Keesokan harinya, sepuluh menit sebelum jam tujuh pagi, Orik dan Mario sudah berada di ruang majelis guru, di depan meja Pak Sanusi. Orang yang di tunggu ternyata belum datang.
Setelah sesaat menunggu. “Rik, kita taruh aja nih tugas di sini. Sumpret, gue laper berat nih, kebelet mo ke kantin. Tadi kan kita nggak sempat sarapan karena buru-buru ke sini,” kata Mario sambil meletakkan kertas tugasnya di atas meja.
“Tunggu aja bentar, Yo. Gue nggak sreg kalo nggak nyerahin nih tugas langsung ke tangan Pak Sanusi. Lagian belum jam tujuh kok, kita aja yang kerajinan nyampe pagi-pagi ke sini,” jawab Orik masih menggenggam kertas tugasnya.
“Ya, iya deh. Kita tunggu bentar lagi, tapi cuma sampai jam tujuh lewat lima . Gue laper nih,” rengek Mario.
“Iya, gue tau lo laper. Tapi lo pikir lambung lo aja yang kosong! Gue juga, sabar dikit kenapa!” sungut Orik sedikit kesal.
“Sudah lama nunggu!”
Orik dan Mario serempak menoleh, tampak Pak Sanusi lagi berada di ambang pintu lalu mendekati keduanya. “Gimana tugasnya, selesai?” tanya Pak Sanusi sambil menepuk bahu anak didiknya itu.
“Udah, pak,” jawab Orik dan Mario serempak.
“Itu pak, udah saya taruh di meja,” tunjuk Mario.
“Ini tugas saya, pak,” kata Orik sambil menumpuk kertas tugasnya di atas kertas tugas Mario.
Pak Sanusi mengambil tumpukan lembaran kertas folio itu dari atas mejanya, lalu membaca dan menelitinya. Setelah beberapa saat, dahinya mengernyit lalu menatap Orik dan Mario yang menunggu dengan tegang. “Hebat! Ini semua kalian sendiri yang mengerjakannya?” kagumnya.
Sejenak Orik dan Mario terdiam lalu saling berpandangan.
“Sungguh pak, kami mengerjakannya sendiri-sendiri, hanya saja…” setelah sempat memberanikan diri menjawab, Mario tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
Pak Sanusi semakin dalam menatap keduanya. “Hanya apa?”
“Hanya saja kami dibimbing oleh ayah saya mengerjakan tugas ini, pak. Tapi sungguh, pak, kami kok yang mengerjakannya. Ayah saya cuma sebatas memberikan penjelasan dan membantu kami membahas beberapa soal. Tapi sisa soalnya kami kok yang mengerjakannya, pak,” terang Orik.
“Kami sekarang sudah sedikit mengerti cara menyusun laporan keuangan, pak. Kami menyesal, karena selama ini kami tidak begitu sungguh-sungguh mengikuti pelajaran yang bapak sampaikan,” tambah Mario, sejenak ia lupa akan rasa lapar yang sempat membelit perutnya.
Pak Sanusi mengembangkan senyum. “Baguslah kalau begitu. Saya senang kalau kalian sudah menyadari kesalahan kalian selama ini,” Lalu Pak Sanusi terdiam sejenak. “Orik, tadi kamu bilang bahwa kalian berdua di bantu oleh ayah kamu mengerjakan tugas yang saya berikan ini. Maaf, Ayah kamu mengerti pelajaran akuntansi?”
“Ayah Orik itu Akuntan, pak. Beliau juga seorang Dosen,” malah Mario yang menjawab begitu melihat sohibnya tertegun mendengar pertanyaan gurunya itu.
“Oh, benar Ayah kamu itu Akuntan dan juga Dosen, Rik?” Pak Sanusi terlihat terkejut. “Pantas saja kalian bisa mengerjakan tugas sebanyak itu. Sebab siswa yang paling pintar pun tidak akan sanggup menyelesaikan tugas sebanyak itu dalam semalam.”
“Kami mengerjakannya hingga hampir pukul dua dini hari, pak. Tapi sungguh, pak. Ayah saya cuma sebatas membimbing aja, tidak langsung menunjukkan jawabannya,” kata Orik cepat.
Mario mengangguk tanda menyetujui perkataan sohibnya itu.
Pak Sanusi tersenyum lagi. “Saya percaya seorang Akuntan profesional dan Dosen seperti Ayah Orik tentu tahu cara mendidik dan menularkan ilmu yang baik. Tapi yang jelas saya puas dan bersyukur, kalian sudah berhasil memenangkan perjuangan kalian. Walaupun bapak merasa keberhasilan kalian itu adalah karena bimbingan Ayah kalian. Mungkin selama ini saya tidak pernah berhasil mengajar kalian dengan baik,” wajah guru paruh baya itu terlihat sedih.
“Oh, tentu saja tidak pak. Bukannya bapak tidak berhasil mendidik kami. Tapi selama ini kami lah yang tidak pernah sungguh-sungguh memperhatikan apa yang telah bapak ajarkan. Kejadian kemarin murni karena kesalahan kami, pak. Bukan karena ketidak berhasilan bapak mengajar kami,” koreksi Orik lalu ia menunduk dengan mata sedikit berkaca-kaca.
“Iya, pak. Pak Fadly, Ayah Orik juga bilang begitu. Katanya selama ini mungkin kami memang kurang serius dalam menerima pelajaran. Dan itu kami akui, pak,” Tambah Mario. “Saya janji, pak, untuk selanjutnya akan selalu memperhatikan kalo bapak lagi memberikan pelajaran.”
“Saya juga, pak,” timpal Orik.
“Saya sungguh senang mendengarnya,” kata Pak Sanusi dengan mata berisi bayang-bayang air. “Tapi saya harap kalian serius dalam mempelajari semua mata pelajaran, bukan hanya pada mata pelajaran yang saya ajar.”
“Oh, tentu pak, maksud kami juga begitu, iya kan , Yo?” kata Orik sambil menyikut Mario.
“Yoa, bro!” seru Mario penuh semangat, membuat beberapa orang guru yang mulai berdatangan menoleh ke arahnya.
“Sopan dikit kenapa sih,” bisik Orik.
“Oh, maaf, pak. Saya terlalu bersemangat,” ujar Mario sedikit rikuh.
“Tidak apa-apa. Bapak justru senang melihat anak muda seperti kalian yang selalu memiliki semangat yang menggelora, apa lagi disaat sedang menuntut ilmu,” kata Pak Sanusi. Sesaat ia melirik ke arah dua orang siswi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang Orik dan Mario. “Ada apa, nak?” tegur Pak Sanusi.
Orik dan Mario serempak menoleh ke belakang.
Farah?
Nindy?
Farah dan Nindy tersenyum.
“Maaf, pak, ini ada surat . Tadi ada orang tua siswa yang minta tolong menyampaikan surat ini ke guru piket,” kata Farah diikuti anggukan Nindy.
Farah lalu menyodorkan sepucuk surat kepada Pak Sanusi.
“Oh, terima kasih. Kebetulan saya yang sedang piket sekarang,” ujar Pak Sanusi begitu menerima surat yang diberikan Farah.
“Maaf Pak, kami sudah boleh pergi,” Mario tiba-tiba nyeletuk seraya mengelus perutnya yang berkokok terus dari tadi, tidak memedulikan sikutan pelan Orik.
“Ya, silahkan. Sekali lagi, saya bangga punya siswa yang selalu ingin maju seperti kalian berdua,” jawab Pak Sanusi.
Muka Orik dan Mario sedikit memerah, dan sesaat menikmati sensasi aneh, merasakan seolah tubuh mereka sedang melayang tinggi. Dipuji kayak gitu, bangga dikit boleh, dunk. Apalagi ada gebetan mereka di situ, sambil tersenyum lagi. Duh, sering-sering aja ngalamin kejadian kayak gini.
“Kami permisi dulu, pak,” kata Orik dan Mario.
“Kami juga permisi, pak,” timpal Farah dan Nindy.
“Ya, silahkan,” jawab Pak Sanusi. Ia tertegun sejenak melihat kepergian siswa-siswinya itu. Semoga saja Orik dan Mario memang benar-benar berubah.
Di luar ruang majelis guru, Orik menyapa Farah. “Maaf, Fa. Aku… aku nggak bisa datang ke rumah kamu malam minggu lalu. Mobil di bawa sama Tari,”
Farah tersenyum manis. “Lho, bukannya malam itu abang juga udah ngasih kabar kayak gitu. Tapi, nggak apa-apa kok.”
Mario melirik Nindy sambil mengonsep kalimat di benaknya. Tapi belum sempat ia berkata gadis itu sudah mendahuluinya. “Nggak apa-apa kok, bang. Lagian tugas bikin blog itu sampai minggu depan kok batas waktunya. Iya kan , Fa,” ujar Nindy sambil melirik Farah.
“Ya, tapi Bang Orik dan Bang Mario masih mau kan bantuin kami berdua bikin blog itu,” tukas Farah riang.
“Mau banget,” sambut Orik kegirangan menyambut permintaan adik kelas en gebetannya itu. “Ssst, mbek…” bisiknya begitu melihat Mario cuma cengar-cengir tanpa kata.
“Of course, why not!” jawab Mario segera dengan wajah cerah, tapi… Kryuk!
Farah dan Nindy sama-sama tertegun sejenak. Kokokan siapa tuh!
“Ya, udah deh, kasian tuh perut lo. Yuk kita kantin,” ajak Orik segera.
“Kalian berdua ikut juga, ya?” pinta Mario.
“Makasih, nggak usah deh. Aku udah sarapan tadi di rumah. Kamu, Fa?” kata Nindy.
“Aku juga udah. Abang berdua aja deh yang ke kantin. Kami langsung ke kelas aja. Yuk Nin. Dah…” kata Farah sambil menarik tangan Nindy.
“Dah… selamat sarapan, ya?” sambung Nindy.
“Dah juga…” balas Orik dan Mario sambil melambaikan tangan ke arah kedua gebetannya yang berjalan riang menuju kelas mereka.
Kryuk! Bunyi itu lagi. Tanpa berkata-kata lagi Mario segera melangkah ke kantin dengan setengah berlari, diikuti Orik yang berusaha menjejeri langkah sohibnya itu.
Sesaat kemudian keduanya sudah asyik menikmati lontong sayur di kantin.
“Cepeten abisin lontong lo, bentar lagi mau bel, nih,” ujar Mario sambil menyeruput habis teh hangatnya. Isi piring lontongnya sayurnya sudah tandas bersih.
“He, eh,” Orik terus memasok makanannya ke mulut.
Teeettt!!! Suara bel yang usil itu memekak nyaring. Orik menyeruput minumannya dan langsung ikut bergegas keluar kantin begitu ditarik Mario.
“Bayarnya ntar aja pas jam istirahat, bu!” teriak Orik sambil terus berlari ngikutin Mario.
Ibu penjaga kantin mengangguk seraya tersenyum. Ia paham betul tabiat Orik dan Mario yang sudah dua tahun lebih menjadi pelanggannya. Dan dalam ingatannya kedua anak muda itu memang tidak pernah mempunyai catatan hutang yang buruk padanya. Palingan kalau kepepet, hari ini ngutang besok sudah dibayar.
Pagi itu Orik dan Mario berusaha keras memusatkan perhatiannya memperhatikan Pak Heri yang mengajar mata pelajaran bahasa Inggris. Keduanya memang sudah bertekad untuk merubah cara belajarnya yang selama ini terkesan malas-malasan, santai dan jauh dari serius. Mereka seakan sadar bahwa mereka sekarang sedang memasuki semester kedua di kelas III, dan sudah terbayang di benak mereka gimana bisa mereka masuk ke perguruan tinggi favorit kelak jika lulus SMU hanya dengan nilai pas-pasan dan ilmu yang tak seberapa yang tersimpan di memori otak mereka. Iya kalau lulus, kalau nggak? Uh, jangan sampai kejadian deh.
☺☺
Ketika bubaran sekolah, Orik dan Mario nongkrong di depan pos security. Mereka berniat menunggu Farah dan Nindy. Hari ini mereka berdua ingin melunaskan janjinya pada kedua gadis itu.
“Ngapain mobil si Robin nangkring di situ,” celetuk Mario sambil memonyongkan mulut ke sebuah mobil sedan sport hitam yang terparkir elegan di luar gerbang sekolah.
“Lagi nungguin ceweknya kali. Lagian biasanya lo nggak pernah peduli sama tuh orang,” ujar Orik sambil terus celingukan menunggu Farah dan Nindy lewat.
“Bukan gitu, biasanya tuh anak kan markir mobilnya di parkiran tetapnya di sebelah warnet Bang Anton,” Mario masih terus memandangi mobil itu. “Rik, sekali-kali lo bawa Honda Jazz lo ke sekolah napa, gue kan bisa nebeng. Biar kita bisa nampang juga kayak si Robin sambil nungguin gebetan.”
“Yo, lo kan tau peraturan sekolah kita. Siswa dilarang bawa mobil ke sekolah! Jelaskan? Cuma si Robin aja yang ngotot bawa mobil walau harus nyewa parkiran khusus di depan warnetnya Bang Anton.”
“Yah, Orik. Kita kan bisa nyari tempat juga buat parkiran mobil lo. Tuh, di depan rukonya Koh Akiong masih lowong, cukup buat tempat mobil lo.”
“Iya juga sih. Tapi bokap gue udah tau duluan kalo sekolah kita nggak bolehin siswanya bawa mobil ke sekolah. So peraturan bokap gue juga jelas, nggak boleh bawa mobil ke sekolah!” ujar Orik tegas. “Tapi kalo lo emang ngotot mau bawa mobil ke sekolah, kenapa nggak lo coba minjem mobil bokap lo aja!”
Mario cuma memonyongkan mulutnya.
“Lagi monyongin siapa, bang?” sapa Nindy yang tiba-tiba sudah menghentikan motor maticnya di depan Orik dan Mario. Farah yang memboncenginya tersenyum geli.
Mario menoleh. Aduh, Nindy sama Farah, muncul kok saat kondisi mulut gue lagi berantakan. “Eh, Nindy, Farah. Enggak lagi monyongin siapa-siapa kok,” sahut Mario kikuk sembari menata kondisi mulutnya.
“Mario kalo lagi olahraga mulut emang kayak gitu tuh,” timpal Orik seraya menebar senyum simpatik.
“Olah raga mulut?” kata Farah dan Nindy barengan.
“Nggak usah dipikirin deh, kan tadi udah capek mikir dari pagi sampai siang,” kata Mario. “Kalian berdua mau langsung pulang?” lanjutnya.
“Ya, iyalah, bang, mau kemana lagi,” jawab Nindy sambil tergelak ringan.
Farah cuma tersenyum geli.
“Ngapain lo nanya kayak gitu, konvensional banget,” bisik Orik.
“Bodo!” sewot Mario.
“Bang Orik dan Bang Mario lagi nungguin siapa? Kok nggak langsung pulang?” tanya Farah.
“Kan lagi nungguin Farah sama Nindy,” jawab Mario cepat.
Kontan membuat kedua gadis itu tersipu malu, dan terdiam sejenak. Tapi Orik cepat mengantisipasi. “Katanya mau dibuatin blog. Kami berdua nggak enak, nih. Serasa punya utang.”
“Iya, kami kan udah janji mau bantuin kalian buat blog. Kapan nih kami bisa mulai,” timpal Mario. “Ntar malam….”
“Eh, Nindy, lo mau pulang, ya? Bareng mobil gue aja,” tiba-tiba Robin sudah muncul di dekat mereka.
Dasar nggak tau sopan santun nih orang. Gue lagi ngomong, eh main nyalip aja kayak angkot. gerutu Mario kesal dalam hati. Pakai ngajak pulang bareng gebetan gue lagi. Sok pamer!
“Oh, makasih bang, saya kan bawa motor. Lagian kan saya mau ngantarin Farah pulang dulu,” tolak Nindy sambil tersenyum tipis.
“Biar Farah aja yang bawa motor lo. Lo ntar biar gue yang antar pake mobil. Tapi kita main ke mal dulu bentar, ya?” ajak Robin lagi.
Kampungan banget sih, nih orang. Gebetan gue udah bilang nggak mau, malah ngotot lagi. Gue jadi naik darah nih. geram Mario dalam hatinya, tangannya terkepal erat.
“Ssst, kalem bro, santai,” bisik Orik mengingatkan sohibnya yang mulai menggeram kesal.
“Maaf Bang Robin, Nindy pulang dulu. Bang Mario, ntar malam bisa ke rumah, kan ?” kata Nindy seraya menekan electric starter motornya.
“Bang Orik, ntar malam ke rumah, ya?” sambung Farah sambil mengenakan helmnya.
“Ok, deh,” Mario dan Orik menjawab gembira penuh kemenangan.
“Daaah…” Nindy dan Farah pun melaju dengan motornya.
“Kita punya harapan baru lagi, bro!” seru Mario sambil melakukan tos dengan Orik.
“Ya, dan harapan itu akan terus jadi milik kita!” sambut Orik riang.
Sedangkan Robin diam saja sambil menekuk wajah, kesal, membalikkan badan dan bergegas menuju mobilnya, naik dan segera melaju kencang dengan meninggalkan bunyi memekakkan telinga dari suara knalpot racing mobilnya.
“Rupanya dari tadi tuh orang lagi nungguin Nindy. Gue kira lagi nunggu gebetannya, eh ternyata malah ngincer gebetan gue. Sial, ada saingan nih gue,” gerutu Mario dengan tangan terkepal.
“Santai kawan, Nindy kayaknya lebih milih lo. Buktinya dia nyuruh lo datang ke rumahnya ntar malam,” ujar Orik berusaha menenangkan sohibnya.
“Iya, sih. Tapi terus terang gue kuatir kalo ntar Nindy tergoda ngelihat mobil si Robin.”
“Menurut gue, Nindy bukan model cewek kayak gitu. Lo nggak usah mikir yang macam-macam deh, ntar malah kejadian lagi. Mikir yang baik-baik aja bro, mikiran acara ntar malam misalnya. Kita nggak boleh ngelewatin kesempatan itu lagi kayak malam minggu yang lalu. Ya, udah, antarin gue pulang, laper nih.”
“Ngng… Gue makan di rumah lo aja, ya? Gue juga udah kagak nahan nih, laper,” kata Mario sambil mengelus perutnya.
“Kalo soal makan siang lo tenang aja, Yo. Tapi sekarang cepet hidupin dulu motor lo. Makanan lagi nungguin kita di rumah,” sahut Orik.
Tanpa berkata-kata lagi Mario naik ke motornya, Orik mengikuti, dan keduanya pun meluncur meninggalkan SMU Pulau Permai.
Bersambung Ke Bagian 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar