“Kok diambil lagi kulit pisangnya, Ko” suara itu begitu mengagetkan terdengar di telinganya.
“Eh, Bunda. Ini, Riko cuma pengen tau aja, siapa sih yang buang kulit pisang disini” jawab Riko. Sesaat ia terlihat sibuk merapikan buku-buku di meja coba menyamarkan suasana hatinya.
“Mungkin si Neto, tadi Bunda lihat ia masuk ke kamar kamu,” ujar Bunda menyebut nama keponakannya yang memang sering menyinggahi kamarnya. “Makan malam udah Bunda siapin, makan gih sana,” sambung Bunda dan segera berlalu.
“Indah, aku kangen banget sama kamu,” gumam Riko lirih, ia baringkan tubuhnya di kasur, pikirannya melayang jauh menembus batas terjauh di alam pikirannya…
“Siapa sih yang buang kulit pisang sembarangan, orang bisa celaka, tau” gerutu Riko, tangannya sibuk menggusap-ngusap bokongnya yang terasa berdenyut lumayan sakit, sehabis ia jatuh terduduk akibat menginjak kulit pisang yang tergeletak begitu saja di jalan.
“Eh kaciaaan deh luuu… Nginjak kulit pisang aja, jatoh” terdengar olehnya suara mungil dari halaman rumah seberang jalan tempat ia jatuh.
“Jitak aja sini kalo berani, weeee,” ujar anak itu pasang wajah terjelek yang ia punya.
“Raka, gak boleh kayak gitu, gak sopan. Main di dalam aja sana,” ujar seorang gadis tiba-tiba muncul dari dalam rumah, lalu mendekati Riko yang masih setia memegangi bokongnya yang berdenyut.
“Maaf banget ya, Raka kadang-kadang memang suka bandel. Kamu kenapa?” Sesaat mata gadis itu melirik kulit pisang yang lumat terinjak Riko lalu pandangannya beralih ke tangan Riko yang belum beranjak dari bokongnya.
“Kamu abis jatuh ya?” ujarnya lembut seraya mengangsurkan tangannya ke arah bagian tubuh Riko yang berdenyut itu.
“Eeeh, kamu mau apa?” refleks Riko menjauhkan bokongnya.
“Maaf, sakit ya,” tampak keprihatinan di wajah manis gadis itu.
“Oh, nggak, gak apa-apa kok. Cuma agak pegal dikit aja,” ujar Riko berusaha tersenyum, gak mau disangka cemen.
“Kenalin saya Indah, baru seminggu yang lalu pindah kesini” ujar gadis itu mengulurkan tangannya kearah Riko, senyum manis masih menghiasi wajahnya.
“Saya Riko, rumah saya di ujung jalan sana yang dicat warna hijau lumut” sesaat rasa sakit di bokongnya menghilang begitu telapak tangannya menggenggam telapak tangan Indah yang halus.
Sejak pertemuan itu Riko dan Indah semakin dekat, maklum Indah belum punya banyak teman ditempat baru itu. Beberapa kali bahkan Riko mengajak Indah menaiki “Jericho ” motor gede kesayangannya mengunjungi danau buatan yang berada tak jauh dari kompleks perumahan mereka, sekedar untuk menyaksikan belibis-belibis putih liar yang berenang di danau itu.
Danau itu juga yang menjadi saksi ungkapan cinta Riko kepada Indah untuk pertama kalinya. Sore itu, saat mereka berada diatas perahu menikmati pemandangan danau….
“Riko, kamu itu kenapa sih. Biasanya kalo ngomong gak pake minta izin segala, langsung,” ujar Indah tertawa ringan, terlihat begitu riang, itulah yang membuat Riko suka padanya. “Katanya mau ngomong, kok diam. Ya udah deh, kamu ngomong aja, aku bakal jadi pendengar yang baik deh, janji,” sambung Indah sambil mengacungkan dua jari tangannya begitu melihat Riko bengong menatap wajahnya.
“Indah, aku…,” Riko diam sesaat, menatap wajah Indah dalam-dalam, cantik, mirip banget sama Asmirandah, artis muda favoritnya. “Indah, aku suka kamu” kali ini begitu hati-hati Riko mengeluarkan suaranya bahkan hampir-hampir tak terdengar.
Sejenak Indah pasang muka kaget. Tapi mendadak ia tertawa ringan merperlihatkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi. “Riko, kamu gak lagi becanda kan ?” ujarnya kemudian.
Sesaat Riko melirik kearah tukang perahu yang pura-pura tak acuh, asyik mempermainkan dayung ditangannya dipermukaan air danau. “Indah, aku sungguh-sungguh suka sama kamu,” kali ini Riko sudah mampu mengeluarkan suaranya dengan mantap.
“Riko, bener kamu suka sama aku. Kamu kan belum sebulan mengenal aku,” ujar Indah mencoba mengetahui kesungguhan hati Riko.
“ Indah, sejak pertama kali aku melihat kamu, aku sudah suka sama kamu. Apalagi hampir sebulan terakhir ini kita sering bersama. Kamu itu periang banget, apa adanya, dan…cantik,” Riko coba yakinkan Indah.
“Riko, sebenarnya aku…juga suka kamu. Kamu itu baik, simpatik dan sering ngajak aku jalan saat aku merasa kesepian di rumah,” Indah berujar dengan menundukkan wajahnya yang bersemu merah.
“Kalo gitu sekarang kita resmi jadian, dong,” ujar Riko gembira.
Anggukan pelan dan senyuman termanis Indah yang pernah dilihat Riko, membuatnya melompat kegirangan sehingga lupa kalau ia lagi berada diatas perahu, akibatnya perahu kecil itu oleng kesamping dan tak ayal lagi tubuh Riko yang kehilangan keseimbangan jatuh kedanau. Byuuur!!!
“Sayang, hati-hati dong, ayo cepat naik,” ujar Indah dengan wajah cemas mencoba menarik tangan Riko yang bergelantungan didinding perahu.
“Sayang? kamu manggil aku sayang, Indah,” ujar Riko tertegun, menyempatkan diri menatap wajah Indah, seakan tak ingin melepaskan pandangannya.
“Ayo dong sayang cepat naik, ntar kamu sakit, lagi,” ujar Indah kali ini berusaha lebih kuat menarik tangan Riko, tapi tubuhnya malah ikut tertarik dan jatuh kekelamnya air danau, pegangan tangan Riko terlepas.
“Indaaah!!! kamu dimana, pak tolong, cepat!” teriak Riko panik melihat tubuh Indah menghilang dari pandangannya.
Tukang perahu pun langsung terjun kedanau. Berulang kali mereka coba menyelami danau, tapi tetap tak menemukan Indah. Akhirnya walaupun sudah dibantu oleh banyak orang di sekitar danau, tetap saja tubuh Indah tidak ditemukan. Pencarian dilanjutkan keesokan harinya, nihil. Berlanjut kehari-hari berikutnya mereka masih belum berhasil menemukan tubuh Indah. Menurut cerita orang-orang yang bermukim di sekitar danau mungkin tubuh Indah disembunyikan oleh penunggu danau, korban tahunan katanya.
Riko sangat terpukul akan peristiwa itu, berulang kali ia menyalahkan dirinya. Bahkan ia pernah ia mencoba menenggelamkan dirinya kedanau, beruntung orang-orang di sekitar danau berhasil mencegahnya. Sampai akhirnya orang tua Indah dengan arif dan bijaksana memberikan pengertian kepada Riko, bahwa Indah sudah kembali ke asalnya yaitu ke sisi Sang Pencipta Yang Maha Agung, barulah Riko cukup bisa menerima kenyataan pahit yang menimpanya.
Suara nyaring deringan Hpnya membuat Riko terbangun dari lamunan ke alam sadarnya, kepalanya terasa pusing sesaat, pandangan matanya berkunang-kunang. Tangannya bergerak-gerak mencoba menjangkau sesuatu, sampai akhirnya menyentuh sesuatu di balik bantalnya…
"Assalammualaikum, ada apa Bob?" ujarnya begitu tau temannya Bobi yang meneleponnya.
“Wa alaikum salam. Ko, lu kenapa, suara lu kok berat gitu, lu sakit ya? wah kacau nih, besok kan tim kita main di final,” ujar Bobi dengan nada agak cemas, maklum Riko adalah shooter terbaik yang dimiliki tim basket mereka.
“Biasa aja lagi, Bob. Gue gak apa-apa kok, insya Allah besok gue bisa All out kok mainnya, tenang aja, ok?"
“Nah gitu dong, lega gue sekarang. Ok lah kalo gitu Tim Duncan, gue cuma mau mastiin keadaan lu aja kok, udahan dulu ya? assalammualaikum.”
“Wa alaikum salam,”
Segera Riko bangkit dari pembaringannya, digelengkannya kepalanya sesaat, rasa berat di kepalanya sudah mulai tak terasa, lalu berjalan keluar kamar, lapar.
****
Hari itu adalah partai final bola basket antar Universitas di kotanya, dimana Tim Universitas yang dimotori Riko akan bertanding untuk meraih gelar juara. Suasana di Gelanggang Olahraga tempat partai final itu berlangsung sangat meriah, ramai dipenuhi penonton. Suasana yang membuat adrenalin Rico berpacu kencang, ia begitu berharap timnya keluar sebagai pemenang, maklum ini adalah partai final pertama dalam hidupnya, takkan disia-siakannya begitu saja.
Pertandingan yang ditunggu-tunggu pun dimulai. Masing-masing tim memperlihatkan keunggulan skillnya mengolah bola. Pertandingan berjalan semakin seru, masing-masing tim bergantian memimpin perolehan point. Riko bermain layaknya Tim Duncan, aktor bola basket NBA idolanya sejak SMP, tubuhnya bergerak lincah mendribel bola, meliuk-liuk mengecoh lawan, dan berulang kali melepaskan tembakan mematikan yang menjebol keranjang tim lawan.
Riko dan anggota timnya semakin bersemangat, tanpa ampun terus menerus menekan tim lawan. Sampai akhirnya dalam suatu kesempatan, Riko mendapat assist matang dari Bobi dan dalam posisi yang bebas tanpa terkawal pemain lawan ia bersiap melesatkan bola kearah keranjang tim lawan, tangannya sudah terangkat keatas dalam posisi menembak, tapi entah mengapa, matanya samar-samar melihat sosok orang yang begitu dikenal dan dirindukannya di antara penonton yang berdiri menanti lesakan tembakan mematikannya…
"Riko! Shoot, shoot !!!" berulang kali Bobi meneriakinya, tapi Riko masih berdiri seperti patung dalam tatapan yang tak dimengerti oleh rekan-rekannya maupun semua orang yang berada di situ.
Tim lawan tak ambil pusing, steal. Bola di tangan Riko diambil dengan mudah oleh pemain lawan, dan melalui sebuah serangan kilat berhasil menjaringkan bola.
“Riko, kamu istirahat dulu, Deni kamu masuk!” ujar Pak Irwin pelatihnya saat time out.
Riko segera berlari ke banch cadangan, berdiri sejenak, matanya mencari sosok orang yang barusan dilihatnya, tak ada lagi.
Pertandingan sore itu benar-benar menjadi milik Tim Riko, tim lawan tak mampu meladeni permainan kolektivif timnya dan Akhirnya harus merelakan gelar juara menjadi milik tim Riko. Seluruh pemain, offisial tim dan suporter bergembira ria sore itu, mengangkat trofi juara dengan bangga, termasuk Riko. Ia sangat puas, kerja keras ia dan timnya berhasil. Obsesinya untuk meraih gelar juara terwujud. Riko pun melakukan victory lap, berlari mengelilingi lapangan dengan trofi juara di tangan.
Tapi…tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu yang lembek dan licin, tubuhnya kehilangan keseimbangan, terhempas ke pinggir lapangan, pandangannya gelap…
“Sayang, aku kangen kamu,” suara lembut yang begitu dikenalnya membuat pandangan matanya normal kembali.
“Indah ??? kamu…,” suara Riko terhenti begitu jari telunjuk gadis itu menempel lembut dibibirnya.
“Ayo kita pergi dari sini” ujar Indah pendek, menarik tangan Riko yang masih bengong, menyibak kerumunan orang-orang dan segera berlalu dari tempat itu.
Sesaat kemudian mereka sudah berada di atas Jericho melacu dengan elegan menyusuri jalan naik turun ke tempat yang biasa mereka kunjungi, danau buatan, menyaksikan belibis-belibis putih liar berenang.
“Sayang, aku kangen kamu,” bisik lirih Indah ketika merebahkan kepalanya di bahu Riko yang duduk menyandar di pohon akasia yang rimbun.
“Indah, kamu kemana aja selama ini, aku sangat kehilangan kamu,” ujar Riko membelai lembut rambut Indah yang halus.
“Sayang, kamu mau tau, kemana aja aku menghilang selama ini, yuk ikut,” ujar Indah masih dengan tawa riangnya seperti biasa, berdiri dan berlari pelan melewati pohon-pohon akasia, menuruni tangga-tangga batu ke arah pinggir danau.
“Indah, tunggu…,” Riko segera berlari mengikuti Indah yang sudah berdiri dipinggir danau, di bawah sebuah pohon akasia tua. Namun sial, kakinya kesandung akar pohon akasia yang menyembul ke permukaan tanah, tubuhnya rebah ketanah. Ia menggeliat sesaat…
“Alhamdulillah, Riko, kamu sudah sadar nak,” Riko melihat Bundanya sudah duduk disamping tempat tidurnya, mengusap lembut kepalanya.
"Ada apa, Bunda?" Tanya Riko keheranan kamarnya dipenuhi banyak orang.
“Riko, kamu sudah hampir dua jam tak sadarkan diri. Kata Bobi, kamu jatuh kepeleset akibat nginjak kulit pisang saat merayakan kemenangan tim kalian,” jelas Bunda.
"Indah, Indah mana?" Tanya Riko lagi.
"Indah???" Semua orang di kamar itu mengernyitkan dahinya, keheranan.
“Ya, sudahlah, mungkin ia sudah pulang ke rumahnya. Aku mau mandi dulu, gerah. Ntar mau kerumah Indah,” ujar Riko bangkit dari pembaringannya berjalan keluar kamar melewati orang-orang yang memandangnya dengan seribu tanda tanya.
Begitu melewati ruangan tengah, ia melihat sesuatu, “Kulit pisang, siapa sih yang naruh disini…bodo ah,” gumamnya segera melangkah ke kamar mandi, masuk… waduh, gue lupa lagi bawa handuk,” gerutunya.
Segera ia keluar lagi dari kamar mandi, melewati ruangan tengah…kakinya terasa menginjak sesuatu yang lunak dan licin, tubuhnya terasa oleng dan tiba-tiba kepalanya sudah menyentuh lantai, sakit sekali, pusing.
“Sayang, aku kangen kamu,” hanya kalimat itu yang terngiang di telinganya. Kemudian suasana berubah kelam, pekat. “Aku datang sayang…”****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar