Selasa, 04 Januari 2011

Romeo Don't Cry, Bagian 3 : Aroma Pertarungan, oleh Firman Al Karimi


Pagi itu seperti biasa Romeo berangkat ke kampus. Naik angkot menyusuri jalanan kota Pekanbaru yang mulai dipadati kendaraan yang berlalu-lalang, menandai dimulainya berbagai macam aktivitas hari itu. Kota yang hampir di sepanjang sisi jalannya berderet ruko-ruko ciri khas kota Pekanbaru, sehingga julukan “Kota seribu ruko” terasa terdengar tidak aneh lagi jika dialamatkan pada Ibu Kota Provinsi Riau itu.
 Ciri khas lainnya, tidak menyenangkan memang, dan senantiasa membuat geram semua orang yang tinggal di kota itu, termasuk Romeo, karena hampir setiap tahun kota ini selalu menjadi langganan persinggahan asap yang konon katanya berasal dari hutan-hutan yang terbakar atau sengaja dibakar oleh makhluk-makhluk yang dikatakan oleh Rabb Yang Maha Pencipta di dalam kitab sucinya sebagai makhluk pembuat kerusakan di muka bumi. Tentu saja perilaku jahiliah itu menggugah kemurkaan Rabb Yang Maha Perkasa itu, jika makhlukNya yang kufur itu kuasa dengan kejam membakari dan menggunduli hutanNya tanpa ampun, maka Rabb Yang Maha Kuasa itu juga dengan sangat mudah menghujani bumi dengan air bahNya dari langit, banjir!!! Camkan baik-baik! Rabb Yang Maha Penyayang itu tak pernah menzalimi ciptaanNya, tapi ciptaanNya itulah yang menzalimi diri mereka sendiri dengan kearoganan tak bertepi tanpa batas, merasa dunia milik pribadinya, sehingga merasa berhak bertingkah laku sesuka hati.
 Hebat! Sudah paham agama rupanya.
Bukan begitu, aku hanya menunjukkan rasa peduliku terhadap keadaan lingkunganku yang semakin menyedihkan.
Kepedulian seorang pendosa. Hehehe.....
Terserahlah!
Bahkan sepertinya warga kota Pekanbaru seakan sudah terbiasa, berpasrah diri menerima kiriman asap dari hutan yang terbakar karena hampir setiap tahun mereka mengalaminya. Akibatnya berbagai macam penyakit yang menganggu saluran pernapasan senantiasa menjangkiti warga. Sedangkan Pemerintah daerah pun tampaknya sudah kewalahan untuk mencari solusi atas sering terjadinya kebakaran hutan di daerah itu. Harus ada kerjasama dan kesadaran semua pihak untuk mengatasi masalah itu, kerap kali pikiran seperti itu yang melintas di benak Romeo.
Ya, benar, tapi bagaimana dengan kamu, kapan sadarnya, kapan taubatnya.
Pasti ada saatnya untuk itu, tekad Romeo.
Setelah dua kali naik angkot yang berbeda akhirnya Romeo sampai di kampusnya, siap menjalani rutinitas kesehariannya sebagai seorang mahasiswa. Suasana kampus tampak belum begitu ramai. Hanya ada beberapa orang mahasiswa yang duduk berkelompok di kursi-kursi panjang yang berderet di depan ruangan-ruangan kuliah di kampus itu. Tapi ada juga yang tampak betah duduk menyendiri di taman yang tertata cukup asri dan indah yang ada di tengah-tengah kampus.
Romeo langsung menuju ke ruang kuliah. Senyumnya mengembang ketika melihat keempat temannya sedang berdiri di depan pintu masuk ruangan itu, dan salam segera meluncur dari mulutnya begitu menghampiri sohib-sohib kentalnya itu, dan segera disambut pula dengan jawaban hangat oleh mereka. Sesaat kemudian mereka terlibat obrolan ringan sekadar menghabiskan waktu untuk menunggu dosen yang belum masuk ke ruangan kuliah. Canda tawa akibat celetukan-celetukan menggelikan sesekali terdengar mencairkan suasana pagi yang cukup dingin. Suasana semakin riuh rendah di saat tensi joke-joke konyol mencapai klimaks kelucuannya.
Sesaat mereka terdiam begitu melihat seorang gadis yang tampak begitu anggun dengan stelan busana muslimahnya, sedang berjalan ke arah mereka.
“Ssst, Rom, tuh liat, Nisa,” ujar Bona sambil menyenggolkan sikunya ke lengan Romeo yang berdiri di sebelahnya. “Cantik banget, ya?”
“Samperin dong, Rom, soulmatenya,” Momoy menimpali sambil memasang wajah lugunya yang menjurus o’on, segera disambut cekikikan halus teman-temanku yang lainnya.
Romeo diam saja, membiarkan dirinya menjadi sasaran godaan teman-temannya itu. Ia hanya menghela nafas perlahan untuk meredam suasana hatinya yang agak bergejolak. Hampir setiap hari ia mengalami rasa itu, jadi ia sudah terbiasa akan tabiat sohib-sohibnya itu. Tapi harus diakuinya, perasaan senang senantiasa membelai hatinya saat godaan teman-temannya mulai menyerangnya, menghubung-hubungkan dia dengan Nisa.
“Assalamu ‘alaikum,” Nisa memberikan salam begitu mendekat, sembari menampakkan seberkas senyuman yang menyejukkan hati.
 “Wa ‘alaikum salam,” jawab keempat anak muda itu segera, kompak banget, seperti koor paduan suara yang sudah latihan berbulan-bulan, tapi tidak pernah lolos kualilifikasi untuk mengikuti lomba vokal grup.
“Nisa, udah ditungguin Romeo dari tadi,” Andi lagi-lagi berupaya menggodanya.
“Iya, Nisa, Romeo kangen berat, tuh,” celetuk Edo menambahkan.   
 Gadis itu hanya melintaskan senyuman manis di wajahnya, sedetik melirik Romeo dan segera berlalu masuk ke ruangan kuliah.
Subhanallah, cantiknya bidadari surgaku, puji Romeo dalam hati, terpaku di tempatnya berdiri, dan tak mampu bersuara walaupun sangat ingin. Ia hanya berusaha meredakan suasana hatinya yang tak karu-karuan. Uhh, selalu saja begini setiap kali aku melihat Nisa.
“Yaaah, Romeo, kok diam aja, nggak ada reaksi sama sekali,” Momoy berlagak sok kecewa, dan masih setia menampakkan wajah o’onnya.
“Romeo payah, nih! Cewek itu butuh sedikit perhatian, Rom,” sahut Bona. “Bukannya di sapa sepatah dua patah kata romantis, eh malah diam aja kayak kakek-kakek lagi ngulum gigi palsu,” sambungnya, mengirimkan ledekan maut sambil diiringi pecahnya gelak tawa teman-temannya.
Romeo hanya mendengus geram. “Sial kalian semua!”
Tapi teman-temannya semakin tertawa ngakak sambil megang-megang perut dan mukul-mukul tembok.
“Ckckckckc, pada kehabisan obat nih anak-anak,” kata Romeo sambil geleng-geleng kepala. “Hoi, fren, udahan gilanya! Tuh liat, Pak Ferdian lagi bergerak ke sini, ayo buruan masuk!” lanjutnya begitu melihat dosennya dari kejauhan.
Romeo segera masuk ke ruangan kuliah di ekori sohib-sohibnya yang berjalan sambil saling dorong-dorongan dan terkikik-kikik halus .
“Parah kalian semua. Sakit otak. Malu tau!” kata Romeo saat mereka berlima duduk berdekatan di baris kursi yang sama.
Dan kegilaan teman-temannya baru berakhir ketika sang dosen kharismatik memasuki ruangan kuliah.
Seperti biasa, Pak Ferdian selalu bersemangat menjalankan kewajibannya sebagai seorang pendidik dan pembagi ilmu. Mulutnya seperti tidak ada matinya, tak kenal lelah terbuka dan tertutup mengeluarkan suaranya yang lantang, membuat mahasiswa yang punya kebiasaan memelihara kantuk saat kuliah jadi kehilangan hasrat tidurnya. Empat puluh pasang mata terbuka lebar, mengarah tepat ke satu objek, Pak Ferdian. Tapi, pandangan mata memang berkonsentrasi memperhatikan gerak-gerik dosen enerjik berstamina luar biasa itu, tapi agaknya puluhan makhluk pemilik pikiran di ruangan itu sedang melanglang buana ke berbagai tujuan, menikmati imajinasi hayalan. Ada yang sibuk memikirkan strategi jitu untuk menghibakan diri di hadapan ibu kos supaya mau menunda tagihan pembayaran uang kos bulanan, menyesali nasib yang terus betah menjomblo (seret jodoh, maaak!), kebelet mau setoran wajib tapi tidak punya cukup keberanian untuk minta izin keluar (nggak kuat nahan, neh! Kebelet banget!), atau ada juga yang tidak sedang mikirin apa-apa (otaknya kosong, kaleee).
 Romeo??? (ck, ck, ck. Juga tidak mau kalah) Ia sendiri malah asyik membayangkan pertarungannya melawan penjahat siang kemarin.
Kok, bisa ya, aku ngalahin dua orang penjahat sekaligus. Aku yang hebat atau penjahatnya yang kelas ayam sayur.
Kemungkinan penjahatnya yang letoy lebih besar sehingga kau bisa selamat kemarin siang. Nggak kebayang deh, kalau kedua penjahat itu sedikit bisa mengolah tubuhnya, ngerti berkelahi maksudnya. Tapi kamu cukup lumayan juga, bisa pakai otak, sehingga mata si ceking tonggos itu ketusuk ujung gagang payung rusak itu.
Astaghfirullaah, aku hanya mempertahankan selembar nyawaku. Aku tidak bermaksud sekejam itu. Aku sama sekali tidak berniat membutakan sebelah matanya, apalagi mencelakainya. Sesaat Romeo bergidik mengingat kejadian itu, dan ketidak tenangan mulai menjalarinya.
Dan sisi lain batinnya terus mengintimidasi perasaannya. Tapi bisa aja si ceking tonggos itu celaka, ujung gagang payung itu kan berkarat, bisa kena tetanus mata tuh orang, trus ke laut deh, Badman  is dead! ko’it,  maksudnya.
Mati??? Astaghfirullaah, aku membunuh orang? Membunuh termasuk dosa besar! Ampun, ya Allah. Tanpa diiinginkan keringat dingin mengalir deras di wajahnya, turun ke bawah merembes membasahi kemejanya, dan segera mengundang suara seseorang yang sangat dikenalnya untuk menyapanya.
“Romeo, ada apa? kamu sakit, ya?” tanpa disadarinya Pak Ferdian sudah berdiri di sampingnya yang lagi sibuk menyeka keringat.
“Eh, ti…dak, Pak. Saya…” jawab Romeo tergagap. “Maaf Pak, saya permisi keluar sebentar,” ia berdiri dan segera memburu langkah keluar ruang kuliah, dan sudah hampir pasti, dengan dikomandani Pak Ferdian, puluhan pasang mata dengan tatapan kebingungan mengiringi langkah paniknya.
Romeo kenapa ya? Kok keringatan gitu, pikir Nisa heran.
Momoy mencolek lengan Andi. “Ssst, tadi kita yang dibilang sakit ma Romeo,” celetuknya. “Ternyata…hihihi,” ia tak melanjutkan kata-katanya karena sudah terkikik halus duluan diikuti teman-temannya.

Siang itu, saat jeda kuliah, Romeo menyempat diri nongkrong di kantin kampus, dikelilingi keempat sohib-sohib kentalnya. Aksi keringatnya yang bercucuran deras ketika jam kuliah berlangsung memancing minat teman-temannya untuk mencari sumber penyebabnya.
“Rom, kamu jalan kaki ya, dari rumah ke kampus, sampai keringatan gitu,” tanya Edo memulai penyelidikan, tangannya mencomot bakwan dan tanpa ampun bakwan yang malang itu dikoyak-koyak dan dilumat-lumat giginya, trus melewati kerongkongan dan berakhir di lambung memasrahkan nasib mengikuti proses pencernaan.
“Atau jangan-jangan kamu kesambet jin kesiangan kali,  Rom. Mungkin jin itu lupa jalan pulang abis begadang semalaman, karena takut sama sinar matahari, trus ngumpet dulu dalam badan kamu,” tambah Andi yang memang hobi menyelami hal-hal yang berbau mistis.
Bona mendengus. “Kalian berdua itu ngaco, sok tau! Yang benar itu, Romeo keringatan karena nyesal nggak nyapa Nisa pas masuk ruang kuliah tadi. Makanya, Rom, perasaan jangan terlalu lama diperam di hati, keringatan tuh, jadinya.”
 “Sok puitis lu!” sentak Romeo kesal. “Satu lagi, Sotoy!”
Dahi Momoy berkerut. “Eh, Rom, perasaan bapaknya Bona jualan material, bukannya sate,” celetuknya kalem dengan raut wajah tanpa dosa. Lalu pandangannya beralih ke Bona. “Tapi apa bener Bon, kalau kita suka ngeram perasaan bisa keringatan juga, ya? tapi.…” ia berhenti sejenak, mengetuk-ngetuk pelipisnya berlagak mengingat sesuatu. “ayam tetanggaku yang udah berhari-hari ngeramin telornya, nggak pernah keringatan, tuh.”
Arrrrrrggghhh. Romeo dan teman-teman hanya bisa menggeram dan mengelus dada mendengar ucapan polos si Momoy. Dan memandangi cowok bersetelan cupu itu dengan pandangan iba. “Kasian banget kamu Moy.  O’onnya nggak sembuh-sembuh juga. Jangan salahkan bunda mengandung, Moy. Tapi salahkanlah mengapa kamu betah banget pelihara penyakit telmi-mu itu.”
Akhirnya mereka semua seperti sepakat membisu bareng, daripada terus bicara tak karuan mendingan mengisi perut, mengumpulkan tenaga untuk menghadapi kuliah siang. Tapi aksi diam mereka segera mendapat ujian. Di seberang meja tempat mereka duduk….
“Heh, pake mata kalo jalan! Main tabrak aja, gue beri sekali bonyok, lu!” seorang mahasiswa berkaos hitam bergambar tengkorak bergigi ompong, dengan arogan memaki-maki seorang mahasiswa lainnya, cowok dengan kacamata minus tebal yang baru saja ketiban sial karena menyenggol bahu si pemaki.
“Maaf, bang, nggak sengaja. Abis abang sih, duduknya terlalu kepinggir….” protesnya dengan raut wajah tanpa dosa. Tapi tubuhnya seketika mengkerut ketika melihat delikan tajam dan geraman si pemaki.
Si pemaki sontak berdiri dengan tangan terkepal. “Eeeeh, ngelawan, lagi!”
“Udahlah, Brol, biarin aja, kasian tuh cowok cupu,” temannya berusaha menenangkan.
Mahasiswa yang bergelar Brol itu mendengus. “Eh, mau cari macam-macam ma gua. Lu tau nggak gua anak fakultas mana?!”
Si mahasiswa cupu yang sedang digertak itu diam saja dengan ekspresi pucat, mulut ternganga dan kedua lutut gemetaran.
 “Nggak ada anak fakultas lain di kampus ini yang berani cari masalah ma anak-anak fakultas gua! Mau gua lipat-lipat badan lu!” bentak Brol lagi. Ternyata ia termasuk orang yang suka mengumbar kemarahan. Tapi ngomong-ngomong soal umbar-mengumbar kemarahan, ada yang kecipratan emosi, tuh.
Romeo menggeram. Banyak gaya lagi, ngomong pake lu, gue segale. Mank dari Jakarte kolong jembatan bagian mane lu. Ups, kok malah aku yang ketularan Jakarte kite.
 Romeo bangkit dari duduknya, berjalan pelan ke meja seberang tempat si Brol yang masih betah mengeluarkan makian kepada cowok cupu yang hanya bisa mengkerut tak berdaya di tempatnya.
Edo melirik kasihan. “Ssst, Moy, bantuin tuh sodara kamu,” bisiknya sambil mencolek pinggang Momoy yang sedang mengepal-ngepalkan tinjunya di balik punggungnya.
“Aku sebenarnya emosinya!” sahut Momoy geram seraya membetulkan letak kacamatanya. “Ta…tapi biar Romeo aja deh urus,” lanjutnya kecut. Disambut cibiran teman-temannya. Tapi harus diakui, jantung mereka pada kompakan berdegup kencang.
“Permisi bang, mau ngambil sambel,” ujar Romeo begitu mendekat, seraya sedikit membungkuk ia mengambil mangkuk berisi sambel cair. Udah pernah dimandiin pakai sambel belum, mau nyoba? nih, dengan senang hati kumandikan kau dengan sambel, biar kepanasan sekalian. Tangan Romeo mulai beraksi, berakting seolah tanpa sengaja menjatuhkan mangkuk sambel itu di atas meja di depan si Brol dan rekannya. Dan sambel cair berwarna kemerahan itu bermuncratan sesukanya, ke muka, baju, celana… , arrrgh!!!
“Ah, ma..ma..maaf bang, tak sengaja,” kata Romeo terbata-bata sambil mundur selangkah. Aku tunggu reaksi kau!
Brol menggeram dan segera melompat dari duduknya. “Cari mampus, lu! Mau main-main sama gua, ngajak perang fakultas gua, ya!” setelah mengakhirkan kalimatnya, Brol langsung melayangkan tinjunya ke wajah Romeo.
 Nggak punya jati diri nih orang, dari tadi banggain fakultasnya mulu. Ups, Romeo hanya berkelit ringan, dan berhasil mengelakkan pukulan. He, he, I like it, Brol! Mari main-main barang sepukul dua pukul.
Brol semakin membabibuta melayangkan pukulannya, membuat Romeo kian sibuk menangkis dan mengelak.
Romeo menajamkan pandangan matanya, mengikuti setiap gerakan Brol. Mentah banget gerakan nih orang. Dan, Hupp, ini dia jurus andalanku, kecepatan dan kesigapan tangan. Lalu tangan kanan Romeo dengan cepat dan sigap menangkap tangan Brol yang belum sempat menarik pulang pukulannya, segera dipuntir ke punggungnya. Lalu, sepersekian detik, tangan kiri Romeo meraih mangkuk sambel, dan dengan santai mengguyurkan sambel cair yang tersisa ke mulut Brol yang pasrah menanti tanpa perlawanan. Setelah itu, lagi-lagi dengan santai didorongnya bokong Brol dengan ujung sepatunya hingga jatuh terjengkang ke lantai. Tampaknya kemenangan kembali menghampiriku.
Brol berguling dan segera berdiri dengan panik. “Lopis! Bantuin gue…” serunya gelagapan. Sesaat ia terlihat sibuk menyeka wajah dan mulutnya yang di kuahi sambel cair. Wuaahhh, pedasss, panasss!!!
Romeo menyeringai ke arah Lopis. “Bro Pipis… eh maaf, Lopis mau dilumurin sambel juga, ya?” sapanya dengan agak melunakkan suara kepada lopis.
Lopis diam mematung, ragu, sepertinya tak berani ambil sikap. Matanya bergantian bergerak melirik Romeo dan ke sebuah mangkuk sambel yang masih penuh di meja lainnya, menunggu giliran untuk di tumpah ruahkan. Brol aj bisa dikuahi sambel ma nih orang, apalagi aku, batin Lopis kecut.
Sedangkan Brol, melihat situasi yang tidak menguntungkan, dengan cekatan mengubah strateginya, segera berbalik, berlari keluar kantin seraya menebar gertak sambel. “Awas lu! Tunggu sini. Gue nyari pasukan dulu!” teriaknya sambil terus berlari meninggalkan kantin.
 Yaaa...si Brol, banyak gaya, nggak gentle. Beraninya kalau lagi ada teman sekampung. Dasar, jagoan kelas  ayam sayur, cela batin Romeo. Tapi, pasukan??? Wah kacau nih, ucapan terakhir si Brol sedikit meninggalkan kepanikan di benaknya.
“Brol, tunggu!” teriak Lopis. “Kok, ninggalin gue sih,” ia segera menghambur mengikuti Brol yang lebih dulu mencuri start.
“Awaaasss!!!” pekik Romeo tiba-tiba, diikuti pandangan cemas orang seisi kantin.
 Terlambat, Tuingngng!?!?!? Tanpa bisa dicegah kepala Lopis menabrak tiang penyangga atap kantin. Sejenak pemuda ceking itu kelimpungan seperti ayam keracunan. Lalu sambil memegangi kepalanya yang berdenyut nyeri ia berjalan sempoyongan menyusul Brol yang seakan menghilang dari pandangannya yang berkunang-kunang.
Romeo dan teman-temannya tertawa geli melihat sandiwara konyol gratisan itu. Makanya liat-liat jalan kalau mau ngacir, bro! Main tabrak aja. Tuh tiang terbuat dari beton, bukannya kapas, teler deh.
Tapi kegelian itu segera pudar oleh kecemasan Bona. “Wah, gawat! Bakal terjadi perang terbuka, nih,” ia masih trauma dengan peristiwa tawuran massal yang menciptakan serangan hujan batu yang menghujani gedung Fakultas mereka setahun yang lalu, menimbulkan banyak korban. Kepala bocor, atap bocor, bunga-bunga di taman pada berguguran, bahkan sedan antik keluaran awal tahun tujuh puluhan milik Pak Dekan, yang terparkir cukup jauh dari lokasi hujan batu, sempat stress dan trauma, motal alias mogok total!
“Tenang aja, Bon-bon, ini tanggung jawabku. Aku cuma pengen ngasih pelajaran, biar tau rasa tuh orang, arogan banget! Nggak tau apa, di atas langit masih ada langit,” ujar Romeo berlagak santai, mencoba menutupi tumpukan kecemasan yang menghimpit dadanya. Sial, nambah masalah lagi, nih.
“Maksudnya di atas langit ada langit, apa? Rom, bukannya di atas langit ada banyak binatang, eh bintang,” si Momoy telmi lagi deh, dalam situasi gawat seperti ini ia masih setia menggunakan prosesor pentium satu-nya.
Tumben, Andi dan Edo tidak buka suara, lagi mogok bicara atau lagi memendam ketakutan di hati. Beberapa mahasiswa yang semula terlihat cukup banyak berada di dalam kantin berangsur-angsur menghilangkan diri, enggan kecipratan masalah, daripada ikutan bonyok-penyok mendingan kabur, deh. Bu Imah, pemilik kantin dan dua orang karyawannya meringkuk di sudut kantin, gemetaran. Apes, apes, bakal dilanda gempa nih kantin.
Tak perlu menunggu lama, adegan kekerasan segera dimulai, aroma pertarungan sudah mulai memenuhi tempat itu saat puluhan mahasiswa yang memasang wajah sangar dan berteriak-teriak histeris seperti acara jumpa fans, ngaco! Teriak-teriak kayak mahasiswa yang lagi demo menolak kenaikan BBM, itu baru benar! Mendekati kantin, semakin mendebarkan jantung Romeo dan teman-temannya.
Maaak, tolooong, aku mau pulang!!! batin Momoy menjerit sambil berusaha menenangkan lututnya yang mendadak bergetar hebat.
Sementara Andi tampak sibuk celingak-celinguk ke sana ke mari, mungkin sedang mencari celah untuk menyelamatkan diri, tapi sepertinya semua celah sudah tertutup rapat, gerombolan penyerbu itu sudah mengepung kantin dari segala penjuru mata angin.
“Sial! Perut aku kok tiba-tiba melilit, ya. Nggak ngerti apa, suasana nggak kondusif buat setoran wajib,” gerutu Edo sibuk meredakan mukanya yang merah padam, bukannya menahan marah, tapi nahan e e’!
Bona menggamit Romeo. “Rom, kamu kok santai aja, sih. Udah pasrah sama nasib, ya?” bisiknya, menampakkan wajahnya yang seputih kapas, pucat pasi.
Santai pala lu bonyok! dari luar sih terlihat santai, tapi di dalamnya, brrr...tegang, choy. Ketegangan semakin menguasai Romeo.
Brol segera memburu mendahului masuk kantin diikuti puluhan rekan-rekannya, menggeram dan mengepalkan tinju.
“Tuh, dia orangnya, Bang Jon, yang berani ngelecehin fakultas kita!” serang Brol kelebihan semangat seraya mengarahkan jempolnya ke arah Romeo.
Romeo tersenyum kecut. Brol, Brol, di mana-mana kalau nunjuk orang itu pakai jari telunjuk, bukannya ibu jari. Jangan sok kreatif, deh.
Tapi senyum kecut Romeo berubah jadi seringai dingin dan ketegangannya seketika menghilang saat melihat seseorang yang sangat dikenalnya sudah berdiri di samping Brol.
“Si Brol ini anak buah kamu, Jon,” ujar Romeo dingin. Anggota si Joni rupanya tuh anak burung, kemenangan bakal menghampiriku lagi. Lalu hawa hangat dengan cepat mengusir rasa dingin yang semula melekat di tubuhnya.
 “Ba…aang Romeo, abang kuliah di sini juga, ya?” Joni menampakkan ekspresi keterkejutan di wajahnya begitu melihat Romeo yang lagi menyibukkan jari tangannya memain-mainkan telinga Bona yang agak lebar.
Ups, sorry Bon-bon, nggak sengaja, abis telinga kamu agak lebar, sih.
“Jon, tolong kasih kuliah tambahan sama tuh anak, jangan sok jagoan di kandang macan,” lagi-lagi Romeo berkata dengan dingin namun tatapan tajamnya menghujam ke arah Brol melongo keheranan.
“Maaf, Bang, aku nggak tau kalo si Brol cari masalah sama Abang,” sahut Joni, wajahnya tegang. “Aku jamin, Bang, kejadian ini nggak bakal terulang lagi.”
Romeo melunak. “Jon, kampus ini tempat kuliah, bukan ajang buat gagah-gagahan apalagi berantem. Sekarang kamu boleh pergi dari sini. Angkut tuh, semua anak buah kamu sekalian!”
Tanpa perlu berbalas pantun lagi, segera Joni menarik Brol yang masih kebingungan seperti kambing mau disunat, eh mau dimandiin, mana ada kambing yang rela dimandiin. “Semuanya kembali ke kampus!” Perintah Joni, segera meninggalkan kantin diikuti puluhan anak buahnya.
Orang-orang di kantin memuaskan diri mengirup nafas kelegaan berulangkali.
Andi buru-buru menghampiri Romeo. “Rom, kamu tau nggak, Joni itu siapa. Dengar-dengar kabar yang bisa dipercaya, si Joni itu anggota geng Vokand. Tapi kok bisa kamu.…”
“Udahlah, nggak usah dibahas lagi!” potong Romeo. “Yang penting situasinya udah aman terkendali, ok?” tapi ia merintih di dalam hatinya. Jangan sampai mereka tau siapa aku sebenarnya. Sobat, aku bukan Romeo yang dulu lagi. Sekarang aku....anggota geng, tepatnya wakil ketua geng! Sekarang kalian berteman dengan penjahat!
“Do, mau kemana?” teriak Momoy tiba-tiba begitu melihat Edo balapan lari ke arah toilet.
“Nyetor dulu, udah ke ujung, nih!” sempat-sempatnya Edo menjawab sambil terus berlari dan memegang bokongnya.
“Pantas aja dari tadi aroma septic tank menyebar kemana-mana! Sangkaku bau pisang goreng gosong yang mengitari hidungku, makanya dengan rela hati kuhirup dalam-dalam, eh nggak taunya tabung gas beracun Edo yang bocor, sial!” gerutu Bona menumpahkan kekesalannya abis di asapin Edo.
Tiba-tiba terdengar suara kumandang azan dari masjid kampus.
“Rom, udah azan tuh,” kata Andi. “Rom, azan,” ulangnya ketika melihat Romeo masih diam mematung dengan pandangan kosong.
“Celaka, berandalan itu balik lagi!!!” teriak Bona.
Romeo tersentak. “Astaghfirullah! Mana, mana?!?!”
“Balik ke kampus mereka maksudku, Rom. Hihihi…” Bona tertawa.
“Huh, dasar telinga lebar, ngagetin orang aja!” kesal Romeo.
“Abis, dua kali Andi bilang azan, kamu diam aja,” sahut Bona.
Andi mengangguk membenarkan.
“Oh, iya udah azan,” kata Romeo, begitu pendengarannya sudah normal kembali. “Ayo ke Masjid. Ntar lagi kuliah siang.”
Tapi baru aja ia melangkah, HP di saku celananya bergetar. Ia menghentikan langkahnya, dan dahinya berkerut ketika membaca sms masuk dari Roki. “Rom, satu jam lagi ambil “bahan” di tempat biasa dan kirim ke pemesan di lingkar surga.”
Romeo mendesah. Hhh…Transaksi lagi. 
“Kenapa Rom,” sapa Momoy yang heran melihat sohibnya terpaku di tempatnya berdiri.
“Ah, nggak ada apa-apa. Ayo…” sahutnya sambil menerus langkahnya, diikuti ketiga temannya menuju Masjid Kampus yang berjarak sekitar dua ratus meter dari Fakultas mereka.
Pengedar narkoba sholat, batin Romeo getir, perih.***

Bersambung Ke Bagian 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar