Senin, 03 Januari 2011

IDA AYU PITALOKA Oleh Firman Al Karimi

 Arak-arakan panjang itu menghentikan laju sepeda motorku, tepat di persimpangan jalan menuju kompleks perumahan tempat aku kos. Ratusan atau bahkan mungkin ribuan manusia berpakaian adat lengkap mengisi barisan parade panjang yang diiringi dengan tetabuhan dan bunyi-bunyian tradisional khas Bali, menawarkan nuansa religi yang kental.
Aku masih berada dalam penantian, kapan arak-arakan ini akan menghentikan pawainya, sebuah pawai akbar nan meriah bahkan cenderung mewah. Sampai akhirnya mataku tertumpu pada sebuah gambar atau lebih tepatnya sebuah foto bergambarkan seorang gadis berparas menawan, ayu sekali. Foto itu terpampang pada sebuah miniatur bangunan khas Bali berbahan kayu dan bambu, berukuran panjang sekitar tiga meter selebar dua meter dan menjulang setinggi hampir lima meter yang diletakkan diatas susunan puluhan bambu yang diusung oleh puluhan lelaki dewasa. Sesaat aku terperangah dalam halusinasi, gadis di foto itu menyunggingkan senyum kepadaku, manis namun terasa dingin dihati. Bulu kudukku serentak tegak tanpa suruhan.
Aku tersentak keluar dari dunia lain begitu orang-orang yang mengusung tandu besar megah bermuatan bangunan khas Bali itu melakukan gerakan berputar berulang-ulang, dua orang pria berpakaian adat Bali berwarna putih yang bertengger di atas bangunan yang diusung itu terlihat mengeruk sesuatu dari dalam sebuah buntelan, lalu berulang kali menghamburkan kerukannya ke arah jubelan manusia yang memenuhi tempat itu. Suasana hiruk pikuk segera tercipta, saling berebutan memunguti benda yang dihamburkan itu, uang.
Aku tak ambil peduli, kepenatan yang menggigit tubuhku membuat suasana unik yang tersaji di depan mataku itu tak menarik minatku untuk terpaku lebih lama ditempat itu. Begitu melihat ada celah untuk meloloskan diri dari kerumunan banyak orang, segera kuhela sepeda motorku menerobos membelok masuk ke jalan menurun hingga sampai di depan sebuah bangunan yang agaknya diperuntukkan sebagai pos jaga sebelum masuk ke kompleks perumahan itu, aku hentikan motorku, menoleh kebelakang. Jantungku berdegup tak beraturan, desiran halus nan sejuk meraba kulitku ketika melihat dari kejauhan seorang gadis cantik melambaikan tangannya dari atas bangunan yang arak oleh puluhan orang itu. “Astaghfirullaahal ‘aziim,” spontan kalimat yang meluncur dari mulutku membuat gadis itu menghilang tak berbekas dari pandanganku.
***
Hampir saja Aku melompat melepas kaget ketika melihat seorang gadis cantik berbusana adat Bali dengan rambut panjang nan halus terurai hingga hampir menyentuh lantai berdiri di depan pintu kamar kosku. Senyumnya manis namun dingin. Di telinga kanannya terselip sekuntum bunga kamboja putih menyebar harum semerbak. “Ka…ka…kamu, siiiaapa?” begitu berat kata-kata itu keluar dari mulutku.
Gadis itu membisu dalam diamnya, pandangannya berubah sayu, tapi masih menyunggingkan senyum, manis namun dingin. Tiba-tiba gadis itu melangkah mendekatiku. Entah kenapa, aku merasakan kebekuan menjalari sekujur tubuhku, sejuk tak seperti biasanya. Dan entah kenapa kakiku tertolak mundur, tanganku seperti ingin menggapai sesuatu, entah itu di samping atau di belakang, tapi hanya meraih kehampaan. Gadis itu hampir menjangkau aku, hampir menyentuhku dengan ujung jari lentiknya nan putih, pucat. Aku semakin terdesak mundur, keringat dingin membanjiri rata sepanjang tubuhku. Aku terus bergerak mundur, hingga…sesuatu menahan kakiku, tubuhku kehilangan kendali dan rebah ke lantai dengan kepala menghempas, sakit, pusing, dan gelap.
“Hoi, Adi! Mimpi ya?” suara yang agak keras itu membuatku membuka mata. Pemandangan gelap itu berangur hilang. Aku mulai menyadari bahwa tubuh kuyupku terbaring di atas kasur yang terbentang di sudut kamar. Tampak seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu kamar.
“Ugh, Pak Wayan,” sahutku seraya mengusap kepala yang berdenyut nyeri sehabis mampir membentur dinding kamar tempat kasurku tersudut.
“Bapak dengar kamu seperti orang mengigau, makanya Bapak langsung kemari,” kata Pak Wayan. “Kamu tidak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa Pak, cuma mimpi,” jawabku. Ada sedikit kelegaan menyeruak di hariku. Syukurlah Cuma mimpi. “Makasih, untung Pak Wayan bangunin saya.”
Setelah mandi dan Sholat Asyar, kepenatan tercampakkan, tubuhku jauh lebih segar, duduk santai di teras berlantai keramik biru muda di depan kamar kos sambil memandangi bunga-bunga kamboja berkuntum putih. Tadi sebelum mandi, Pak wayan si pemilik tempat kos itu sempat memberitahukan bahwa arak-arakan yang aku lihat saat siang menjelang sore tadi adalah serangkaian prosesi upacara ngaben, pembakaran mayat. Setelah prosesi pembakaran, abu mayat hasil pembakaran itu akan di tabur ke laut.
Aku sudah hampir dua bulan menetap di Nusa Dua, Bali. Aku masih asing dengan suasana di tempat baru itu, termasuk yang aku saksikan saat pulang dari hotel, siang menjelang sore tadi. Kata Pak Wayan lagi, lahan di seberang jalan sebelum masuk ke jalan menurun ke kompleks perumahan tempat kos itu adalah tempat pekuburan dan perlangsungan upacara ngaben. Membayang di benakku suasana lahan yang dilingkupi tembok berbata merah, dari luar terlihat jelas beberapa puncak pura kecil menjulang melebihi tembok tanah itu, ditambah lagi dua batang pohon beringin tua berdiri kokoh menjaga pintu gerbang masuk ke areal pekuburan.
***
“Pizza salsa verde, no garlic, welldone, satu,” teriak Bli kadek membaca kertas orderan yang disodorkan seorang waitress berwajah simpatik.
Dengan sigap Aku menyiapkan pesanan itu, tanganku lincah merolling pizza dough hingga pipih, lalu menguasi permukaannya dengan saus basil dan saus tomat, ditutup dengan taburan filling dan mozzarela cheese. Kumasukkan racikanku itu ke dalam oven. Saat terdengar dentingan suara, segera aku membuka oven, menarik keluar pizza yang sudah matang itu, menaruhnya di plate dish dan   memotongnya dari empat penjuru, tersajilah hidangan menarik selera dihadapku.
Salsa verde, table 21, tarik!” teriak Bli Kadek seraya mengacungkan tangannya memanggil waitress yang sedang bergerombol di depan cool room kitchen.
“Ayo Di, giliran kita istirahat sekarang,” sambung Bli Kadek ketika melihat Bli Bawa dan Bli Komang muncul di pintu kitchen.
Aku menggangguk dan mengikuti langkah koki senior yang sudah belasan tahun di hotel berbintang lima itu.
Sambil berjalan ke locker room Bli Kadek berkata, “Kamu cepat belajar rupanya, Di. Ambillah ilmu sebanyak-banyaknya disini, tak banyak orang yang mendapat kesempatan training dihotel ini,” ujarnya di locker room saat jam istirahat. Sama sepertiku, Bli Kadek sebenarnya orang tak banyak bicara, tapi setiap kali bicara selalu membuat penat di tubuhku terlepas, karena sederet kalimat penuh nasihat dan membesarkan hati selalu meluncur dari mulut pria sekitar empat puluhan tahun itu.
Aku mengangguk lagi sambil mencoba meresapi kata-katanya.
“Eh, kamu sudah lihat schedule untuk minggu depan? Chef de Cuisine sudah menyusunnya. Kalau tidak salah kamu kebagian shift pagi, jam lima pagi sampai jam satu siang,” kata Bli Kadek sambil membuka pintu locker-nya.
Aku hanya terperangah sejenak. “Masuk jam lima pagi? Harus berangkat jam setengah lima dari kosan, brrrgh,” keluh batinku. Langsung terbayang di benakku jika aku harus melintasi pekuburan saat sebelum subuh, dingin, gelap, seraaam…
***
Aku menggeliat malas ketika alarm handphoneku memekik nyaring mengorek-ngorek telinga kiriku, “Jam empat lima belas,” gumamku begitu mematikan bunyi yang mengusili tidurku. Segera aku kekamar mandi, tapi kehilangan hasrat untuk mengguyur tubuhku dengan air di pagi buta yang dinginnya merayap hingga tulang itu. Hanya membersihkan muka dan menggosok gigi yang sanggup aku lakukan.
Setelah berpakaian aku keluar kamar kos. Menuntun sepeda motor ke pintu gerbang. Terdengar suara berderit ringan ketika Aku membuka pintu gerbang rumah kos itu, setelah menutupnya kembali segera aku meluncur dengan sepeda motor menyusuri jalanan yang masih kelam, sunyi, dan berkabut tipis. Hawa dingin serta merta dengan mudah menembus sweater yang aku kenakan. Tubuhku terasa yang agak bergetar bahkan tak mampu lagi menahan gemeletuk gigiku, kedinginan. Aku menghentikan laju sepeda motor ketika dari kejauhan mataku menangkap bangunan pos jaga di mulut masuk ke perumahan itu. Pos jaga itu tampak gelap tanpa penerangan karena memang tak ada orang yang berani bertugas di sana saat menjelang malam hingga terbit matahari. Ada segelintir keraguan merasuki hatiku…
“Kamu besok masuk jam lima pagi ya? hati-hati. Kamu tahu kan? pos jaga sebelum masuk keperumahan tempat kosmu itu, tak ada orang yang berani lewat sana saat gelap. Kalau nanti lewat sana, coba kamu perhatikan pohon jati tua yang tumbuh di sebelah pos jaga itu, angker. Kata orang-orang asli sana, sewaktu perumahan itu baru dibuka, pohon jati tua itu pernah dicoba untuk ditebang, tapi kayunya keras sekali, ditebangi dari pagi hingga menjelang senja baru sepertiganya yang dimakan gergaji mesin, sehingga diputuskan untuk dilanjutkan esok harinya. Begitu si penebang hendak melanjutkan pekerjaannya keesokan hari, tak ada lagi bekas gergajian kemarin pada pohon itu. Tapi si penebang yang malang itu tak ambil peduli, terus berupa menyerang pohon itu dengan gergaji mesinnya. Tapi tiba-tiba rantai gergaji mesin yang sedang berputar kencang itu malah putus menghempas telak keperut si penebang dan mengoyaknya hingga ususnya terbu…”
“Sialan, mengapa aku malah mengingat bualan konyol Heriasa,” batinku ketika memori di kepalaku mengingatkan aku akan cerita teman sesama trainee saat di ruang makan karyawan kemarin.
Kucoba menepis keraguan yang semula menghampiriku. Sepeda motorku kembali bergerak perlahan semakin mendekati pos jaga yang gelap gulita, angker. Begitu melewati pohon jati tua meranggas di sebelah pos jaga itu, mataku sangat enggan melepas lirikan, berusaha meluruskan pandangan ke depan mengikuti arah penerangan lampu sepeda motorku. Tapi tak kuasa juga aku mengekang kebebasan pandangan ketika sekelebatan bayangan melompat dari pohon jati tua meranggas itu, refleks kedua bola mataku menangkap sesosok hewan yang tiba-tiba saja sudah menampakkan diri beberapa meter di depanku.
Bojog,” teriakku, spontan menghentikan laju sepeda motor.
Kata Heriasa juga, orang-orang tamak dan apatis yang mencari harta melalui pesugihan, bisa merubah diri menjadi bermacam-macam hewan, termasuk bojog (monyet). Bahkan Heriasa yang hobi bercerita itu juga sempat mengisahkan ketika ia dan empat orang temannya pernah melihat penampakan makhluk-makhluk penuntut ilmu pesugihan berujud bojog itu sedang mengorek sisa-sisa pembakaran mayat di pekuburan, lalu melahapnya dengan beringas. Heriasa dan keempat temannya bisa melihat semua itu karena mereka mengepitkan kedua tangannya di bawah ketiak, konon katanya hal itu bisa membuat makhluk jejadian itu tidak bisa mengetahui keberadaan orang yang berbuat seperti itu.
“Sial, motornya malah mogok,” gerutuku panik ketika mesin sepeda motorku mati. Kegamangan semakin cepat menyelimutiku. Keringat dingin yang keluar dari pori-pori kulit mulai menjalari sekujur tubuhku. Tapi bojog itu tak terlihat lagi, lenyap ditelan kegelapan.  Tak mau lebih lama terkungkung dalam kegamangan, segera aku menghela sepeda motor, mendorongnya sekuat yang aku mampu. Maklum, lututku yang bergetar terus membuat otot-ototku melemah.
Di persimpangan jalan, mendadak aku menghentikan dorongan sepeda motor, sesosok wanita cantik berpakaian adat Bali berambut halus panjang terurai tampak duduk anggun di atas tembok berbata merah yang melingkupi pekuburan. Senyumnya manis namun dingin. Di telinga kanannya terselip sekuntum bunga kamboja putih menebar harum semerbak. Aku terpana sesaat, kakiku terpaku di tempatku berdiri, dan mulutku terbungkam. Namun entah apa yang mengerakkan mulutku, sehingga terlontarlah kalimat taawuzd, “A’uudzu billahi minassaitonirrojiim”, tak tampak lagi sosok wanita itu diatas tembok tanah, menghilang tanpa bekas.
***
Siangnya sepulang dari hotel, aku menceritakan peristiwa mencekam itu kepada Pak Wayan.
“Gadis itu bernama Ida Ayu Pitaloka, usianya masih delapan belas tahun saat meninggal. Ia putri tunggal bangsawan terhormat disini. Ia meninggal karena kecelakan saat mengikuti kegiatan outbond yang diadakan kampusnya,” terang Pak Wayan. “Mayat dialah yang berada dalam arak-arakan yang kamu lihat beberapa hari yang lalu saat upacara ngaben. Dan mungkin…dia juga yang sering menampakkan diri padamu akhir-akhir ini,” sambungnya lagi.
“Mengapa harus aku?” batinku.
“Mungkin dia menyukaimu,” ucap Pak Wayan seperti membaca isi pikiranku. “Tapi kamu tidah usah takut. Dia tidak akan mencelakaimu.”
“Ugh, mencelakai sih tidak, tapi membuatku mati ketakutan iya!” keluh batinku lagi.
Tapi sejak mengalami kejadian menegangkan subuh itu aku tidak pernah lagi mengalami kejadian yang aneh-aneh hingga masa on the job training-ku berakhir di hotel tempat aku magang.
 Salam perpisahan pun terucapkan, disambut dengan salam dan pelukan hangat rekan-rekanku, dan diakhiri dengan ceburan tubuhku di kolam renang di depan Salsa Verde kitchen. Sungguh berat hatiku meninggalkan rekan-rekan. Mulai dari Chef de Cuisine sebagai sosok atasan yang bijaksana, nasehat-nasehat tulus Bli Kadek, hingga cerita-cerita mencekam Heriasa. Tiga bulan yang berkesan. Unforgetable experience.
Keesokan sorenya sehabis maghrib, aku bersiap pulang ke kampung halaman nun jauh di sana, di tengah Pulau Sumatera, Riau. Sore itu juga aku berpamitan kepada Pak Wayan pemilik rumah tempat aku kos. Pak wayan sosok yang baik, penolong, dan murah hati. Bahkan sepeda motor Pak wayan lah yang aku gunakan sebagai penyambung kaki selama  berada di Bali, tanpa ragu lelaki paruh baya itu mempersilahkan aku memakai sepeda motor miliknya saat pertama kali aku tiba di tempat kos itu.
Perasaan mengharu biru melanda hatiku ketika taksi yang akan mengantarku ke bandara Ngurah Rai bergerak meninggalkan Pak Wayan yang berdiri di depan pagar rumahnya seraya melambaikan tangan. “Hanya Yang Maha Kuasa yang akan membalas kebaikanmu Pak Wayan,” batinku.
Taksi yang aku tumpangi bergerak perlahan menyusuri jalan keluar kompleks perumahan, melewati pos jaga dan pohon jati tua meranggas, sampai di mulut persimpangan. “Tempat itu,” gumamku lirih ketika melempar lirikan ke arah tembok tanah, gerbang yang dijaga dua pohon beringin tua. Taksi berbelok kekiri siap meluncur kejalan utama.
“Ah, gadis itu lagi. gumamku saat melihat gadis cantik berbusana adat Bali berambut halus panjang terurai duduk anggun di atas tembok tanah. Menyunggingkan senyum manis, namun kali ini terasa hangat. Sekuntum bunga kamboja putih terselip di telinga kanannya menebar harum semerbak.
“Suatu saat aku akan merindukanmu,” bisikku pelan ketika gadis itu melambaikan tangan halusnya yang putih pucat.
Taksi terus meluncur meninggalkan kenangan mencekam nan indah.***

Bangkinang, 16 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar