Selasa, 04 Januari 2011

Romeo Don't Cry, Bagian 4 : Aisyah, oleh Firman Al Karimi


Panas Banget, keluh Romeo sambil berulang kali menyeka beberapa bulir keringat yang menggelinding di pelipisnya. Maklum, ia baru saja keluar dari sebuah Mall yang berpendingin ruangan, jadi wajar saja kegerahan dengan cepat menjalari tubuhnya ketika ia sudah berada di luar Mall SKA Pekanbaru, ditambah lagi matahari masih juga menyinari bumi dengan penuh semangat saat siang menjelang sore itu. Tapi kalau diusut, sebenarnya yang membuat keringatnya bercucuran adalah….tangannya memegang erat sebuah tas kumal, uang tiga belas juta rupiah bersembunyi di dalam tas itu. Ia baru saja berhasil melakukan transaksi ‘gila’, berhasil menjual beberapa paket sabu-sabu dan pil syetan, ekstasi.
Segera ia melangkah menyeberangi jalan, memandang was-was ke arah pos polisi di perempatan jalan Sukarno-Hatta, dan menyebarang lagi dan terus berjalan menyusuri jalan Tuanku Tambusai. Ia berhenti di halte. Jantungnya masih berdegup kencang saat menyandarkan tubuhnya di tiang penyangga halte. Sial! Kenapa busnya masih belum lewat juga. Kegelisahan menghampirinya.
Dan hampir saja ia melompat melepas kaget ketika dengan tiba-tiba sebuah tepukan kasar menyentuh pundaknya. Segera ia membalikkan badan.
“Sini uang kau! ” desis seorang remaja tanggung, berambut pirang seperti habis dilumuri karat besi luntur, seutas rantai kecil tampak terhubung antara anting di telinganya ke anting di hidungnya. Tangan kanannya menempelkan pisau lipat kecil di pinggang Romeo. “Kau dengar, tidak! Sini uang kau cepat, nih pisau tak punya mata, tau!” ancamnya sengit, semakin menekankan pisaunya di pinggang Romeo.
Pencoleng kecil ingusan! Rasa cemas, lapar, dan lelah dengan cepat memicu kekesalan Romeo sehingga menumpukkan kemarahan sampai ke ubun-ubun kepalanya. Sudut matanya mencuri pandang tajam ke arah pisau yang menempel di pinggangnya. Dan emosinya yang meledak segera tersalurkan. Mau main-main denganku ya. Saatnya jurus kecepatan dan kesigapan tangan beraksi lagi! Secepat kilat tangan kanannya menangkap pergelangan tangan penodong itu dan berhasil menjauhkan pisau hingga beberapa senti dari pinggangnya. Lalu dengan cepat tangan kirinya menyambar untaian rantai di hidung si penodong, tanpa ampun merenggutnya, walaupun ia tidak melakukannya sekuat tenaga, kontan saja hidung dan telinga tempat rantai itu melekat, agak terkoyak dan mengeluarkan darah. Pisau di tangan penodong terlepas, ia mengaduh, meraung, dan bersumpah serapah sekuat yang ia bisa. Tapi penderitaan si pencoleng kecil itu belum berakhir, karena kegeraman masih mutlak menguasai Romeo, sebuah hantaman ujung siku kanannya dengan cepat mampir di hidung penodong malang itu, menyebabkan saos merah kental dengan cepat membanjiri hidung hingga mulutnya.
Tanpa disadari Romeo, ternyata beberapa orang berwajah sangar sedari tadi memperhatikan aksi pertunjukannya dan si penodong. Ia tersentak ketika melihat dua orang segera berlari mendekat ke arahnya.
“Baaang, tolong!” teriak si penodong gagal, begitu melihat bala bantuan berlari ke arahnya.
Yaaah, cuma dua orang, bolehlah. Darah Romeo sudah terlanjur panas, menyusul hasrat berkelahinya yang mulai muncul kembali. Tapi begitu ia memperjelas pandangannya dan mulai menghitung…., dua, empat, tujuh, sebelas....orang. Wah, kacau, nih! Tanpa perlu berpikir lagi segera ia membalikkan badan. Lariii…
Pekikan riuh rendah bagaikan teriakan segerombolan orang Indian mau berperang itu, membuat Romeo semakin menambah kecepatan berlarinya. Balap lari lagi, neh. Soalnya baru beberapa hari yang lalu ia mengikuti balap lari, versus si tonggos yang malang dan rekannya, tentunya. Ia terus berlari hingga mencapai sebuah angkot yang supirnya lagi asyik keenakan ngupil en ngorek-ngorek kupingnya pakai ujung korek api. Hati-hati, bung! Ntar, koreknya malah nyala akibat gesekan biogas yang numpuk di kuping.
“Bang, jalan, cepat!” teriaknya begitu masuk ke dalam angkot. “Heh, bang, dengar nggak, jalan cepat!” kepanikan mulai menguasai dirinya.
“Jalan apaan, masih kosong, nih! Nanti aja kalau udah penuh, baru berangkat,” jawab sopir angkot cuek monyet malah semakin asyik dengan aksi ngupil ngoreknya.
Please, bang, tolong, tuh liat, belasan orang itu mau ngeroyok saya!” Romeo memohon dengan sedikit menghiba seraya mengguncang-guncang pundak sopir angkot yang masih berlagak sok acuh itu.
Sopir angkot meradang. “Plas-plis, plas-plis, jangan maksa, dong! Kecuali kalau kamu carter penuh angkot ini, bisa, aku mau jalan!”
Matre juga  nih orang, pintar nangguk di air keruh. Awas! Kubalas kau nanti. “Iya, iya, berapapun saya bayar, cepaaat jalan!!!” keringat dingin sudah mengucur rata di sekujur tubuh Romeo, sebab gerombolan manusia beringas yang mengejarnya tinggal beberapa meter lagi dari angkot. Saat tangan pengejar pertama berhasil menyentuh buntut angkot (Eh, emangnya angkot punya buntut juga, ya). Segera sopir angkot matre nan pintar menangguk di air keruh itu beraksi, menekan pedal gas dalam-dalam dan ngaciiir….
“Woi, berhenti!!!”
“Awas, kalau berrrtemu, aku kuliti kauuu!!!
“Aku jadiin perkedel lembek, kau!!!
Teriakan sia-sia, angkot sudah berhasil menjauh, dan semakin jauh terus melaju di jalan Tuanku Tambusai ujung dan berbelok ke kiri, ke Jalan jenderal Sudirman. Sopir angkot mengendalikan mobilnya bak seorang pembalap amatiran yang berobsesi menandingi kehebatan membalap Lewis Hamilton sang pembalap F 1. Angkot sudah melaju santai ketika melintas di depan kantor Walikota Pekanbaru.
“Ooop, stop, berhenti di sini aja, bang!” seru Romeo sok memberi perintah ketika angkot melewati jalan di depan perpustakaan Riau yang konon merupakan gedung perpustakaan termegah di Pulau Sumatera. Ciiittt!!! Pakem juga remnya, angkot langsung berhenti.
“Kira-kira dong, bang, puyeng, nih!” protes Romeo sembari mengelus jidatnya yang kejedot dashboard angkot.
“Sorry, Jack, nggak sengaja, maklum calon pembalap profesor,” sahut sopir angkot kepedean.
“Profesor apaan, profesional kali, bang. Ya udah, aku turun di sini aja!” Romeo segera membuka pintu dan melompat ke luar.
“Eitt, bayar dulu, Jack! udah bertaruh nyawa nih, nyelamatin kamu,” tagih sopir angkot.
“Iyaaa, aku bukan tipe orang yang ingkar janji. Kemarikan tangannya, bang. Nih bayarannya,” ujar Romeo seraya menaruh telapak tangannya yang terkepal di atas telapak tangan sopir angkot yang menanti dengan wajah yang berseri-seri.
“Mana? Uangnya mana?” tuntut sopir angkot gusar ketika tidak melihat dan tidak merasakan sesuatu di atas telapak tangannya saat Romeo membuka telapak tangannya. “Heh! Kamu mau nipu aku, ya?!!” seketika mata sopir angkot membesar dan melotot seperti mau melompat keluar.
“Siapa yang mau nipu, bang. Abang ingat tidak, saya bilang apa saat naik angkot tadi. Saya cuma bilang akan membayar berapapun kalau abang mau jalan, tapi saya kan tidak bilang akan bayar pakai uang….” Aku kerjain kau sekarang!
Si sopir angkot langsung naik pitam dengan muka merah padam. “Kurang ajar! Dasar kucing beranak, eh kucing kurap. Maksud kamu apa sih!”
Romeo menarik nafas dan melanjutkan aksi ngeles usilnya. “Yaaah, abang, sinyalnya payah! Lambat banget sih, nangkapnya. Maksud saya, tadi kan sebelum angkotnya jalan, abang bilang mau jalan kalau saya mau bayar untuk satu carteran penuh angkot ini. Saya setuju dan bilang akan saya bayar, tapi coba abang ingat, ingat-ingat dan ingat lagi, paham, nggak? Saya kan tidak bilang ‘saya-mau-bayar-pakai-uang’, makanya sekarang abang saya bayar pakai angin, tuh tadi udah saya taruh di tangan abang, ngerti, kan? so pasti, soalnya saya udah jelasin panjaaaang banget, kayak laporan pertanggungjawaban Gubernur.”
“Dasar orang gila!!! Penipu, kadal air ekor buntung, kuacak-acak mulut kau pakai obeng ini!” sopir angkot yang kehabisan stok kesabarannya, segera meraih obeng dari atas dasboard angkotnya dan langsung menusukkannya ke arah Romeo.
Tapi Romeo berhasil menghindari serangan mendadak sopir angkot yang lagi gelap mata itu. “Eitt, sabar dong, bang! Orang sabar disayang Allah,”
“Pak Sabar udah mati, kau bakal nyusul! Nih, terima jurus obeng terbangku, hiaaat!” sopir angkot menyerang lagi dengan tusukan obeng yang bertubi-tubi.
Lagi-lagi Romeo berhasil menghindar. Nambah pengalaman lagi, nih. Dan ia menangkap peluang untuk melepaskan diri dari sopir angkot kalap itu ketika ia melihat dari kejauhan sebuah mobil patroli polisi lalu lintas melaju santai di tengah kepadatan jalan. “Bang, tuh liat! Ada patroli polisi, mana boleh abang parkir di situ, emangnya abang ponakannya Gubernur, ya.”  
Mendadak sopir angkot itu menarik serangannya, dan menoleh ke arah yang ditunjuk Romeo. “Sial! Ngapain lagi polisi berpatroli ria siang-siang gini, kan lebih enak nongkrong di pos jaga sambil baca koran,” gerutunya sambil melompat ke dalam angkotnya.
Romeo hanya tertawa geli melihat kepanikan di wajah sopir angkot itu. Buruan kau berhembus dari sini sebelum ditilang polisi. Hehehe…
“Awas kau! Kalau ketemu, kukasih lagi kau jurus obeng terbangku!” gertak sopir angkot, segera melesatkan angkotnya dengan kecepatan maksimal, melaju zig-zag, salip kiri, potong kanan, menghindari kejaran mobil patroli polisi lalu lintas. Dan….hebat! Berhasil menghilang ditelan kendaraan-kendaraan yang memenuhi jalan di siang menjelang sore itu.
Benar-benar punya bakat membalap, tuh  sopir angkot. Tapi kasian juga dia, kena aku kibulin, abis matre banget, sih. Nyawa orang lagi diujung tanduk, eh malah pasang aksi tawar menawar dulu kayak penjual dan pembeli di pasar Kodim, batin Romeo sambil terus melangkah menyusuri trotoar depan Bank Indonesia, Kantor Gubernur Riau, tugu pesawat terbang dan berbelok ke jalan Ahmad Yani, lalu menyetop angkot dan naik.
****
Romeo bergegas mempercepat langkahnya ketika memasuki sebuah gang, sebuah lorong sempit yang apabila dua orang berpapasan akan menyebabkan kedua lengan mereka akan saling bersentuhan. Setelah berbelok ke kanan ia berjalan menuju sebuah rumah berpagar tembok yang terlihat sepi, pintu gerbangnya tertutup rapat, digembok. Sesaat ia celingak-celinguk di depan gerbang. Pada kemana sih makhluk-makhluk di sini, sepi amat kayak kuburan, sebuah tas kumal masih terkepit di ketiaknya.
“Cari siapa?” sebuah suara yang muncul tiba-tiba dari balik gerbang mengejutkannya.
“Sialan, kamu Jon! Kamu pengen aku mati muda, ya! Main muncul aja kayak siluman nggak ada kerjaan,” gerutu Romeo sambil mengelus dada.
“Maaf…, bang Romeo, ya?” ujar Joni yang masih berdiri di balik gerbang itu, berusaha mengenali Romeo yang berdiri di balik gerbang.
“Iya, aku Romeo, cepat buka gerbangnya! Aku udah gerah, nih.”
Begitu Joni membuka pintu gerbang segera ia berjalan dengan setengah berlari menuju pintu rumah, masuk.
“Huuuffh, akhirnya. Nih uangnya, Bang Roki,” ujar Romeo seraya melemparkan tas kumal di tangannya ke atas meja. Kemudian ia melepas topi yang menenggelamkan kepalanya hingga ke alis matanya, dilepasnya juga kumis dan cambang palsu yang semula melekat di atas bibir dan kiri kanan pipinya.
“Hebat! Kamu berhasil lagi, Rom,” puji Roki begitu menaburkan uang belasan juta rupiah dari dalam tas ke atas meja. “Kamu belum makan siang, kan? tuh, ada nasi bungkus di meja belakang, Joni yang beli barusan, kamu makan aja, abang udah.”
“Nanti aja, bang, sholat dulu, waktu zuhur hampir habis, nih,” sahut Romeo tanpa semangat, lesu, karena urat-uratnya terasa seperti menegang semua.
 Penjahat, pengedar narkoba, sholat?
Daripada tidak sama sekali.
“Sholat?” satu kata itu juga yang sempat didengar Romeo terlontar dari mulut Roki, menatapnya sesaat, dan ia melihat ada sesuatu yang aneh di wajah Roki, bibirnya bergetar, giginya bergemeretak, bahkan Romeo bisa merasakan bahwa dada pria itu sesak dan bergemuruh melalui alur pernapasannya yang turun naik dengan cepat.
Dahi Romeo mengernyit. “Ada apa, bang?”
“Ahhh, tidak.…tak ada apa-apa. Ya, silahkan, sholat aja,” sahut Roki seraya memalingkan wajahnya.
Joni yang juga memperhatikan sedari tadi memandangnya dengan tatapan yang mengandung seribu tanda tanya, “Apa yang terjadi sama Bang Roki?” bisiknya pada Romeo saat melintasinya.
Romeo hanya mengangkat kedua bahunya. Nggak tau, tuh. Dan meneruskan langkahnya ke kamar mandi.
Romeo mencoba untuk menghadirkan hati dalam sholatnya, berupaya melupakan semua yang dilakukannya tadi, sebelum sholat. Bukan usaha yang mudah, pikirannya tetap saja dipenuhi oleh bayang-bayang adegan kehidupan yang baru saja dijalaninya. Udara terasa begitu panas, kepengapan menyelimutinya, dan tubuhnya sudah bermandikan keringat ketika usai melaksanakan sholat. Tak mampu mulutnya mengucapkan lafaz-lafaz zikrullah, memuji dan mengingat kebesaran Rabb-nya. Tak kuasa ia menengadahkan kedua tangannya untuk bermohon kepada Rabb-nya. Hanya duduk bersimpuh di atas bentangan koran yang menjadi sajadah yang mampu dilakukannya, menangisi segala kehitaman dosa, meratapi kehinaan dan kenistaan diri di hadapan Rabb-nya, di dalam hati.
Ya, Allah, masih bolehkah aku yang terbalut lumpur comberan dosa ini memanggilMu, berharap dariMu. Ya Rabbi, sungguh hina dina diriku di hadapanMu. Pendosa, pendosa, aku pendosa.
Masih saja meratapi dosa, hanya menangisi, tapi tidak pernah ambil tindakan untuk menjauhi dosa, malah semakin asyik masyuk berbuat dosa.
Aku masih bingung, hati ini dipenuhi kebimbangan, terpenjara tembok dosa, tembok yang terasa amat tinggi untuk dilompati, dan terasa amat tebal untuk ditembus.
Tanpa usaha yang keras dan sungguh-sungguh tembok itu tidak akan pernah dapat kau lompati apalagi kau tembus, dan akan terus memenjarakanmu dalam ruangan pengap kotor penuh racun dosa.
Cukup!
Segera ia mengakhiri perang batinnya, bangkit, dan sesaat mengkondisikan wajahnya senormal mungkin, lalu melangkah ke arah meja kecil di sudut ruangan. Bunyi-bunyian di perutnya telah mengingatkannya akan rasa lapar yang mulai menggelitiki lambungnya. Begitu ia membuka bungkusan nasi, terlupa sudah kejadian apapun yang baru saja dialaminya, terlepas sudah semua beban pikirannya. Serbuuu, tangannya begitu cekatan naik turun, bolak-balik dari bungkus nasi ke mulutnya, untungnya gigi dan lidahnya begitu kompak dan serasi mengolah nasi hingga hasil kunyahannya dengan lancar melewati kerongkongannya menuju lambung. Tandas, bungkus nasi licin sudah, lambungnya terasa penuh, cacing-cacing pun ikut kekenyangan, santaiii.
“Asyik benar makannya, Rom,” sapa Roki seraya menepuk ringan bahunya dan duduk di kursi sebelah.
“Iya nih, bang, enak banget, pintar juga si Joni beli nasinya,” puji Romeo untuk sedikit  membesarkan hati Joni.
“Yang pintar bukan aku, Bang Romeo, tapi tukang masaknya yang hebat,” rupanya Joni yang agak sungkan juga mendapat cipratan pujian.
****
Romeo tidak ingin berlama-lama berada di rumah Roki, setelah mendapat uang bagiannya dari hasil transaksi hari itu, segera ia meninggalkan rumah itu, pulang, berjalan kaki melewati gang-gang sempit dengan suasana kawasan yang agak kumuh, dipadati oleh rumah-rumah yang berdempetan rapat, tanpa menyisakan sedikit tempat untuk anak-anak bermain. Berbeda sekali dengan keadaan di kampung halamannya, Bangkinang. Walau cuma sebuah kota kecil, tapi suasananya cukup tenang dan tersedia kawasan yang luas bagi anak-anak untuk bermain sesuka hatinya. Sejak ia kecil hingga tumbuh dewasa sekarang, kota kelahirannya itu selalu terasa menyenangkan baginya, dan kerinduan selalu menyeruak dihatinya saat teringat akan kota itu. Aku rindu kampung halamanku. 
Tadi, sebenarnya Roki menyuruh Joni mengantarnya dengan sepeda motor hingga ke rumahnya, tapi ia langsung menolak. Ia tidak ingin satupun rekannya di dunia hitam mengetahui tempat tinggalnya. Baginya, cukup mengenal dan bergaul dengan mereka di satu sisi dunia yang selama ini dianggapnya berada di balik sisi dunianya yang lain, dan rumah tempat tinggalnya adalah sisi dunia lain itu. Di rumah itu ia menanggalkan semua atribut yang dikenakannya selama beraktivitas di luar rumah, di rumah itu juga udara kemerdekaan dihirupnya dengan nyaman, di rumah itu ia bisa sepuas-puasnya menangisi sisi kelam hidupnya, menangisi ketidak berdayaannya menghalau syetan yang terkutuk yang selalu berhasil menusukkan racun-racun dosa di kalbunya, dosa yang dirasakannya semakin menghinakan dirinya di hadapan Rabb-nya.
Romeo masih berada dalam perjalanan, sudah tampak olehnya persimpangan sekitar lima puluh meter ke depan, tempat ia biasa menunggu angkot. Matanya juga menangkap seorang gadis yang menghampiri tiga orang pria yang sedang nongkrong di pangkalan ojek.  Romeo mendengar pembicaraan mereka saat ia mulai mendekat.
“Assalamu ‘alaikum, Pak. Numpang tanya,” kata gadis berbusana muslimah itu sopan, menyapa ketiga pria yang lagi duduk-duduk di atas sepeda motornya.
“Numpang tanya? Oh, boleh, untuk gadis secantik adek semuanya boleh, kok,” bukannya menjawab salam, salah satu pria itu malah mencoba ngelaba, diiringi cekikikan nakal kedua temannya.
Gadis itu sempat terlihat kikuk, namun masih bisa menguasai diri. “Alamat ini di mana, ya, Pak?” tanyanya seraya menyodorkan secarik kertas kepada seorang pria yang posisinya paling dekat dengannya.
Sejenak pria ceking itu manggut-manggut, seakan berpikir. “Tak tau, tuh,” katanya sambil menggelengkan kepala. “Pen, kamu tau alamat ini, tak?” lanjutnya sambil meremas kertas itu hingga menjadi sebuah gumpalan dan melemparkannya ke arah teman di sampingnya, terkena mukanya.
Pria yang terkena lemparan mengumpat. “Monyong kau, Lunak! Baik-baiklah sikit, kau sangka muka aku tong sampah, apa!” lalu gumpalan kertas yang jatuh di kakinya spontan ditendangnya hingga melesak jatuh masuk ke dalam air yang menggenang di badan jalan yang berlubang.
“Astaghfirullah,” gadis itu buru-buru mengambil kertas yang sudah basah itu, tapi pria yang berada di dekatnya dengan usil menarik ujung belakang jilbabnya, hingga menahan langkahnya.
Kurang ajar! Beraninya memperlakukan wanita sedemikian kasar di depan mata kepalaku, bakal berantem lagi, nih. “Hoi, manusia usil, nggak pernah sekolah, ya!” sergah Romeo. Ia sudah berdiri di depan gadis dan ketiga pria itu.
“Siapa kau, beraninya campuri urusan orang!” bentak pria ceking yang barusan menarik ujung jilbab gadis itu, langsung melompat dari sepeda motornya.
“Hantam aja langsung! Tunjukkan Lunak itu siapa!” sambung pria satunya memanasi.
“Benamkan kepalanya ke kubangan air itu!” pria lainnya turut mengompori.
Mendengar dukungan dari kedua suporternya, sepertinya semangat Lunak semakin bertumpuk, agaknya kesombongan telah mengisi penuh rongga dadanya. Dengan membusungkan dadanya yang tipis seperti triplek, Lunak mendekati Romeo seraya berbasa-basi dulu, “Heh, kau tau tidak aku ini siapa!”
Romeo tersenyum mengejek. “Mana aku tau kau siapa, kau kan bukan selebritis yang sering muncul di tivi. Tapi melihat kostum yang kau pakai dan perangai yang kau pelihara, jelas dan tidak bisa dipungkiri lagi kau adalah tukang ojek bermental kerupuk yang beraninya cuma sama cewek, malu-maluin korps tukang ojek aja, kau!”
“Cepatlah, Lunak, kasih aja langsung, biar dia kapok!” hasut rekan si Lunak.
“Mau lomba berbalas pantun atau atau mau berkelahi,” ledek rekannya yang lain, agaknya ia tak sabar lagi menunggu tontonan tinju gratis.
Kontan kegeraman Romeo semakin bertumpuk mendengar ucapan kedua penghasut itu. Kalau kalian mau, kalian berdua bisa ikut terlibat langsung dalam pertarungan yang akan segera dimulai ini. Ia paling benci sama orang yang kerjanya cuma bisa menghasut, sama seperti syetan, makhluk terkutuk yang sering meracuninya itu.
Dengan cepat hati Lunak memanas mendengar hasut ledek kedua rekannya, dimulai dengan membuka rompinya dan melemparkannya ke atas sepeda motornya, lalu menggulung kedua lengan baju kaosnya hingga ke bahu, dan dengan bangga ia menunjukkan otot-otot kuncupnya yang berhias urat-urat kebiruan itu kepada semua orang di situ.
Batin Romeo segera bereaksi. Alamak! Otot segitu aja di banggain, apalagi kalau punya otot kayak otot kekarnya Ade Rai, mungkin  dunia yang akan di guncangnya. “Wah, kekar juga ototmu, Lunak. Tapi sayang cuma sebesar jari kelingking! Pantas aja kau bergelar si Lunak, otot kau selembek panggilan kau, lunak benaaar, hehehe…” sentilnya mengirimkan ledekan sambil melepaskan tawa melihat pertunjukan aksi bina kerangka ala si Lunak.
“Banyak cakap moncong, kau! Hiaaatt…” si Lunak langsung menghambur menerjang Romeo, melayangkan tinjunya dan mengirimkan tendangannya secara membabi-buta, ia benar-benar gelap mata sehingga tidak dapat melihat sasaran serangannya dengan baik, luput semua.
Walaupun mendapat serangan beruntun, Romeo tidak terlalu kesulitan, hanya dengan berulang kali menggeser dan memiringkan tubuh, ia berhasil menghindari serangan lawan yang semakin bernafsu memainkan jurus-jurus kacaunya. Tapi sejenak Romeo terdiam, namun kembali tidak dapat ditahannya kegelian yang masih betah menggelitik hatinya ketika melihat si Lunak tiba-tiba terduduk di tanah sambil mengatur nafasnya yang turun naik seperti kucing kena asma, ditambah lagi dengan lengkingan batuknya yang berulangkali menyembur dari mulutnya.
 “Ha, ha…, Lunak, Lunak. Lunak nian tenaga kau, ha, ha.…”
Gadis yang barusan di usili itu mendekati Romeo. “Udahlah, bang, jangan diteruskan lagi, kita pergi aja dari sini.”
Membuat minat bertarung Romeo memudar. “Baiklah, Lunak, aku pergi dulu. Pikirkan lagi cita-cita kau untuk jadi jagoan, lebih baik kau ngojek ajalah dengan baik, cari rezeki yang halal. Dan satu lagi, perlakukan wanita dengan baik, kalau memang kau terlahir dari rahim wanita, kalau tidak terserah kau, lah,” dan ia segera meninggalkan si Lunak yang masih berjuang melawan kelelahan, dan terus memuaskan hasratnya melepaskan batuknya yang semakin menjadi-jadi. Terbit juga rasa iba Romeo melihat penderitaan si Lunak, niat kuat mau berkelahi malah dihalangi sama kambuhnya penyakit.
Kedua rekan Lunak hanya melihat kepergian Romeo dan gadis itu tanpa ada keinginan untuk memperpanjang masalah. Keduanya segera menghampiri Lunak dan berusaha menghiburnya. “Sebetulnya, kau tadi bisa menang, Lunak. Cuma orang itu agak beruntung, asma kau kambuh saat bertarung.”
“Padahal gerakan-gerakan yang kau peragakan hebat sekali, Lunak, gesit dan lincah, kayak jurus naga menyemburkan api.”
 Lebih tepatnya seperti naga uzur sesak nafas nyemburin batuk. Hehehe...
  Setelah berdiam diri beberapa saat selama berjalan menuju persimpangan jalan, barulah Romeo memberanikan diri menyapa gadis yang kelihatannya agak pendiam itu. “Adek mau kemana?”
“Saya mau nyari alamat rumah kakak sepupu saya, bang. Saya bingung nyarinya. Tadi sempat nanya sama orang-orang itu, tapi malah diusilin,” jawab gadis itu sendu. “Nama saya Aisyah, saya baru datang dari Dumai. Abang tinggal di sekitar sini, ya.”
“Saya Romeo. Saya cuma kebetulan lewat sini, abis dari rumah teman.”
“Bang Romeo, tau alamat ini?” Aisyah memperlihatkan secarik kertas yang basah akibat dicemplungin ke air oleh orang yang mengusilinya tadi. Walaupun sudah agak memudar tapi tulisan yang tertera di kertas itu masih bisa dibaca.
Dahi Romeo berkerut. “Kamu salah masuk jalan, Aisyah. Alamat ini agak jauh dari sini. Kok, kamu bisa nyasar kemari?”
Aisyah menggigit bibirnya. Raut wajahnya semakin muram. “Tadi saya diturinin di sini sama angkot, sebab saya tidak begitu mengenal daerah ini. Emang sih, dulu pernah ke sini, ke rumah kakak sepupu saya itu, tapi udah lama, waktu saya masih SMP. Sekarang keadaan di sini udah banyak berubah.”
Kasian banget, aku jadi ingat Alya, adikku, mungkin mereka sebaya. “Kamu harus naik angkot lagi untuk sampai ke alamat ini. Tapi kalo Aisyah mau, biar abang antar Aisyah ke sana. Abang tau, kok, alamatnya,” ujar Romeo menawarkan bantuan.
Sejenak gadis itu diam saja, mempertimbangkan tawaran Romeo.
 Aku harus membantu Aisyah. Seandainya Alya yang mengalami hal ini, ufff, jangan sampai kejadian, deh.  “Jangan kuatir, abang cuma berniat membantu, kok. Abang mahasiswa, nih kartunya,” sambung Romeo sambil memperlihatkan Kartu Tanda Mahasiswanya begitu melihat sorot mata keraguan di wajah Aisyah.
Norak banget! Pakai  mamerin kartu tanda mahasiswa segala.
Bukannya pamer, aku cuma ingin menghilangkan keraguannya aja.
Aisyah tersenyum kikuk, “Oh, maaf, Aisyah cuma nggak mau menyusahkan Bang Romeo,” ujarnya dan rona merah dengan cepat membias di pipinya. “Bang Romeo kuliah di sini, ya,” tanyanya begitu melihat Kartu Tanda Mahasiswa yang perlihatkan Romeo. “Ntar, Aisyah juga bakal kuliah di sana, tinggal nunggu waktu daftar ulang aja, bang.”
“Oh, ya? Kalo Aisyah mau, ntar abang bantu deh, saat daftar ulangnya. Tapi sekarang kita nyari alamat ini dulu.”
“Wah, Alhamdulillah, terima kasih, bang,” keriangan terpancar jelas di wajah Aisyah, lega, akhirnya datang juga pertolongan Allah padanya.
Dan Allah memberiku  kesempatan membantu gadis ini, batin Romeo senang.
Dapat kesempatan ngurangin dosa, ya.
Iya, lah. Tapi aku ikhlas melakukannya.
Tak perlu menunggu lama, begitu melihat ada angkot lewat, segera Romeo menyetopnya.
“Yuk, Aisyah, naik.”
****
Walaupun sudah mengenal kawasan itu, tetap saja Romeo kesulitan menemukan alamat yang dicari Aisyah. Bahkan berulang kali mereka salah masuk gang. Akhirnya setelah sempat bertanya pada beberapa orang warga sekitar, ternyata alamat yang dicari Aisyah terletak di kawasan perumahan yang memang berada agak jauh dari tempat mereka sekarang. Aisyah hampir-hampir menangis karena putus asa. Barang bawaannya berupa sebuah tas yang cukup besar di geletakkannya begitu saja di jalan dan langsung menghenyakkan tubuhnya di atas tas itu, matanya tampak agak memerah, kelelahan terlihat jelas di wajahnya.
Jangan kuatir, aku pasti akan terus membantumu, dik. “Aisyah, sabar, ya? abang akan bantu Aisyah sampai berhasil menemukan alamat itu,” Romeo mencoba meredakan kegundahan Aisyah.
Aisyah bangkit. “Tapi Aisyah malah semakin merepotkan Bang Romeo,” katanya masih dengan wajah sendunya.
“Nggak apa-apa, Aisyah, abang udah biasa ngalamin hal yang kayak gini. Lagian abang tau kok, perumahan itu ada di mana, udah nggak jauh lagi. Ayo, kita lanjutin lagi nyari alamatnya, udah hampir maghrib, nih. Sini tasnya biar abang aja yang bawa,”  Romeo meraih tas di sisi Aisyah dan memanggulnya di punggungnya.
Pancaran air muka yang penuh semangat kembali bersemi di wajah Aisyah. Mereka berdua kemudian melanjutkan lagi pencarian alamat itu. Setelah berjalan sekitar lima belas menit dan berulang kali bertanya, akhirnya mereka menemukan perumahan yang dicari. Sekarang cuma tinggal menemukan di blok mana rumah kakak sepupu Aisyah itu berada dan mengurutkan nomor rumah yang sesuai. Usaha mereka membuahkan hasil. Ketika, hampir-hampir Aisyah melompat kegirangan ketika melihat seorang ibu muda sedang menggendong anaknya di depan rumahnya.
“Kak Fatimah!” seru Aisyah penuh kegembiraan, dan segera berlari meninggalkan Romeo yang kebingungan.
“Assalamu ‘alaikum, kak,” sapa Aisyah begitu berada di depan ibu muda yang dipanggilnya Fatimah itu.
“Wa ‘alaikum salam. Masya Allah, Aisyah!” sambut Fatimah, keduanya kemudian berpelukan.
Romeo yang sudah berada di halaman rumah cuma tersenyum melihat kegembiraan Aisyah. Ia puas, sudah bisa membantu gadis itu sampai tuntas.
“Kenapa tidak nelpon kakak dulu, kan bisa jemput di terminal,” ujar Fatimah setelah mendengar keluhan singkat Aisyah.
“HPnya low bat sejak masih dalam bus, trus mati, deh,” jawab Aisyah. “Oh, Aisyah sampai lupa, kak. Abang ini yang bantuin Aisyah nemuin alamat ini.”
“Saya, Romeo, kak,” sahut Romeo sedikit rikuh. “Kebetulan tadi ketemu Aisyah yang lagi nyari alamat rumah kakak.”
“Wah, terima kasih sekali, Romeo. Yuk, masuk dulu ke rumah, kalian pasti haus,  kan?” ujar Fatimah.
“Mmm, terima kasih kak, saya langsung pulang aja, udah hampir maghrib,” kata Romeo. “ Aisyah, abang pulang dulu ya? Ntar, kalau kamu mau daftar ulang ke kampus abang, telpon abang, ya. Nih nomornya.”
 Entah kenapa, gadis ini terus aja mengingatkanku pada Alya, adikku yang sangat ingin sekali kuliah, tapi dengan rela hati menunda keinginannya demi melihat kesusahan Bunda. Alya, Alya...
“Iya, bang. Ntar, kalau ke kampus, Aisyah telpon abang deh,” ujar Aisyah riang, tak tampak lagi kelelahan dan kegundahan di wajah manisnya. “Terima kasih banyak, ya bang, udah bantuin Aisyah nemuin alamat ini. Aisyah ngerepotin abang banget, ya?”
Romeo tersenyum. “Nggak apa-apa, Aisyah, sekarang abang yang bantuin Aisyah, mungkin lain kali Aisyah yang malah nolongin abang. Abang pulang dulu, ya? kak, saya pulang dulu, Assalamu ‘alaikum.”
“Wa ‘alaikum salam,” Jawab Aisyah dan Fatimah bersamaan.
Segera Romeo melangkah pergi, keburu maghrib, nih. Namun tiba-tiba ia menghentikan langkahnya ketika mendengar panggilan Aisyah. Ia menoleh dan melihat Aisyah berlari mendekatinya.
Ada apa Aisyah?” tanyanya agak keheranan.
“Bang Romeo, makasih ya,” ujar Aisyah dengan agak menundukkan wajahnya.
Kan tadi udah terima kasihnya,” sahut Romeo. Ia tersenyum geli melihat Aisyah yang agak malu-malu tanggung. Kamu emang mirip Alya,  adikku.
“Makasih udah nolongin Aisyah saat dijailin orang iseng tadi, Aisyah lupa ngucapin terima kasih, soalnya tadi Aisyah kebingungan banget,” rona merah bersemi lagi di wajah Aisyah.
“Yaaah, Aisyah, abang kira ada apa. Ya udah, abang pulang dulu, ya?”
“Iya deh, hati-hati ya, bang?”
“Assalamu ‘alaikum.”
“Wa ‘alaikum salam.”
Romeo melangkahkan kakinya dengan tenang. Walaupun tubuhnya agak kecapean, namun ada sebersit kebahagian di hatinya. Terima kasih ya Allah, Engkau masih memberi hamba kesempatan untuk berbuat baik. Terima kasih, ya Allah, terima kasih.
***
   Malam itu, sehabis sholat Isya, Romeo bergegas menuju rumah Nisa. Walaupun masih capek ia menguatkan hatinya menemui Nisa. Ia tak mau lagi tidak bisa menepati janjinya untuk menemui gadis itu seperti malam kemarin. Ia berjalan menapaki jalan yang sunyi, hanya ada beberapa orang yang sedang duduk menghabiskan malam di warung kopi sambil main catur. Ia melemparkan sapaan begitu melewati mereka, Warga yang ramah, batinnya ketika mendapat balasan sapaan yang ramah juga.
Romeo berhenti depan sebuah rumah besar dan dilingkupi tembok setinggi hampir dua meter, suasana terang benderang mewarnai rumah yang terkesan mewah itu, menampakkan taman-taman yang dihiasi beraneka macam bunga yang indah dan menyejukkan mata. Ia langsung masuk ke pekarangan, Pak Jayadi, dilihatnya seorang pria sekitar lima puluhan tahun sedang duduk di teras, menikmati hisapan rokoknya sambil memandangi ikan-ikan hias yang berenang di kolam kecil yang ada di sebelah kanan teras rumahnya. Pak Jayadi ayahnya Nisa. Romeo sudah lama mengenal pria itu, sosok yang selalu menunjukan keramahan setiap kali ia berkunjung ke rumah itu.
“Assalamu ‘alaikum, Nisa ada, Pak?” sapa Romeo sopan.
“Wa ‘alaikum salam, eh Romeo, sudah lama tidak ke sini,” Jawab Pak Jayadi seraya meletakkan rokoknya di atas asbak. “Ayo duduk di sini, Nisa ada kok, udah gelisah nungguin kamu dari tadi,” candanya. “Gimana kuliahnya.
“Alhamdulillah baik, pak, lagi mulai nyusun skripsi,” jawab Romeo setelah duduk di kursi di samping Pak Jayadi.
“Akhir tahun ini bisa selesai dong, kuliahnya.”
“Insya Allah, harapan saya sih begitu, pak. Nisa juga.”
“Syukurlah kalau kalian punya niat untuk menyelesaikan kuliah lebih cepat. Kamu bantuin Nisa, ya?”
“Kami saling bantu kok, pak.”
Tiba-tiba Nisa sudah berdiri di depan pintu, seperti biasa, masih dengan busana Bidadari surganya, begitu kata hati Romeo setiap kali melihat Nisa.
“Ayah, kok Nisa nggak dikasih tau kalau Romeo udah datang,” Nisa berujar dengan nada agak cemberut.
Nisa, Nisa, cemberut aja manis apalagi tersenyum, batin Romeo, dan ia merasakan getaran aneh namun menyenangkan itu lagi.
Pak Jayadi tertawa ringan. “Ooh, ayah sampai lupa. Habis, keasyikan ngomong, sih. Ayo Romeo, masuk. Kalian mau belajar bareng, kan? di dalam aja.”
“Di sini aja pak, lebih enak, pandangan lebih bebas,” Jawab Romeo.
Nisa senyam-senyum saja, sambil meletakkan setumpuk buku di atas meja.
“Kalau begitu ayah aja ya, yang masuk ke dalam. Kalau ayah di sini, kalian tidak konsentrasi lagi belajarnya,” ujar Pak Jayadi segera berlalu masuk ke dalam rumah.
“Rom, ini contoh skripsi yang aku bilang kemarin,” kata Nisa kemudian sambil menyodorkan dua buah foto kopian skripsi kepada Romeo.
“Wah, pas banget, nih! ‘Analisis Kinerja Keuangan’ dan “Akuntansi Pajak’!” seru Romeo kegirangan begitu membaca judul kedua contoh skripsi itu. Ini yang kucari selama ini.
Romeo memang memang memilih Analisis Kinerja Keuangan sebagai acuan bahan Skripsiku, khususnya Kinerja Keuangan Daerah. Ia juga memilih daerah asalnya, yaitu Kabupaten Kampar sebagai objek penelitiannya. Setelah melalui proses birokrasi yang cukup panjang dan berbelit-belit, akhirnya ia berhasil mendapatkan data berupa enam lembar foto kopian laporan keuangan daerah dalam bentuk Laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selama tiga tahun terakhir. Ia sangat antusias sekali melakukan penelitian itu, karena melakukan penelitian dengan menggunakan metode Analisis Keuangan Daerah, ia bisa mengetahui apakah pengelolaan keuangan di daerahnya yang dilakukan oleh pemerintah setempat berlangsung dengan efektif dan efisien, sehingga tujuan pembangunan daerah yang tepat sasaran dapat tercapai.
Sedangkan Nisa lebih memilih ‘Akuntasi Pajak’ sebagai acuan bahan skripsinya. Berbeda dengan Romeo yang harus berjuang untuk memperoleh data yang diperlukannya, Nisa mendapatkan dengan mudah data untuk bahan penelitiannya, karena ia menggunakan laporan keuangan perusahaan ayahnya sebagai objek penelitiannya. 
Malam itu Romeo dan Nisa lebih banyak berkutat membahas permasalahan skripsi mereka. Romeo dan Nisa memang jarang sekali bisa berbicara asyik selain membicarakan sesuatu yang serius, yaitu soal perkuliahan dan diskusi rohani. Mereka berdua jarang sekali membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan masalah hati ke hati layaknya ‘pembicaraan sepasang anak muda’.
Padahal kepengen juga, sih, harapan indah yang selalu tersimpan  di hati Romeo.***

Bersambung Ke Bagian 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar