“Sudahlah Put, ini cuma soal waktu dan komunikasi. Saya yakin Akiko bakal kembali lagi kesini. Bali adalah hidupnya. Tidak mungkin ia meninggalkan butik dan galeri seninya begitu saja, bertahun-tahun ia merintisnya. Saya pikir ia ke Osaka hanya untuk memulihkan kondisi emosionalnya,” kata Raka mencoba menghiburku. Harus kuakui, di palung hatiku yang paling dalam, Akiko adalah sosok wanita yang spesial yang pernah singgah di hatiku. Usianya memang terpaut enam tahun lebih tua dari aku, tapi harus aku akui lagi, wajahnya imut, manis, cantik dan tak pernah mebuat aku jenuh menikmati memandangnya. Tutur katanya lembut…
“Give me one piece of baked lamb chob, please,” pinta seorang wanita cantik berwajah oriental sambil menyodorkan sebuah piring kecil kepadaku yang sedang asyik membolak-balik potongan-potongan daging kambing di atas tungku bakar.
“Ok, wait just a moment…, this one your request,” jawabku seraya mengambil sepotong lamb chop dan meletakkannya di piring pemesannya. “Do you want to try my sour sauce,” sambungku mengembangkan senyum mencoba bersikap lebih ramah.
“Ok, thank you very much, you are so kindly,” ucap wanita itu dengan senyum penuh arti begitu mendapat pesanannya dan berlalu dari hadapanku.
“Nah begitu seharusnya melayani tamu, berilah seyuman terbaik yang kamu punya sampai gigimu mengering,” sebuah suara pria dari samping kiriku yang terlihat asyik menata aneka hidangan pastanya.
"Ok lah bli Yasa," sahutku. Akhir-akhir ini sepertinya tamu yang datang ke Hotel ini kebanyakan wisatawan Jepang ya bli,” sambungku lagi.
“Ya begitulah. Katanya sekarang di Jepang lagi musim dingin, jadi mereka yang berduit biasanya banyak yang berwisata kesini.” ujar pria berperawakan subur itu masih sibuk dengan tataannya…
“ Putra, halo… aku pulang dulu.”
“Ups sorry, ada apa Raka,” aku tersentak dari lamunan ketika melihat Raka menggerak-gerakkan tangannya didepan wajahku.
“Aku pulang dulu, sudah hampir jam satu nih. Aku masuk shift jam dua siang ini. Kamu masuk jam berapa?” Raka bangkit dari duduknya seraya meraih helm yang tergeletak dilantai teras itu.
“Hari ini aku day off,” jawabku pendek.
“Sudahlah Put, jangan terlalu dipikirkan masalah tadi, take it easy man. Ok, aku pulang dulu ya?” ucap Raka seraya menaiki sepeda motornya, segera melaju dan hilang dari pandanganku yang masih tetap duduk termangu, melayangkan angan…
“Sorry my english is not too fluent, just to make my self understood,” ujarku.
“Kalau gitu kita bicara pakai bahasa Indonesia aja,” ucap Akiko spontan membuatku terkejut.
“Akiko, kamu bisa berbahasa Indonesia ? Bahkan ucapanmu tadi…Indonesia banget,” heranku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan.
“Aku lahir dan besar disini. Setamat sekolah menengah aku memang sempat kuliah dijepang dan tinggal sama kakek disana. Daddy aku memang orang jepang tapi mama aku asli orang Bali , tepatnya di Ubud,” terang Akiko.
“Oo…gitu ya,” ujarku manggut-manggut mendengar penjelasan Akiko.
“Kamu belum tau kan nama lengkap saya,” ujar Akiko. sambil menampakkan senyum manisnya. "Nama lengkap saya Putu Akiko Maharani. Nama lengkap kamu siapa?"
“Putra, ya…hanya itulah nama yang diberikan oleh orang tua saya,” jawabku sedikit rikuh.
"Maaf, Putra Asli orang Bali ?" Tanya Akiko lagi.
“Oh tidak, saya baru satu setengah tahun tinggal dis ini. Kampung halamanku jauh di Riau sana ,” jelasku.
“Tapi kok bisa Putra merantau jauh sampai ke sini?”
“Aku pengen belajar hidup mandiri, tidak bergantung sama orang tua.”
“Sudah lama kerja di hotel ini?”
“Baru, hampir tiga bulan. Selesai kuliah aja baru lima bulan yang lalu.”
“Putra pasti jago banget ya masaknya, kan nggak gampang bisa jadi koki di Hotel berbintang lima .”
“Aku masih Apprentice kok, buat bantu-bantu koki seniorlah.”
“Tapi lama-lama kan bisa juga jadi koki senior bahkan jadi Chef.”
“Mudah-mudahan, aku harap juga begitu. Kamu lagi sibuk apa sekarang?” kataku ganti balik melempar tanya.
“Coba-coba buka usaha butik dan galeri seni, sudah hampir dua tahun terakhir ini sih. Kalau Putra lagi free main aja kesana, dekat kok dari sini,” Akiko mengakhirkan kalimatnya dengan sebuah senyuman, manis sekali…
Suara deringan ponsel yang menggeletak dilantai itu memecahkan dinding lamunanku, dengan sedikit malas aku meraihnya lalu menempelkan ketelinga…
“Ada apa Triana?” tak ada kandungan gairah dalam sapaanku itu.
“Putra, kok nggak bilang kalau kamu day off hari ini,” ada nada rajukan terdengar ditelingaku.
“He, ehhh,” hanya itu yang keluar dari mulutku.
“Putra, kamu sakit ya? nggak semangat banget kedengarannya.”
“Yaaah…sakit hati, sakit otak, sakit…”
Tapi malah pecahan tawa yang terdengar dari seberang sana , tawa yang tak terdengar menarik, padahal biasanya aku selalu menikmati kegaringan tawa milik rekan kerjaku itu.
“Put, ke Sanur yuk. Biar hilang sakit hati, sakit otak dan…sakit apa aja deh,” untuk kesekian kalinya sederet kalimat itu hanya menambah kegundahan hatiku.
“Maaf, Triana. Aku lagi pengen dirumah aja, istirahat, ngumpulin tenaga. Besok aku masuk jam empat pagi, nyiapin buffet untuk breakfast di beach, seribu lima ratus pax.” Akhirnya berhasil juga aku menemukan alasan yang tepat untuk mengakhiri pembicaraan.
***
Pagi itu aku tenggelam dalam kesibukan melayani tamu-tamu yang cukup ramai mengantri didepanku. Tanganku seperti tak kenal lelah menggoyangkan frying pan, memasakkan omlet dan scrambled egg. Sesekali terdengar tepukan tangan bercampur teriakan-teriakan tertahan dari tamu-tamu yang didominasi wajah-wajah bule dan oriental yang sedang kelaparan pagi itu. Aku memang berusaha menghilangkan kejenuhan mereka mengantri dengan melakukan sedikit gerakan-gerakan akrobatik, melambung-lambungkan benda-benda racikanku diatas frying pan.
“Jam sepuluh,” gumamku ketika melirik jam bermerek Rolex yang melingkar dipergelangan tangan tamu terakhirku pagi itu. Akhirnya bisa juga aku mengirup nafas lega, sedikit melemaskan otot-otot tubuh yang aku paksa bergerak sejak jam empat sebelum subuh tadi. Keinginan yang kuat untuk merintis kesuksesan diperantauan membuatku sangat menikmati profesiku, walaupun terkadang terasa melelahkan.
Masih teringat jelas dibenakku saat Bunda melepas keberangkatanku keBali, sederet pesan dan nasehat serta harapan dilontarkan wanita yang paling kusayangi dan kuhormati diseluruh muka bumi itu.
“Putra, pandai-pandailah membawa diri. Jangan tinggalkan sholat. Jangan lakukan hal-hal yang melanggar ketentuan agama. Kamu anak Bunda tertua, kebanggaan Bunda, tapi Bunda tidak akan membebanimu agar sukses diperantauan. Harapan Bunda, semoga kamu berhasil mencapai kemandirian yang kau inginkan. Raihlah kesuksesan untuk dirimu sendiri terlebih dahulu, jangan khawatirkan kami disini. Insya Allah Bunda masih bisa membiayai adik-adikmu,” tak ada tetesan airmata dari wanita religius nan tegar itu, wanita yang terbiasa menanggung beban hidup, berjuang ditengah pahit getir membesarkan anak-anaknya seorang diri.
Bunda, kepatuhanku amat sangat kepadanya, sayangku amat sangat kepadanya, hanya cintaku pada zat yang Maha Agung yang bisa melebihi cintaku padanya. Keinginanku sangat kuat untuk berbakti kepada Bunda, melihatnya tersenyum bahagia melihat kesuksesanku. Aku ingin sekali meringankan beban Bunda, membantunya membiayai sekolah adik-adikku.
Akiko wanita yang baik, cantik, mapan dan mau menerimaku apa adanya. Tapi mengapa terlalu cepat ia membawaku kedalam ikatan suci. Aku belum siap. Baktiku belum lunas terhadap Bunda…
“Maaf Akiko, aku…, saat ini aku belum bisa memenuhi ajakanmu untuk menikah. Cukup sulit memang untuk menjelaskan alasanku. Semuanya…mungkin cuma soal prinsip belaka,” ujarku saat itu dengan agak terbata-bata.
“Tapi kenapa Putra? Apa karena keyakinanku tak tidak jelas? Apa karena gaya hidupku? Atau karena aku bermata sipit? Atau mungkin karena Triana? Tolong beri aku penjelasan…, penjelasan Putra,” Sederet kata-kata meluncur dari bibir mungil Akiko.
“Bukan semua itu Akiko. Saya…cuma sangat terkejut, tidak menduga sama kali kamu mengajak saya untuk menikah secepat ini. Banyak hal yang membuat aku tidak siap untuk menikah saat ini Akiko, terlalu sulit untuk dijelaskan,” Jawabku. Ingin sekali lidah ini melontarkan sederet kalimat untuk memberikan penjelasan yang bisa memuaskan wanita dihadapanku itu, tapi tetap saja tak mampu.
“Putra, Selama ini aku selalu bisa terima kamu apa adanya. Aku tidak pernah mempersoalkan profesi kamu, aku juga tidak mempermasalahkan soal ekonomi. Aku hanya ingin hubungan kita diresmikan dan diakui dalam satu ikatan suci. Setelah itu kita bisa mengelola butik dan galeri ini bersama untuk masa depan kita, hanya itu yang aku inginkan Putra,” ujar Akiko, kali ini awan mendung tampak menggelayut dimatanya, siap menumpahkan hujannya.
“Maaf Akiko, sangat sulit sekali untuk menjelaskan semuanya. Aku…tetap tidak bisa menikah saat ini denganmu, maaf,” jawabanku tetap menggantung. Masih tak mampu menjelaskan alasan-alasan yang sesungguhnya.
“Baik, Putra. Sekarang aku tahu, kamu tidak pernah sungguh-sungguh mencintaiku. Mungkin kita memang tidak berjodoh. Walaupun sampai saat ini aku tidak pernah mengerti alasan kamu menolak ajakanku untuk menikah. Ok, sebaiknya kita lupakan saja semua hal yang pernah kita alami bersama. Aku akan berangkat ke Osaka malam ini. Senang pernah bisa mengenalmu, senang pernah menyayangimu dan akan tetap menyayangimu. Kamu tetap sosok yang terbaik bagiku,” akhirnya awan mendung dimata Akiko tak kuasa lagi menahan butiran-butiran bening berguguran dipipi halusnya…
“Put, ngelamun ya? ayo, kita harus cepat-cepat clean up, sudah hampir jam sebelas, wake up man!”
“Oh, iya bli Yasa. Ayo…” segera aku bangkit menyusul bli Yasa, membantunya berkemas-kemas.
***
Tanganku merayap-rayap mencoba menggapai sesuatu, hingga akhirnya menemukan benda berdering yang aku cari di balik bantal yang ditindih kepalaku.
“Putra, aku sayang kamu,” kalimat pendek itu yang tampak di layar ponselku.
“Akiko?” gumamku ketika tahu Akiko yang mengirim pesan singkat itu. Tapi rasa kantuk yang memberati kepalaku membuat kalimat yang biasa membuat hatiku berbunga-bunga itu tak berarti apa-apa, aku tak ambil peduli, kembali melanjutkan hasrat tidur yang sempat tertunda. Hingga keesokan harinya, suara gedoran-gedoran di pintu kamarku yang mengguncang bagai gempa bumi itu memaksaku bangkit dari pembaringan, membuka pintu.
“Putra! Akiko…” sepertinya Raka tak mampu melanjutkan kalimat yang sudah ada di ujung bibirnya. Mulutnya terbuka, nafasnya turun naik tak beraturan.
“Ada apa Raka? Belum subuh nih, ganggu orang tidur aja,” semprotku kesal.
“Akiko kecelakaan! Di Ubud,” begitu cepat kalimat itu terlontar dari mulut Raka, kalimat yang spontan membuat kesadaranku pulih sepenuhnya.
Malam itu Akiko baru kembali dari Osaka , dari bandara Ngurah Rai ia langsung ke Ubud, menemui mamanya. Tapi jalanan naik turun, curam nan terjal yang mendominasi jalanan di Ubud telah mencelakainya, taksi yang ditumpanginya terperosok ke jurang. Akiko ku telah berlalu, membawa segenggam sayang untukku, rasa sayang yang ingin ia wujudkan dalam suatu ikatan suci. Selamat jalan Akiko, rasa sayangmu tetap menebar semerbak Sakura di hatiku. Sakura itu tak kan kemana-mana. Sakura itu tertinggal di Bali.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar