Senin, 03 Januari 2011

GADIS BERPAYUNG HITAM Oleh Firman Al Karimi


 DIONG.
Tak tampak rintik hujan yang turun dari langit. Matahari pun bersinar ramah. Gadis berpayung hitam itu lewat lagi di depan rumahku. Seperti biasa ia berjalan dengan langkah-langkah kecil namun cepat menuju warung di ujung jalan. Wajahnya agak menunduk. Rambutnya tertutup kerudung putih yang menjuntai hingga menutupi kedua sisi wajahnya.  Hanya puncak hidungnya yang mancung mungil yang bisa kulihat. Dari ujung lengan panjang bajunya menyembul kedua pergelangan tangannya yang putih pucat. Tangan kirinya menggenggam erat kedua ujung kerudung di bawah dagunya dan tangan kanannya memegang gagang payung.
Aku masih berdiri di balik gorden yang kusingkap di ruang depan, menatap jalan kecil di depan rumah. Menanti gadis berpayung hitam itu kembali dari warung. Debaran jantungku mengencang. Gadis berpayung hitam itu lewat di lagi depan rumahku. Kali ini tangan di bawah dagunya menggenggam ujung kerudung dan sebuah tas kresek plastik sekaligus. Masih memburu langkah. Mataku dengan cepat mengekori langkahnya sampai ia memasuki halaman rumah bercat hijau lumut yang berada di sebelah kanan rumah Pak RT yang berada tepat di depan rumahku. Gadis itu lenyap bersama payung hitamnya di balik pintu rumahnya yang segera tertutup rapat.
Aku membuka pintu depan. Keluar, menutup dan mengunci pintu lalu memanaskan mesin sepeda motor. Aku tercenung sejenak di atas sepeda motorku, membiarkan bayangan gadis berpayung hitam itu berlalu lalang di benakku. Ya, gadis berpayung hitam itu selalu lewat di depan rumahku tepat pukul setengah delapan pagi, sebelum aku berangkat ke kantor. Kulirik jam tanganku, pukul delapan kurang lima belas menit. Aku harus segera ke kantor. Perlahan sepeda motorku bergerak keluar halaman, dan berhenti di gerbang. Aku melirik ke kanan jalan untuk memastikan tidak kendaraan yang melaju dari arah sana. Aman.  Sepeda motorku bergerak lagi, berbelok ke kiri. Jantungku berdetak aneh, sedikit pandanganku yang tertinggal di sebelah kanan menangkap sosok gadis itu sedang berdiri di balik gorden jendela rumahnya. Sepertinya dia memperhatikanku.  

MELATI.
Dia masih gagah seperti dulu. Dia masih suka mengenakan sweater merah itu. Dia masih menggandrungi klub berjuluk setan merah itu rupanya. Oh, desiran kerinduan itu kembali membelai hatiku. Aku tersenyum.
“Sayang, kenapa berdiri di situ. Pesanan ibu sudah kamu beli?” Ah, sapaan lembut ibu, sungguh mengakrabi telingaku, dan selalu menguatkan hatiku untuk memaksa kedua kaki dan badanku yang lemah untuk keluar rumah setiap pagi.
Aku membalikkan badan. “Ini bu belanjaannya,” ujarku pelan, tersenyum menyambut tatapan lembut mata ibu, seraya mengangsurkan tas kresek hitam di tangan kananku kepadanya.
Aku membungkuk hendak mengambil payung hitamku yang masih terkembang. Tadi kugeletakkan begitu saja di depan pintu. Setelah meraih payung itu aku berdiri. Namun tiba-tiba, oh, pandangan mataku berkunang-kunang, bahu dan lututku melemas. Kuhempaskan tubuh lemahku di atas sofa.
“Sayang, apa ibu bilang. Lain kali biar ibu saja yang belanja ke warung. Kamu jangan memaksakan diri,” tutur ibu lembut.
“Aku baik-baik saja bu. Cuma agak sedikit lemas.” Aku mencoba berdiri.
            Ibu segera meraihku dan menuntunku dengan lembut menuju kamar. Lalu membantuku membaringkan diri di atas ranjang.
            “Sayang, kamu istirahat saja, ya? Tuh, obat dan air minum sudah ibu taruh di atas meja. Jangan lupa di minum sepuluh menit lagi,” pesan ibu dan berlalu.
Mataku menatap langit-langit kamar. Ah, ada bayangan Diong di sana. Kualihkan pandanganku ke sebelah kanan bantalku. Kuraih buku bersampul biru muda dengan judul Buku Kenangan Alumni yang sudah kubaca berulang-ulang tanpa rasa bosan selama empat tahun terakhir. Langsung kubuka halaman dua belas. Ya, cuma halaman dua belas itu yang menarik minatku.
No. 16.   Nama               : Kulle Diong. Hmm, nama yang lucu. Aku tergelak.
               Alamat             : Jl. Sungai kampar, Bangkinang. No Comment.
               No Telepon      : 181365383542.
Sejak empat tahun yang lalu ingin sekali kukirim sms atau menelepon ke nomor ini untuk menanyakan kabarnya. Tapi aku tak pernah kuasa melakukannya.
Kutatap foto berwarna berukuran 4 x 6 itu. Rambut cepak ala Jet Lee. Alis tebal dengan sepasang mata elang di bawahnya. Hidungnya lumayan, tidak bisa dikatakan pesek, tapi juga tidak mancung. Bibirnya…
“Sayang, obatnya kok belum di minum,” Ah, teguran lembut ibu lagi. Kututup buku itu dan menjatuhkannya di samping kananku.
Aku duduk di tepi ranjang. Meminum obat yang sudah disiapkan ibu di meja di sisi ranjang.         
Ibu tersenyum. “Satu jam lagi kamu sarapan, ya?” lalu keluar kamar lagi.
Kembali kuraih buku itu. Membuka halaman dua belas lagi.
No. 17.   Nama               : Melati Melati. Namaku juga lucu. Kupikir, mana ada nama orang yang bernama Melati kuadrat seperti namaku. Ayah dan ibu memang pintar menamaiku. Aku suka itu.
               Alamat             : Jl. Melati, Bangkinang. No comment
               No telepon… Ah, tak perlu kubaca.
Kupindahkan pandangan ke fotoku yang persis berada di bawah biodata Diong. Oh, desiran aneh itu lagi. Aku suka sekali biodataku berdekatan dengan biodata Diong. Aku senang.
Empat tahun yang lalu aku selalu bersemangat menyaksikannya berlaga di lapangan basket. Dia berlari meliuk-liuk gagah sambil men-dribel  bola seraya mengecoh lawan. Lalu saat tembakan jitunya itu melesak masuk ke jaring keranjang tim lawan, aku ikut bersorak senang. Saat ia menoleh kepadaku, bisa kutebak wajahku pasti bersemu merah. Tapi aku juga sering mendesah cemas ketika ia terjatuh saat dilanggar pemain lawan. Ingin kuusap lembut dan kubalut luka kecil di lututnya. Tapi semua itu hanya keinginan yang kupendam dalam-dalam di hatiku. Jangankan melakukan itu, mendekatinya pun aku tak mampu.

DIONG.
Kurebahkan tubuh lelahku di atas kasur yang menggeletak di sudut kamar. Hari ini aku lembur lagi hingga jam sembilan malam. Kubiarkan urat-urat penatku berileksasi sejenak. Huahhh, aku menguap sambil merentangkan kedua tanganku. Tangan kananku yang terentang terasa menyentuh sesuatu. Oh, buku itu. Kuraih buku bersampul biru muda itu. Membuka halaman dua belas. Hmm, nama yang indah. Alamat rumahnya juga indah. Nomor telepon itu. Dulu, mengapa aku tidak pernah mampu mengirimkan sms yang sudah kuketik dengan jemariku. Jempol tanganku juga tak kuasa menekan tombol yes untuk menghubungi nomor itu.
Kutatap fotonya. Cantik. Cantik. Cantik.
Kubiarkan buku yang terbuka itu menelungkup di dadaku.
Empat tahun yang lalu. Melati. Gadis itu pintar. Bintang kelas. Selalu mendapat juara kelas, dan pandai menari. Bahasa tubuhnya selalu menampakkan keriangan. Dan sepasang matanya itu. Selalu berbinar indah. Ia suka sekali menyibak rambutnya tatkala angin berhembus nakal dan membuat rambutnya yang sehalus sutera tergerai menutup sebelah matanya. Dan keindahan ciptaan Yang Maha Kuasa itu hanya mampu kunikmati dari jauh, di pojok kelasku.
Aku bangkit dari rebahanku. Entah kenapa tiba-tiba keinginan yang sudah lama terpenjara itu akhirnya terlepas juga. Hatiku  menguat. Tanganku bergerak meraih handphone di atas meja. Kemudian jemariku mengetik lincah menuliskan kata-kata yang indah. Dan tak dapat kupercaya, ibu jariku pun dengan hebat mampu menekan tombol yes. Sms dikirim ke nomor Melati. Semenit. Lima menit. Dan akhirnya setelah menunggu hampir lima belas menit, balasan itu tak kunjung datang.
Akhirnya dorongan hatiku berhasil memaksaku menelepon Melati. Tapi setelah menunggu beberapa saat hanya terdengar, “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau sedang berada diluar jangkauan. Cobalah…”
Aku mendesah kecewa. Sudah empat tahun. Mungkin saja Melati sudah tidak memakai nomor itu lagi. Melati, di mana kau kini berada. Hatiku mulai gelisah dan kerinduan itu seketika membuncah.  
Keesokan paginya tepat pukul jam setengah delapan, aku kembali berdiri di balik gorden ruang depan. Tapi gadis berpayung hitam itu tak kunjung melintas di depan rumahku. Aku gelisah menunggu pemandangan yang sudah sejak seminggu terakhir ini selalu kusaksikan. Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Tak sabar menunggu, kuputuskan keluar rumah dan memanaskan mesin sepeda  motor sambil berharap semoga gadis berpayung hitam itu akan muncul. Jam delapan kurang sepuluh menit, aku tidak punya waktu lagi. Dengan kecewa aku menjalankan sepeda motorku keluar halaman, dan sekilas melirik ke rumah bercat hijau lumut itu. Aku kecewa lagi. Tak tampak sosok gadis itu  di balik gorden jendela. Aku terus berangkat ke kantor.
Tidak seperti biasanya, saat di kantor pikiranku kacau sekali. Pekerjaanku terbengkalai. Jantungku berdegup lebih kencang. Desiran-desiran aneh itu selalu membelaiku. Kelebatan-kelebatan bayangan wajah Melati tak mau meninggalkan benakku. Tiba-tiba aku begitu merindukan gadis itu. Sangat.
Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku bergegas minta izin kepada bos. Dan untungnya beliau mengizinkanku pulang setelah melihat wajah pucatku. Kularikan sepeda motorku. Tak kupedulikan makian pengendara lain yang kesal karena ulahku menyelip-nyelip lincah menyibak keramaian jalan raya. Aku sudah tidak sabar lagi untuk sampai di rumah. Aku ingin segera mengambil buku bersampul biru muda itu. Membuka halaman dua belas dan menatap foto Melati untuk melepas dahaga rinduku yang sudah terpendam sejak lama.
Dari jalan utama, kubelokkan sepeda motorku ke gang Inti Sari. Kelegaan memenuhi rongga dadaku begitu melihat rumahku. Tapi begitu hendak berbelok masuk ke halaman rumahku, kulihat di halaman rumah bercat hijau lumut di sebelah kanan rumah Pak RT itu berkerumun banyak orang. Ada bendera putih tertancap di depan pagar rumah itu. Debaran jantungku semakin mengencang. Entah kenapa, semangat menggebuku untuk masuk ke rumah hilang seketika.
Kuparkirkan sepeda motorku di depan rumah dan bergegas menuju rumah bercat hijau lumut itu. Menyapa Pak RT.
“Maaf, Pak RT. Siapa yang meninggal?” bisikku pelan.
“Melati,” Jawab Pak RT pendek, matanya berkaca-kaca.
Aku tercekat. Perutku serasa di aduk-aduk. Dadaku menyesak. Kepalaku memberat. Tapi mengapa?
“Kasihan gadis itu. Usianya baru dua puluh dua tahun. Sepanjang hidupnya tak pernah menyusahkan orang. Ia keponakanku yang baik. Baiiik…sekali. Kenapa leukemia itu tega menggerogotinya. Tapi, ini semua tentu kehendak Yang Maha Kuasa, Yang menghidupkan dan mematikan.” Pak RT mulai terisak lalu merogoh saku di baju kokonya. “Diong, Melati menitipkan ini untukmu.”
Kuambil sepucuk surat beramplop merah jambu yang diulurkan oleh Pak RT. Melati? Oh, apa-apaan ini. Aku semakin tidak mengerti dengan suasana aneh yang tiba-tiba membungkusku.
Kutarik secarik kertas beraroma melati dari dalam amplop.
Assalammu’alaikum, Diong.
Aku senang sekali begitu melihatmu menempati rumah itu seminggu yang lalu. Aku tidak menyangka kita akan berdekatan lagi seperti dulu, seperti empat yang tahun lalu saat kita masih satu kelas. Berkali-kali, ingin kukunjungi kau dan menanyakan kabarmu. Tapi, sama seperti empat tahun lalu. Aku tidak pernah bisa menemuimu. Bahkan kau pasti tau. Sejak dulu, aku juga tak pernah bisa menyapamu barang sepatah kata walau kau sedang berdiri di dekatku sekalipun. Dan sekarang, saat aku lewat di depan rumahmu aku terpaksa memakai payung dan mengepit erat wajahku dengan kerudung untuk menyamarkan diriku.
Oh ya, Diong. Sekarang kau pasti sudah menjadi sarjana ya, dan sudah bekerja. Setiap pagi mataku selalu mengantarmu saat kau berangkat ke kantor walau hanya dari balik gorden jendela rumahku. Kulihat kau masih suka mengenakan sweater merah itu. Aku juga masih suka melihatmu memakainya.
Diong, setelah lulus SMU di Bangkinang, aku dan keluargaku pindah ke Pekanbaru, di gang Inti Sari ini…
Maaf, Diong. Sebenarnya aku ingin bercerita tentang banyak hal. Tapi…oh, kepalaku pusing lagi, dan  tubuhku tiba-tiba melemah.
Diong, aku sayang kamu. Dari dulu Diong. Tapi perasaan itu hanya kupendam di ruang spesial untukmu di dalam hatiku.
Wassalam,
 Melati Melati
Tubuhku bergetar. Dan kubiarkan bulir-bulir bening itu mengalir deras dari kedua sudut mataku. Melati, mengapa tidak sejak dulu kauungkapkan semuanya. Oh, aku juga terlalu bodoh dan pengecut!
Melatiku sayang. Selamat jalan. Semoga kau mendapatkan tempat yang baik di sisiNya.
Dan, tak kan pernah kulihat lagi gadis berpayung hitam itu.***

Bangkinang, 8 Februari 2009. 23.27 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar