begitu berhasil menenangkan diri.
Orik tertegun sejenak lalu mengernyitkan dahinya. “Emangnya kenapa kalo Farah pakai jilbab,” katanya kemudian.
“Cantik banget!” seru Mario tanpa memedulikan Beby dan Rani yang langsung menghentikan  rumpi penyambut pagi, dan melirik aneh ke arahnya. 
Orik tertawa renyah. “Kenapa? Lo naksir!”
“Sialan lo, Rik. Lo kira semudah itu gue berpaling hati. Di hati gue cuma ada Nindy seorang!” sentak Mario kesal.
Orik tertawa lagi. “Trus kenapa lo sampe ngos-ngosan gitu ngasih tau gue kalo Farah pakai jilbab. Sampai bilang Farah cantik, lagi.”
Mario tak menjawab. Ia malah menarik tangan Orik.
“Lo apa-apaan, sih! Main seret aja!” protes Orik.
Mario diam saja, terus menarik sohibnya itu hingga ke luar kelas.
“Tuh liat. Buka mata lo lebar-lebar!” kata Mario seraya mengarahkan kepala Orik ke arah kelas I 3 yang terletak persis di sebelah perpustakaan.
“Ih, ngapain lagi lo nyuruh gue pelototin Bu Santi! Lo kira gue tipe cowok oedipus compleks apa?!” kata Orik sewot ketika matanya menangkap Bu Santi, petugas perpustakaan yang sedang menata pot bunga di depan perpustakaan.
“Bukan yang itu, dodol! Putar dikit pala lo. Tuh, liat!” kata Mario sambil menggeser kepala Orik ke arah yang dimaksudnya.
Mata Orik membelalak. “Farah? I…tu Farah?” 
Mario mendengus. “Rasain, baru terperangah lo sekarang. Truuus, pelototin sampai siang.”
Orik masih terus menatap Farah yang lagi asyik bercengkerama dengan teman-temannya di depan kelasnya. Ia terlihat begitu anggun dengan tampilan busana barunya. Hari itu tidak seperti biasanya, Farah menutupi kepalanya dengan jilbab putih, mengenakan seragam baju lengan panjang, dan rok panjang. Bersahaja banget deh.
“Lo bener, Yo. Farah emang cantik banget. Ck, ck, ck… Bahkan lebih cantik dari kemaren-kemaren. Bener-bener cewek impian gue banget, deh,” kata Orik berdecak kagum. “Ternyata emang bener kata guru agama. Perhiasan wanita itu kalo dijaga dan pelihara sesuai dengan syariah maka aura keindahan akan semakin terpancar jelas dari dirinya, dan hanya orang beriman kayak gue yang bisa menangkap aura keindahan itu.”
“Huh, pakai nyombong lagi. Tapi cowok beriman apaan lo. Setau gue, mana ada orang beriman yang pelototin cewek kayak gitu. Nafsu banget, kayak kucing garong lagi ngincar ikan asin aja! Dosa, tau! ” Sentil Mario.
“Kok lo tau, Yo, kalo cowok itu nggak boleh ngeliat cewek dengan pandangan hawa nafsu,” kata Orik sambil menarik pandangannya dari Farah.
“Rik, gue emang seorang Kristiani sejati. Tapi lo kan tau, walaupun nggak diwajibkan sekolah, sejak SMP sampai hampir tamat SMU sekarang ini, gue nggak pernah keluar saat ada mata pelajaran agama Islam. Makanya gue tau kalo lo emang pengen jadi cowok beriman kayak yang lo bilang tadi, jangan pelototin cewek kayak gitu! Sorry fren, bukannya gue sok tau atau sok menggurui lo. Tapi gue cuma ngingatin lo aja,” terang Mario. “Jangan bengong, dunk! Ayo kita masuk. Udah hampir bel, nih…”
Orik bangkit dari pembaringannya. Ia duduk di sisi ranjang, memikirkan sobatnya. Ia sudah lima tahun bersahabat dengan Mario. Walaupun mereka berlainan agama, tapi mereka selalu saling mengingatkan satu sama lain, seperti yang dilakukan Mario saat di sekolah tadi. Mereka bergaul tanpa pernah saling membangga-banggakan kelebihan agamanya masing-masing. Sebab yang terpenting bagi mereka adalah hanya berusaha menjalankan ajaran agamanya masing-masing sebaik mungkin tanpa merasa perlu harus saling memengaruhi atau menonjol-nonjolkan keunggulan agama yang dianutnya. Apalagi saling mencela, jauh banget deh.
Orik kembali merebahkan tubuhnya di ranjang, memeluk bantal guling dan tersenyum lagi. Sesaat ia merasa nyaman dengan getaran-getaran aneh yang kian membelai hatinya dengan lembut. Farah cantik sekali dengan busana muslimahnya. Cinta gue jadi tambah mantap nih. Tapi, dengan tampilan barunya, Farah mau nggak ya jadi pacar gue. Soalnya cewek-cewek berjilbab biasanya kan nggak mau pacaran. Huh, ngapain lagi gue mikir yang kayak gitu, nyiut-nyiutin semangat gue aja. Perlahan sepasang matanya mulai menutup untuk melayani hasrat lelap yang menghampiri, dan bersiap berlayar dengan kapal yang penuh berisi impian-impian duniawi yang akan segera menjemput dan membawanya ke alam mimpi indah dambaan setiap makhluk penyuka cinta. Lho, kok malah nyastra seh.
☺☺

Mario membelokkan sepeda motornya memasuki halaman rumahnya, dan berhenti di depan garasi. Ia turun dari motornya dan berjalan santai menuju teras sambil bersiul-siul riang.
Ah, lega banget gue sekarang. Hari ini gue seakan hidup lagi setelah dua hari mengalami mati suri. Hmm, untunglah, kecuali Orik, nggak ada seorang pun teman gue di sekolah yang tau kalo gue pakai gigi palsu. batinnya sambil duduk di kursi dan melepas sepatunya. Huh, laper…
Tiba-tiba pintu depan terbuka, Opa berdiri diambang pintu dengan stelan hitam-hitam.
“Eh, Opa. Makasih Opa, udah bukain pintu. Tau aja cucu kesayangannya pulang,” katanya, lalu melanjutkan memperdengarkan siulannya.
Sejenak Opa terdiam lalu memberi kode dengan menempelkan jari telunjuknya di bibir. “Ssst, udahan dulu siulannya,” katanya kemudian.
“Kenapa Opa? Bunyinya jelek, ya? Jelek mana sama siulan burung gagak yang lagi patah hati. Hihihi…” canda Mario seraya menghentikan siulannya.
Sang Opa berdiri di samping cucunya. “Mario, nggak baik menunjukkan kegembiraan dalam suasana berkabung begini,” tukasnya pelan.
Berkabung apaan? Masa berkabung gue kan udah lewat. Barisan gigi gue udah lengkap lagi. heran Mario dalam hati.
“Yo, Pak Roy meninggal tadi siang,” lanjut Opa lirih dengan wajah muram dan terdiam untuk beberapa saat.
Mario langsung terperangah, terkejut sekali. Dalam ingatannya, Pak Roy yang seorang purnawirawan TNI itu adalah sosok pria bertubuh tegap dan selalu terlihat sehat walaupun usianya tidak terbilang muda lagi. Ia jelas terkejut mendengar kabar sedih itu dari Opa, sebab ia tidak pernah mendengar kalau Pak Roy sedang sakit, kok sekarang tiba-tiba sudah meninggal. Terbayang juga olehnya Pak Roy yang hidup sendiri di rumahnya, karena isterinya juga sudah meninggal sejak beberapa tahun lalu. Sedangkan anak tunggalnya, Bang Ucok yang juga seorang anggota TNI, saat ini sedang berdinas di Medan. Lalu pikiran Mario beralih ke anjing peking milik Pak Roy, si Robo yang sempat mengerjainya dan ia pun sempat membalas menjahili anjing itu, bahkan anjing itu pula yang membuatnya harus puasa ngomong saat di sekolah selama dua hari. Tapi anehnya, tiba-tiba rasa kesalnya terhadap anjing itu menguap entah kemana, malah berubah menjadi rasa iba yang mendalam. Wah, kasian si Robo, dia jadi sebatang kara sekarang.
“Opa nggak nyangka, Pak Roy yang selalu tampak gagah dan bersemangat itu akhirnya mendahului Opa,” gumaman Opa membuat Mario menghentikan pengembaraan pikirannya.
“Pak Roy sakit apa, Opa?” tanya Mario akhirnya.
Opa hanya menggeleng pelan dan menghembuskan nafas beratnya. “Pak Roy meninggal karena kecelakaan saat pulang dari mengambil uang pensiunannya.”
“Ohhh,” lagi-lagi Mario terperangah.
“Opa ke rumah Pak Roy dulu. Kamu jaga rumah, ya? Mamamu juga lagi di rumah Pak Roy sekarang. Moga-moga saja si Ucok sore ini sudah bisa datang dari Medan,” ujar Opa dan berjalan menuju gerbang, terus berbelok ke kanan jalan.
Mario semakin terhenyak di kursi. Niat menggebunya dalam perjalanan pulang sehabis mengantar Orik usai sekolah tadi, untuk langsung menyerbu meja makan sesampai di rumahnya menciut drastis. Ia terus duduk dalam diamnya. Sekarang, entah kenapa tiba-tiba ia jadi begitu perasa. Kasian Pak Roy, bahkan saat meninggal tak ada seorang pun sanak saudara di sisinya. Ntar, gimana nasib si Robo, ya? Apa dia akan di bawa oleh Bang Ucok ke Medan, atau malah di jual, atau… lebih parahnya lagi di biarin aja berkeliaran di jalanan kayak anjing buduk tak bertuan. Kasian, padahal kelihatannya Pak Roy begitu baik merawatnya, badannya kekar gitu, dan bulunya mengkilat lagi.
Mario menyudahi dramatisasi kepiluan batinnya dan masuk ke dalam rumah.
☺☺

Malam harinya saat berkumpul di ruang keluarga, Mario mendapat kabar dari Mamanya bahwa Bang Ucok dan beberapa orang kerabatnya sudah tiba dari Medan. Bang Ucok memutuskan akan membawa jenazah ayahnya ke kampung halamannya di Pematang Siantar, dan akan di makamkan di sana. Kata Mama juga, beruntung besok ada pesawat kargo TNI AU yang akan terbang ke Medan, dan Bang Ucok yang juga anggota Paskhas TNI AU, sudah mengurus soal perizinannya ke Lanud Simpang Tiga, Pekanbaru, untuk memberangkatkan jenazah ayahnya dengan menggunakan pesawat itu.
“Bagaimana dengan Robo, Ma?” tanya Mario.
“Robo?” kata Mama dengan mengernyitkan dahi.
“Itu Ma, anjing pekingnya almarhum Pak Roy,”Jelas Mario. “Apa Robo juga akan diangkut ke Medan dengan pesawat itu. Kalo bener begitu, Robo hebat dunk bisa naik pesawat. Pesawat militer, lagi. Saya aja seumur-umur belum pernah naik pesawat.”
“Kalo gitu abang ke laut dulu deh. Biar dianterin pakai pesawat ke kampung halaman Mama di Menado,” celetuk Elvi, adiknya dengan raut wajah tanpa dosa.
“Busyet, deh! Lo doain gue cepet koit, ya?!” sergah Mario jutek.
Sorry my bro, adekmu ini cuma becanda aja kok. Lagian katanya abang mo naik pesawat, makanya…”
“Makanya gue mesti is dead dulu, gitu!”
“Heh, sudah-sudah, kok malah berantem, sih!” lerai Mama.
“Lagi pula Robo juga belum tentu di bawa ke Medan oleh si Ucok. Mana sempat dia mikiran Robo dalam situasi ribet seperti sekarang,” kata Pak Pandiangan, Papanya menambahkan. 
Sang Opa yang lagi asyik dengan kepulan-kepulan asap rokoknya ikut menimpali. “Bagi si Ucok, sekarang yang terpenting adalah bagaimana supaya jenazah ayahnya itu sampai di kampung halamannya dengan selamat dan bisa dimakamkan dengan tenang di sana.”
“Jadi gimana dunk dengan nasib Robo,” Mario masih penasaran akan nasib si anjing peking itu.
Elvi nyeletuk lagi. “Heran deh, abang kok tiba-tiba jadi perhatian banget sih, sama Robo. Udah lupa ya, pernah diuber-uber sama tuh doggie sampai gigi pal…” gadis itu tak berminat menuntaskan kalimatnya begitu melihat delikan tajam Mama.
Bahkan Opa dan Papa yang semula tersenyum geli karena sedikit terpancing akibat teringat kisah sedih namun lucu itu, juga langsung menghapus nada kegelian itu dari wajah mereka demi melihat Mario yang seketika memamerkan wajahnya yang berkerut ala jeruk purut.
Sesaat suasana tenang tanpa suara. Tapi Mario tetap tak mampu menahan keinginannya untuk memperjuangkan nasib Robo setelah kehilangan tuannya. “Ma, kalo Robo nggak di bawa oleh Bang Ucok Ke Medan, gimana…kalo Robo kita aja yang melihara,” usulnya penuh harap sambil mengelus-ngelus sofa.
Opa langsung menghembuskan asap rokoknya dan melipat dahi. Sedangkan Mama dan Papa saling berpandangan.
Elvi? “Bang Mario apa-apaan sih, mendadak pengen melihara anjing. Aku nggak suka anjing, ntar si Pussy terancam lagi sama keberadaan tuh doggie,” gadis itu ternyata mencemaskan kucing kesayangannya yang pasti tidak akan pernah akur dengan si anjing sampai akhir zaman. “Mama, Papa dan Opa harus dukung El. Jangan bolehin Bang Mario melihara si Robo!”
Mendengar penolakan dan rengekan adiknya, Mario mendengus kesal. “Lo kok tega amat, sih! nggak kasian apa sama Robo. Sekarang dia kan jadi anjing yatim piatu. Sebatang kara!”
“Yeee, mana ada lagi anjing yang disebut yatim piatu. Emangnya manusia!” ledek Elvi sengit.
“Ok, cukup! Nggak ada berantem-beranteman lagi! Kok, kalian berdua pada ngeributin soal hewan peliharaan, sih,” kali ini Papa yang melerai. “Jenazah Pak Roy belum juga dimakamkan kalian sudah mempertengkarkan Robo, hewan kesayangannya. Nanti dia malah nggak tenang lagi di alam sana.”
Mendengar kalimat penutup Papa yang rada nyeremin, Mario dan Elvi kompakan menghentikan perang mulutnya karena seketika bayangan-bayangan horor malah beredar di benak mereka berdua.
“Ma, malam ini Mama bobok di kamar El aja, ya? El, kan udah lama nggak di kelonin Mama,” rengek Elvi tiba-tiba.
“Ih, kolokan banget sih lo. Nggak malu apa, udah hampir jadi mak-mak masih takut tidur sendirian, minta dikelonin lagi,” ledek Mario sambil mencibir.
Elvi meringis. “Emangnya abang berani apa malam ini tidur sendirian di kamar atas. Hiii… syereeem,” tantangnya sambil menakuti abangnya.
“Eh, malah nakut-nakutin gue lagi,” kata Mario segera. Busyet, kok bulu kuduk gue jadi merinding gini, ya? Dan otaknya berpikir cepat untuk merangkai kalimat penyelamatan dari tantangan adiknya. “Adek gue yang imut kayak semut item, bukannya abangmu ini takut tidur sendirian, tapi malam ini gue kan tidur di kamar Opa. Soalnya… itu… Gue heran, gue kok nggak pernah bosan ya, dengerin cerita Opa tentang pengalaman Opa pada masa perang revolusi dulu. En malam ini gue tiba-tiba pengen denger cerita itu lagi, biar lebih hafal sejarah. Iya kan, Opa?” Padahal gue udah hafal jalan cerita itu di dalam dan di luar kepala. Bahkan saking seringnya denger cerita Opa, gue malah sering ngingatin kalo Opa lupa nyeritain bagian-bagian tertentu. Hihihi…
“Yeee, bilang aja takut tidur sendiri! Nggak usah pake ngeles lageee…” hajar Elvi sambil cekikikan seru.
Opa, Papa dan Mama hanya tersenyum melihat kedua remaja yang saling adu ejek itu.
“Malam ini kalian berdua tidur di kamar masing-masing!” ujar Papa memutuskan. “Lagian udah pada gede masih takut aja tidur sendiri. Biasanya kan kalian juga tidur sendiri di kamar masing-masing.”
“Tapi malam ini nggak biasa, Pa. Ma, sekali malam ini aja…?” Elvi masih berusaha minta bantuan Mama.
Mama hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan, menolak menuruti rengekan puterinya.
“Opa?” Mario menoleh ke Opa yang masih asyik dengan hisapan rokoknya. Ia masih berharap Opa masih berminat untuk menambah rekor keseringan menceritakan kisah yang sama, dan sudah didengarnya ratusan kali sejak ia masih balita sampai sekarang.
“Mario, malam ini Opa mau langsung tidur, capek. Kapan-kapan saja, ya? Opa ceritain lagi, dijamin ceritanya bakal lebih seru dan menegangkan!” kata Opa sambil mempermainkan rokok di jarinya.
Opa, malam ini juga tiba-tiba jadi menegangkan. Opa gimana sih, nggak ngerti banget sama kengerian cucunya. Tapi gue belum mati akal. “Oh, Opa capek, ya? Biar aku pijit, ya?” Mario pantang menyerah rupanya, tak mempedulikan cibirin Elvi.
“Mario, terakhir kali kamu mijit Opa, badan Opa malah tambah pegal-pegal. Kamu itu nggak bisa mijit,” sentil Opa.
Mario menciut, asanya memudar, dan cibiran Elvi semakin nyebelin.
 “Ya, sudah. Mario dan Elvi malam ini tidur di kamar masing-masing. Nggak ada negosiasi lagi!” tegas Papa. “Lagian sudah pada gede masih penakut aja!”
Elvi merengut kesal. Huh, ngulangin kata-kata itu lagi. “Papa, sih, berani karena ditemenin Mama. Coba kalo tidur sendiri, berani nggak?” tembaknya sambil meluncur menuju kamarnya.
Mario yang merasa tembakan adiknya mengena tepat, segera ikut berlari ke tangga menuju lantai dua sambil menahan cekikikan dalam hatinya. Gila, nggak nyangka gue, ternyata Elvi ada bakat jadi snipper. Mana korbannya Papa, lagi. Eh, perwira polisi, lagi. Hihihi…
Tapi sang Papa malah tersenyum geli mendengar sentilan sewot anak gadisnya dan ekspresi geli yang ditunjukkan puteranya itu. Mama hanya geleng-geleng kepala sambil meraih majalah dari rak buku di sebelahnya. Sedangkan Opa sok cuek, asyik dengan mainannya eh rokoknya.
Setelah mematikan lampu kamarnya Mario beranjak naik ke tempat tidurnya. Ia mencoba memejamkan matanya, tapi berbagai visualisasi adegan film horor malah berlalu-lalang menghantui benaknya. Ingatannya juga memikirkan perkataan orang-orang yang sok tau mengenai rahasia alam gaib bahwa orang yang baru meninggal dunia, untuk beberapa saat arwahnya masih berada di sekitar rumahnya, bahkan sesekali akan melongok ke rumah-rumah tetangganya atau orang-orang yang pernah dikenalnya. Akibatnya ketakutan semakin menjalari Mario, padahal biasanya ia nggak penakut-penakut amat. Maka ia  terus saja merapal doa dengan begitu khusyuk dan penuh pengharapan, memohon perlindungan kepada Yang Maha Kuasa agar aman dari gangguan makhluk-makhluk usil penebar mimpi buruk. Tapi tetap saja sosok almarhum Pak Roy melintasi pikirannya… it’s nightmare time!  Are you ready? Hua, hua, hua….!
Kamfretz, deh. Mario memutuskan meringkuk di balik selimut tebalnya, padahal malam itu udara berhembus cukup panas. Beberapa saat ia masih mampu bertahan dalam guyuran keringat yang berlompatan tiada henti dari setiap pori-pori kulitnya. Udara pengap beraroma keringat di dalam selimut itu juga masih bisa dihirupnya walaupun terasa semakin menyesakkan dadanya.
Gue kasih tau lo semua, kalo pada pengen nurunin berat badan nggak usah pakai ngikutin aturan diet ketat segala. Cukup pakai cara gue ini. Gue jamin! Dengan cara ini berat badan lo bakal turun dua kilo perhari!
Tapi gue yakin lo semua nggak bakal sanggup ngikutin cara gue ini. Sumpret, gue aja lagi ngap-ngap nih ngitungin waktu detik demi detik. Huh,  panas banget! Syukur-syukur besok gue masih bisa liat matahari dan masih sempet ketemu Nindy.
Pliz, doain gue, dunk! Gue ngeperrr neh… Pagi kok lama banget datangnya, ya?
Tangan Mario merayap keluar selimut, sesaat ia sibuk meraba-raba sisi kanan kiri bantalnya, mencari sesuatu. Uh, lo kok ketularan ngeper juga sih!  Tangannya menarik HPnya yang ternyata ikut ngumpet di balik bantalnya. Hah, masih jam setengah sebelas. Masa  gue harus tujuh jam lagi berendam terus dalam bunker pengap bau kayak gini, bisa kering gue! gerutu batinnya ketika menghidupkan HPnya.  
Tiba-tiba. “Meonggg!!! Grrr!”
Busyet, kucing sialan. Bikin sport jantung gue aja.
Dua ekor kucing yang lagi bertarung di luar sana sama sekali tak peduli.
Menjerit lagi. “Meonggg!!!”
Dan juga menggerung. “Grrr!”
“Meonggg!!!”
“Grrr!”
Kurang ajar! Nggak tau apa baut jantung gue lagi kendur. Kucing siapa sih, nggak pernah diajar sopan santun kali sama pemiliknya. Kalo si Pussy nggak mungkin lagi keliaran di luar malam-malam gini, sekarang dia pasti lagi meringkuk nyaman di kaki Elvi.
Eh, Elvi lagi ngapain, ya? Ah, palingan dia juga lagi ngumpet di balik selimutnya, atau mungkin malah lagi ngumpet di balik kasur. Hihihi…
Tiba-tiba lagi. “Teeet, bom!!!”
“Kamfretz, HP sialan!” gerutunya sambil meraih HPnya dengan kesal, baru kali ini ia merasa kena getahnya memakai ring tone  ala ngebom yang sering di protes dan di katakan kampungan oleh Orik.
Ngapain Orik nelpon malam-malam gini. Nggak tau apa situasi lagi siaga satu. “Halo, nyet. Gangguin orang tidur aja lo!” sapanya sambil menguap malas, masih di balik selimut.
“Eh, mbek, kenapa lo. Lagi latian lagu seriosa, ya? Suara lo kok gemetaran gitu,” ledek Orik di seberang sana.
“Sialan lo, Rik. Gu…gue lagi takut banget neh!” alamak, gue keceplosan lagi.
“Takut? Baru tau gue kalo elo nggak berani tidur sendirian. Makanya, minta di temenin sama bokap, dunk! Biar takutnya ilang. Hihihi…”
“Ngetawain gue lagi. Ketawa lo kayak ketawa kuntilanak, tau!” Oh, my god. Mulut gue kok tegaan banget sih, pakai nyebutin kunti lagi, nggak ngerti apa kalo situasi lagi horor.
“Hoi, bro, masih hidup lo. Kok malah diam. Masih takut?”
“Eh, nggak, sebenarnya bukan kayak yang lo pikirin. Itu… Di luar rumah gue ada kucing lagi berantem, seru banget. Salah satunya kayak suara si Pussy, kucingnya Elvi. Nah, maksud gue tadi, gue takut kalo tuh kucing kenapa-napa. Kan kasian adek gue.” Ngeles-ngeles deh, gue.
“Setau gue, bukannya lo nggak suka kucing.”
“Ya, udah, terserah lo deh, mbek. Sekarang bilang cepet apa maksud lo ganggu tidur gue malam-malam gini.”
“Nyet-nyet, gitu aja marah. Ini, gue mau ngasih tau, tadi di warnet gue dapat e-book bagus, titelnya Vampire attack, udah gue download en gue simpan di laptop bokap. Gue udah baca dua bab. Kisahnya seru, horor abis! Gue sampai nahan nafas dan merinding saat ngebacanya. Apalagi saat si vampire berjubah hitam, berwajah pucat dengan dua taring tajam, nafas bau bangkai, trus sorot matanya yang merah menyala, lagi menempel di balik jendela, mengintai korbannya yang lagi meringkuk ketakutan di balik selimut. Wah, pokoknya ngaduk-ngaduk emosi banget! Kalo lo mau besok kopiannya gue bawa ke sekolah…”
Orrikks! Cuma karena mau ngasih kabar buruk murahan kayak gitu lo nelpon gue malam-malam gini. Elo mau mutusin tali jantung gue, ya?! Klik. Tanpa kata penutup, dengan geram Mario memutuskan pembicaraan dan langsung mematikan HPnya, lalu meringkuk lagi di balik selimut tebalnya.
“Ngiiik!” Tiba-tiba pintu kamarnya berderit. Didorong rasa penasaran bercampur takut, dengan tangan gemetaran Mario memberanikan diri menyibak ujung selimutnya, dan dalam suasana temaram, sesosok kepala tampak menyembul dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
Pak Roy, plizz. Jangan ganggu gue. Gue janji, kalo ntar Robo nggak ada yang ngerawat, biar gue yang akan meliharanya, gue akan merawatnya sebaik mungkin. Tapi tolong jangan ganggu gue. Plizzz… Mario merintih dalam hati, dan ia seakan mulai kehilangan akal sehatnya.
Akhirnya ia bertindak nekat ketika sesosok makhluk berjubah hitam sudah berdiri utuh di depan ranjangnya, tanpa pikir panjang lagi dengan tubuh masih di selubungi selimut ia melompat dari ranjang, tak memedulikan jeritan histeris sosok berjubah hitam yang  kelihatannya juga shock karena tiba-tiba ada makhluk berselubung yang melompat dari ranjang dan hampir menubruknya.
Mario terus menghambur keluar kamarnya. Kaki-kakinya bergerak cepat menuruni tangga ke lantai bawah dan langsung ngibrit menuju kamar Opa. Sedangkan sosok berjubah hitam yang juga ikut menghambur keluar kamar, ngacir ke arah kamar Mama dan Papa. Lho, kok?
 ☺☺

Bersambung Ke Bagian 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar