Selasa, 04 Januari 2011

Romeo Don't Cry, Bagian 7 : Taubat Bareng, oleh Firman Al Karimi


Menjelang asyar Romeo duduk di teras rumah Roki, berulangkali ia menguap panjang, menggosok-gosok mata dan menepuk-nepuk tengkuknya untuk mengusir kantuk yang sedari tadi merayu matanya untuk terlelap, pasti karena keterusan begadanglah penyebabnya. Di sampingnya, Roki dan Joni asyik bermain kartu remi, tak mampu menarik minatnya untuk ikut menggabungkan diri walaupun mereka berdua telah berkali-kali mengajaknya untuk ikut bermain.
Suara azan yang berkumandang dari Masjid yang terletak kira-kira 200 meter dari rumah itu membuat Romeo bangkit dari duduk. “Mau kemana, Rom?” tanya Roki tanpa melepaskan pandangannya dari lembaran-lembaran kartu remi di tangannya.
“Sholat,” jawab Romeo singkat dan segera masuk ke dalam rumah. Sekilas sempat diperhatikannya Roki terdiam, termenung dengan raut wajah seakan sedang menahan beban berat. Memang, setiap kali melihat ia akan sholat Roki selalu berekspresi begitu, entah apa penyebabnya. Penasaran, ia perhatikan lagi Roki dari pintu yang sedikit terbuka, pemuda itu masih dalam posisi terdiam dengan pandangan kosong.
“Bang, giliran abang,” tegur Joni.
Roki terbangun dari lamunan singkatnya, setelah menghela nafas segera ia melanjutkan permainannya. “Ohh, ya, nih!” jawabnya seraya melemparkan satu kartunya ke lantai. Mereka berdua kembali tenggelam dalam permainan, berulang kali mengeluarkan gerutuan dan terkadang bersorak gembira, asyik.
Bang Roki, pasti ada sesuatu yang membuatnya seperti itu, tapi...entahlah. Ups, tadi kan niatku  mau sholat, bergegas Romeo melanjutkan langkahnya menuju ke ruang belakang.
***
“Gimana sholatnya, Rom,” tanya Bang Roki saat Romeo sudah kembali bergabung dengan mereka.
“Biasa,” sahut Romeo pendek, tersenyum kecut seraya menyandarkan punggungnya ke dinding rumah. Seharusnya sholat membuatku tenang, tapi mengapa aku justru gelisah mendengar pertanyaan Bang Roki.
Seharusnya kau sadari, sholat seperti apa yang barusan kau lakukan. Bibir dan lidahmu dengan lancar melafalkan bacaan dalam sholat, tapi hati dan pikiran melayang mengingat perbuatanmu di luar sholat, payah!
Aku bosan menjalani peran ganda ini. Aku sholat karena mematuhi perintah Rabb-ku, tapi setelah itu aku juga mematuhi hasutan syetan. Astaghfirullaah, Romeo mengeluh lirih dalam hati.
 “Sudahlah, aku bosan,” ujar Roki tiba-tiba seraya melemparkan semua kartu di tangannya ke lantai. Lalu ikut menyandarkan punggungnya ke dinding. “Rom, kamu beruntung masih bisa sholat, masih mampu mendirikannya,” ia mengarahkan pandangannya menatap jauh ke langit biru. “Terakhir kali aku melakukan sholat dua belas tahun yang lalu, ughhh,” keluhnya sembari mengusap dadanya berulang-ulang, sebelah tangannya malah menjambak rambutnya yang lebat. “Dua belas tahun yang lalu aku masih sholat, Rom,” ulangnya lagi, sangat lirih.
Terkejut, Romeo menoleh kepada Roki yang masih mengurut-ngurut dadanya. Sedangkan Joni sejenak menghentikan kesibukannya mengumpulkan kartu-kartu remi yang berserakan di lantai, juga ikut menoleh kepada Roki dengan ekspresi tidak percaya.
            “Maaf, abang bisa sholat,?” tanya Romeo dengan nada hati-hati, penasaran, tapi tak ingin mengajukan pertanyaan yang salah. 
Roki menghela napas panjang, pancaran kesedihan tergurat jelas di wajahnya “Dulu, lama sekali, aku selalu senang saat belajar di Madrasah, bahkan aku belajar sampai tamat di sana saat aku masih kelas lima SD. Sering aku ikut lomba mengaji, walaupun tak pernah menang tapi aku senang, sama senangnya ketika setiap kali guruku menyuruh aku azan di Musholla. Tapi itu dulu, sudah lama sekali.”
“Hebat, abang hebat!” spontan kata-kata itu meluncur dari mulut Joni, kali ini raut wajah kagum yang diperlihatkannya.
Roki mendengus. “Apanya yang hebat, itu kan dulu, dulu sekali. Sekarang aku tak lebih dari seorang bajingan tengik, perusak generasi muda, pendosa sejati!” kali ini kedua telapak tangannya merapat erat di kedua sisi kepalanya, giginya bergemeretak, nada helaaan nafasnya tidak teratur seakan sedang memendam kegeraman yang luar biasa di dadanya.
“Maaf bang, kenapa abang bisa menjadi seperti sekarang,” tanya Romeo lagi, penasaran, dan semakin ingin mengetahui masa lalu Roki.
“Sama seperti kamu, seperti kalian berdua, karena kondisi ekonomi. Alasan klasik bukan? Sebuah alasan memuakkan yang sering dijadikan oleh manusia apatis sebagai pembenaran untuk bertindak sesuka hati, dan sebuah alasan konyol yang membuat aku terjun bebas ke dunia hitam!” jawab Roki, terdiam dan menampakan wajah muramnya.
“Abang menyesal?” sebuah pertanyaan pendek bermakna dalam di ajukan Joni.
“Sangat! Tapi cuma menyesal, dan tak pernah bisa meninggalkannya. Inilah salah satu penyebabnya,” Roki memperlihatkan tato yang memenuhi kedua tangannya, terlukis mulai dari pergelangan tangan hingga ke lengannya. “Di saat hatiku tersentuh untuk keluar dari dunia hitam, tato ini seperti rantai yang mengikat erat seluruh badanku, menjadi penghalang, sehingga aku tak pernah bisa melarikan diri, dan terus menerus tenggelam di lembah dosa, memuakkan! Bahkan aku berperan besar melibatkan dan menjerumuskan kalian berdua ke dunia penuh maksiat ini. Habislah aku. Aku pasti akan mendapat hukuman yang sangat berat kelak, neraka. Mengerikan!!!” ia mengakhiri kalimatnya dengan teriakan, cukup mengejutkan Romeo dan Joni.
Roki menyandarkan kepalanya di dinding, kedua tangannya bersidekap erat di dadanya “Kasihan ibuku, sepertinya ia sia-sia melahirkan aku ke muka bumi ini, karena aku tak mampu menjadi anak soleh yang akan selalu mengirimkan doa kepadanya,” matanya sudah memerah, airmata sudah menggenang di kedua pelupuk matanya.
Bunda. “Abang masih punya ibu?” tanya Romeo pelan.
Air mata Roki semakin mengalir deras mengiringi nada suaranya yang berat. “Ibu sudah lama tiada. Sejak malam itu, saat bapak pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat seperti yang biasa dilakukannya setiap hari, orang yang kupanggil bapak itu….,” isakan lirih memotong ucapannya. “aku…melihatnya memukul ibu hingga jatuh ke lantai, darah dengan cepat mengucur dari kepala ibu, menggenangi lantai, dan sejak itu aku tak punya ibu dan bapak lagi. Ibu meninggal malam itu juga karena luka di kepalanya banyak mengeluarkan darah, sedangkan bapak masuk penjara untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku tak pernah lagi bertemu dengannya sampai sekarang. Lima belas tahun usiaku saat itu dan sedang mempersiapkan diri untuk masuk SMU.”
Romeo dan Joni seperti larut dalam suasana haru mendengar kisah Roki, tak kuasa untuk sekadar menimpalinya. Mereka berdua membiarkan Roki terus memuaskan diri mencurahkan isi hatinya. “Selanjutnya aku hidup sebatang kara, keinginanku untuk masuk SMU kandas. Hingga pada suatu malam, aku tak sanggup lagi menahan rasa lapar yang tiada henti menyengati perutku. Terpaksa kugali dan kucabut ubi di kebun milik tetanggaku, itulah yang menjebloskanku ke dalam penjara. Di penjara, aku semakin terpuruk, ilmu kejahatanku bertambah dengan cepat, dan jadilah aku manusia pendosa seperti sekarang ini, penjahat sempurna!” sesaat ia terdiam, tatapannya yang berisi bayang-bayang air terlihat masih berusaha menembus langit biru.
 Romeo juga tak berhasrat lagi untuk bersuara, hanya berulang kali menampakkan senyum kecut, sambil menertawakan dirinya sendiri. Sama, sekarang aku juga manusia pendosa!
Joni yang masih hanyut dalam diamnya juga menampakkan raut kebingungan di wajahnya. Mengapa suasana jadi dramatis begini, kayak adegan di sinetron aja.
Tiba-tiba, suara-suara riuh rendah yang terdengar sekitar beberapa puluh meter dari tempat itu membuat mereka terjaga dari aksi diam, serempak berdiri untuk melihat situasi. Dari sebelah selatan jalan tampak seorang pemuda, seumuran Roki, menyandang buntelan kecil di bahunya, berpeci putih dan berpakaian gamis putih sedang di kejar-kejar oleh puluhan orang yang tampak beringas sekali. Berulang kali mereka melontarkan batu ke arah buruannya. Pemuda yang sedang diburu itu segera berbelok cepat dan masuk ke pekarangan rumah, mendekati Romeo, Roki dan Joni yang berdiri heran. Tapi pemuda itu terdiam. Sorot mata dan raut wajahnya menampakkan nada minta tolong. Puluhan orang-orang yang mengejarnya segera berhenti di depan pagar rumah, serempak menghentikan pekik teriaknya.
Ada apa ini?!!” bentak Roki keras.
Seorang pria berbaju kaos oblong, tangan kanannya menggenggam balok kayu, maju ke depan. “Serahkan orang itu kepada kami, dia penyebar aliran sesat!”
“Aliran sesat???” serempak mereka bertiga mengernyitkan dahi, lalu menatap pemuda yang berpakaian gamis itu. “Saya tidak merasakan ada kesesatan dalam diri orang ini,” ujar Roki, terdengar begitu mantap.
Sesaat puluhan orang yang masih berdiri di luar pagar rumah itu saling berbisik pelan lalu berubah riuh. Seorang bapak-bapak berkata dengan nada keras, “Kalian tidak akan mengerti mengapa kami mengatakan orang itu penyebar aliran sesat! Karena kalian…” ia terlihat ragu menuntaskan kalimatnya.
“Kenapa? Ayo lanjutkan!” Romeo memotong ucapan orang itu. Karena kami penjahat? Manusia pendosa? Jangan seenaknya memvonis orang. Jangan sok suci! Manusia seperti apa kalian, sampai tega nguber-nguber orang kayak memburu hewan buruan! Darahnya terasa memanas dan mulai naik ke kepala, tangannya terkepal.
Roki juga tampak menggeram, giginya bergemeretak. Joni pun menampakkan ketersinggungannya akan ucapan yang terpotong itu.
Seorang pria berpeci putih beluduru tampak maju lebih ke depan. “Begini, kalau kalian paham soal agama, pasti kalian juga akan mengatakan orang itu sesat, sok mengerti agama. Orang itu mendatangi tiap-tiap rumah di sini, nasehat sana nasehat sini, ini itu, seenaknya mengoreksi ibadah orang, dan bertingkah laku seolah-olah hendak meluruskan agama Islam yang selama ini kami anut,” ia seperti berusaha berbicara dengan pelan. “Setiap usai sholat berjamaah di masjid, dia selalu menahan kami untuk bertahan di masjid beberapa saat, menceramahi kami. Katanya sholat yang kami lakukan terlalu terburu-buru, tidak khusyuk dan mengakibatkan tujuan sholat tidak tercapai, bahkan berulangkali dia berani mengatakan betapa banyak orang yang masuk ke masjid untuk sholat berjamaah, tapi tidak satupun berhasil mencapai kekhusyukan, sehingga setelah sholat kembali bermaksiat dan berbuat dosa, dasar manusia sok tau!”
Penjelasan orang itu semakin menambah kegeraman Romeo. Tangannya semakin terkepal erat dan dadanya semakin bergemuruh. “Jadi hanya itu yang menjadi penyebab sehingga orang ini kalian katakan penyebar ajaran sesat dan mengejar-ngejarnya seperti seekor hewan buruan!” Dasar manusia-manusia sombong! Sesaat ia menyempatkan matanya menyapu puluhan orang itu. “Adakah orang ini menyuruh kalian mengubah ucapan kalimat syahadat, tak usah berwudhuk jika hendak sholat, menambah-nambah gerakan sholat, melarang kalian berpuasa di bulan Ramadhan, menganjurkan kalian agar tidak membayar zakat atau tak usah berhaji jika mampu, menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, begitu??!!”
“Memang tidak! Tapi dia tidak perlu keterlaluan begitu dalam mengingatkan kami, pakai ngasih ceramah ke rumah-rumah segala, trus kritik sana kritik sini. Semua keluarga saya turun temurun sudah berhaji bahkan saya sendiri yang sudah dua kali naik haji tidak pernah berani melakukan hal itu. Apa haknya dia melakukan itu,” tambah Pria berpeci putih beludru itu lagi, agaknya ia yang menjadi juru bicara puluhan orang itu.
Sesama muslim itu harus saling mengingatkan, kalau kau memang seorang muslim, bodoh! Ugh, kenapa aku jadi emosi gini. “Kalau cuma itu yang di lakukan orang ini, berarti ia tidak sesat, cuma kalian aja yang tak mau menerima saran orang, pikiran kalian sempit, picik! Padahal orang ini mengajak kalian untuk ber-Islam secara benar. Justru kalian yang sesat! Merasa benar, tak mau menerima ajakan kebaikan, dan tetap ingin berada dalam kesesatan, lalu nguber-nguber orang yang jelas-jelas mengajak kalian masuk surga,” ujar Romeo lagi, tubuhnya semakin bergetar. Ia menghela nafas yang agak terasa berat, tidak mengerti mengapa ia bisa mengeluarkan kalimat seperti itu.
“Tapi bisa saja dia itu teroris!” teriak salah seorang dari dalam kerumunan.
“Hei bung, jangan asal tuduh!” sentak Romeo. “Apa dasar kau mengatakan dia teroris. Apa karena ia berjenggot panjang, berpakaian gamis, dan berpeci putih, lalu kau berani mengatakan dia teroris. Benar-benar buta mata hati kau. Kau jangan menyamaratakan bahwa orang-orang berpakaian seperti dia adalah teroris. Hei bung, asal kau tau aja, bahkan orang-orang nasrani di timur tengah sana dan  orang yahudi pun berpeci dan berpakaian gamis! Hhhh, manusia-manusia  seperti kalian ini yang menghancurkan agama Allah!”
“Sekarang bubar! Orang ini dalam perlindungan saya. Jangan pancing kemarahan saya, bubar!!!” teriak Roki tiba-tiba sambil mengibaskan tangannya.
 Tubuh Romeo menghangat mendengar teriakan Roki. Ini dia yang kutunggu dari tadi. Bang Roki, mari kita usir kezaliman. Hatiku sudah tersentuh, aku yakin kau juga begitu.  Ayo kita bertaubat. Ya Allah, beri kami keberanian untuk melakukan itu.
Puluhan orang-orang itu terlihat ragu, sebagian besar mau meninggalkan tempat itu, tapi menahan langkahnya ketika pria berpeci putih beludru mendelik tajam ke arah mereka. “Tunggu apa lagi, ayo, cepat bubar!” kali ini Roki berjalan menuju pagar rumahnya di mana puluhan orang-orang itu berdiri, dan rupanya reputasi Roki sebagai jagoan dan preman besar di kawasan itu sudah cukup untuk menciutkan nyali mereka, buru-buru mereka membalikkan badan, bahkan sebagian lagi bergegas memburu langkah meninggalkan tempat itu. Si pria berpeci putih beludru hanya melongo melihat para pendukungnya kocar kacir meninggalkannya. Ketika melihat Roki semakin mendekat kepadanya sambil menampakkan seringai sangarnya segera ia membalikkan badan, lariii.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin,” sebaris kalimat puji dan syukur meluncur dari mulut pemuda yang baru saja terselamatkan dari amuk massa itu. “Terima kasih telah membantu saya, semoga Allah selalu merahmati kalian. Kenalkan nama saya Alif,” sambungnya sambil menyalami Romeo, Joni dan Roki.
Roki kemudian mempersilakan Alif untuk tinggal di rumahnya. Tapi segera perubahan sikap tampak jelas pada diri Roki, tidak seperti biasanya ia selalu tampak gelisah, berjalan mondar-mandir keluar masuk rumah, sesekali terdengar keluhan berupa desahan kecil dari  mulutnya, bahkan berulangkali memandang lukisan tato di kedua tangannya dengan geram dan jijik. Romeo dan Joni yang paling merasakan perubahan sikap Roki. Terlebih lagi Romeo. Ia sebenarnya juga merasakan hal yang sama seperti sikap yang ditunjukkan Roki, pikiran dan hatinya dipenuhi beban, kegelisahan dan kegundahan yang amat sangat menyelubunginya, tapi ia masih bisa menyembunyikan perasaan kacaunya itu, hanya terus membenamkan tubuhnya semakin dalam di atas sofa. Sedangkan Alif, sejak masuk ke dalam rumah ia  lebih banyak diam, hanya bahasa tubuh berbentuk senyuman dan sedikit anggukan kepala yang ditampakkannya, namun ternyata ia juga sedang memperhatikan kegelisahan Roki, lalu menyapanya dengan lembut. “Ada apa saudaraku? Kamu kelihatan gelisah sekali, kalau mau, kamu boleh berbagi kesusahan denganku.”
Hati Romeo bergetar mendengar rangkaian kalimat yang begitu menyejukkkan itu. Akhirnya Alif bicara juga.
Sapaan yang lembut dengan sorot mata yang teduh itu juga membuat Roki menghentikan aksi mondar-mandirnya, segera mendekati Alif yang duduk di sudut ruangan, dan duduk di dekatnya. “Bolehkah manusia pendosa seperti aku ini bertaubat? Pantaskah aku memohon pertaubatan kepada Allah? Maukah Allah menerima taubatku? “ tiga pertanyaan beruntun yang dilontarkan Roki disambut Alif dengan senyuman hangat.
Antusiasme Romeo bergelora saat mendengar pertanyaan Roki, pertanyaan yang selama empat bulan terakhir memenuhi benaknya, pertanyaan yang sangat ingin diungkapkannya. Akhirnya..., Bang Roki, ini pasti hidayah Allah, ayo Bang Roki mari kita bertaubat, kita akhiri semua prilaku yang telah menghinakan kita di hadapan Allah....
Alif mengubah posisi duduknya menghadap ke Roki lalu meletakkan tangannya di bahu pemuda itu. “Saudaraku, walaupun dosamu menumpuk setinggi gunung dan bertebaran seperti pasir di lautan, Allah pasti akan menerima permohonan taubatmu, Allah pasti mengampuni semua dosa hambanya, kecuali dosa yang diakibatkan oleh perbuatan syirik, menyekutukannya. Asalkan kamu benar-benar ikhlas untuk bertaubat, Insya Allah, Allah pasti akan menerima taubatmu.”
 Romeo sedikit menggigil mendengar penjelasan Alif. Perlahan, hatinya mulai menangis. Sungguh, ya Allah, aku benar-benar ingin bertaubat, aku ingin segera mengakhiri semua prilaku nista penuh kehitaman dosa ini. Aku sudah tak tahan lagi menanggung beban dosa yang menakutkan ini, aku takut azabMu, aku takut  nerakaMu, ya Allah.  
“Bagaimana dengan tato ini, aku merasa diikat oleh belitan tali yang menjijikkan,” Roki memperlihatkan lukisan tato di kedua tangannya. Terlihat jelas matanya mulai memerah dan bibirnya bergetar setiap kali berbicara.
Alif masih tetap menampakkan ekspresi tenang. “Hatimu, yang penting hatimu yang bertaubat dan perbuatanmu yang menunjukkan kesungguhanmu bertaubat. Apakah kamu bebar-benar ikhlas untuk bertaubat hanya karena cintamu kepada Allah?”
Seketika meluluhkan Hati Romeo, ucapan yang paling diharapkannya keluar dari mulut Alif. Batinnya merintih, Aku ikhlas, ya Allah, aku sungguh-sungguh  berikhlas hati memohon ampunanMu, ya Allah.
Roki menegakkan kepalanya. “Demi Allah yang kuakui sebagai satu-satunya Rabb penguasa alam semesta, aku benar-benar ingin bertaubat, meninggalkan semua perbuatan maksiat dan dosa yang telah aku pelihara selama ini, dan takkan akan pernah lagi mengulanginya…” Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya ketika suara azan maghrib berkumandang. Ia bangkit, lalu berlari dan masuk ke kamar belakang. Semuanya terdiam. Romeo berlari menyusulnya, diikuti Alif, dan menemukan Roki sedang menelungkupkan kepalanya ke lantai. Hanya isakan dan bisikan-bisikan lirihnya yang terdengar begitu menyayat hati.
 “Ya Allah, hamba rindu sholat, hamba rindu menghadapMu, hamba rindu mengadukan semua keluh kesah dan kepedihan hati ini kepadaMu. Jutaan pisau seperti mengiris hati ini saat seruan yang mengagungkan dan memuji kebesaran namaMU diperdengarkan. Itulah yang hamba rasakan selama hampir dua belas tahun, ya Allah, dan selama dua belas tahun juga hamba selalu berjalan dengan angkuh di bumi milikMu ini,  bergelimang maksiat menebar dosa.
“Hamba jenuh dengan semua maksiat ini, hamba bosan dengan dosa yang selalu menghampiri diri ini. Tolong, ya Allah, akhiri semua ini, hamba sudah tidak tahan lagi, hamba kesakitan, hamba tersiksa. Hamba takut engkau akan mengambil nyawa ini di saat hamba sedang berbuat dosa, hamba takut mati, ya Allah, hamba belum siap, dosa hamba masih menggunung, tolooong, ya Allah, tolooong…” lolongan tangisan Roki semakin dalam, mukanya sudah rata dengan lantai, tarikan nafasnya yang bergemuruh terdengar jelas.
Romeo bergetar di tempatnya. Lututnya melemas, lalu jatuh terduduk di lantai, bersimpuh, dan tanpa sadar air mata menggenang di kelopak matanya yang  mulai menghangat. Perasaan hingar bingar dengan cepat memenuhi dadanya. Pikirannya seketika menayangkan visualisasi berupa bayangan-bayangan rasa bersalah atas dosa-dosanya selama ini. Allahu Akbar, Allahu Akbar... hanya kalimat itu yang berulang kali meluncur dari mulutnya. Tangisannya meledak, airmatanya tumpah ruah sudah. Kegeraman hebat melandanya membuat segaris darah terbit di bibirnya akibat cengkeraman erat giginya. Astaghfirullaahal ‘Azhiim wa atuubu ilaihi, ampuni segala dosa-dosaku, ya Allah Yang Maha Agung, aku bertaubat kepadaMu. Hanya kepada engkau aku mengakui dosa dan hanya kepada engkau aku bertaubat, ampuni aku ya Allah, ampun, ampuni aku, terimalah taubatku, ya Allah yang maha penerima taubat, ampun ya Allah.... 
Alif mendekati Romeo dan Roki yang masih tenggelam dengan isak tangis, menyentuh bahu keduanya. “Saudaraku Romeo dan Roki. Allah pasti mengampuni dosa-dosa kalian, Allah pasti menerima taubat kalian, sekarang mari kita bersiap-siap dulu untuk sholat maghrib, mandi dan berwudhuklah terlebih dahulu. Bersegeralah, waktu sholat maghrib tidak panjang. Roki lupakan dulu soal tato yang melekat di kedua tanganmu itu, nanti kita selesaikan setelah sholat.”
Kelegaan perlahan memasuki Romeo. Alhamdulillah, akhirnya aku mampu juga mengakhiri semua kemaksiatan ini. Terima kasih, ya Allah. Bimbinglah kami selalu untuk menjalani pertaubatan ini. Tolong, ya Allah...
Setelah mandi dan berwhuduk, Romeo dan Roki segera menyusul Alif yang sudah bersiap mengimani sholat maghrib berjamaah. Tapi tiba-tiba Joni berlari mendekat, berlinang air mata, “Bolehkah aku ikut sholat? Aku ingin sholat tapi…., aku nggak bisa sholat.”
Kebahagiaan dan keharuan memenuhi hati Romeo. Subhanallah, keajaiban apa lagi yang akan kau tampilkan, ya Allah. Inilah hari yang paling menyenangkan dalam hidupku, ya Allah.
Alif memandang Joni dengan arif. “Nanti kamu bisa ikuti saja gerakan sholat kami. Jangan kuatir nanti juga saya ajari tata cara sholat yang benar, sekarang mari aku ajari berwudhuk dulu.”
Setelah Alif usai menuntun dan mengajari Joni berwudhuk, mereka berempat segera melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Saat Alif membaca ayat-ayat suci Al- Qur’an dengan suara yang merdu, Romeo, Roki dan Joni tak mampu lagi menahan tangis. Dada mereka terasa bergetar hebat, dan bulu roma serentak berdiri, terbayang semua kehitaman  dosa yang selama ini mereka perbuat. Hingga pelaksaan sholat usai.…
Alhamdulllahi rabbil ‘alamin, akhirnya aku bisa kembali merasakan kenikmatan sholat, dadaku terasa lebih lapang dan kepalaku terasa lebih ringan, alhamdulillah, terima kasih, ya Allah, ya Rabbi,Aku kembali kepadaMu, ya Allah. Terimalah taubatku. Romeo masih betah bersimpuh di atas selembar koran yang menjadi sajadahnya, seolah ingin memuaskan kerinduan batinnya untuk berzikir kepada Allah, zikir yang tak pernah mampu dilakukannya selama hampir empat bulan terakhir.
Akhirnya kau mampu mengambil keputusan yang tepat, kau berhasil keluar dari lembah dosa, kau pemenang sekarang, tapi hati-hati, syetan-syetan yang terkutuk itu pasti tak akan tinggal diam, waspadai tipu daya makhluk terkutuk itu, cobaan yang akan kau hadapi mungkin akan lebih berat, karena makhluk terkutuk itu pasti akan mengerahkan pasukan terbaiknya untuk mengembalikanmu ke jalan mereka yang sesat.
Inilah tekad yang sudah kupendam sejak hari pertama aku memasuki dunia hitam penuh dosa.
Ya, kau sudah membuktikan tekadmu. Tapi ini baru tahap awal,  perjuanganmu masih panjang.
Dan aku akan terus berjuang! Romeo gembira karena selama ini sisi baik batinnya selalu berperan dalam mengingatkan dan menyemangatinya agar mau bertaubat.
Roki masih tenggelam dalam usahanya mengakui dosa dihadapan Rabbnya, berusaha menumbuhkan keikhlasan hati untuk bertaubat. Ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia akan mampu meninggalkan dan menanggalkan semua kemaksiatan yang melekat pada dirinya.  Terdengar suara lirihnya yang lebih menyerupai rintihan saat ia mengangkat kedua tangannya untuk berdoa, “Ya, Allah, beri hambaMu ini kekuatan dan daya upaya untuk menghalau semua godaan syetan yang terkutuk itu, supaya hamba tidak kembali lagi berbuat maksiat. Tolong hamba, ya Allah, lindungi hamba, ya Allah, tanpa perlindunganMu, hamba sangat lemah sekali. Ya Allah, tetapkan dan kuatkan hati ini dalam menapaki jalanMu, dan jangan biarkan hati ini kembali menghitam karena dosa,” tak mampu lagi Roki mengangkat kepalanya yang sudah hampir menyentuh lututnya.
Ayo kita berjuang, Bang Roki!  Allah pasti menolong kita, seru batin Romeo penuh dengan semangat yang menghangat dan menggebu.
Sedangkan Joni juga masih tetap duduk dalam diamnya. Hanya itu yang bisa dilakukannya karena kekosongan pengetahuan agamanya menyebabkan ia tidak tahu harus berbuat apa pada saat itu.
Romeo meliriknya. Joni, nanti aku juga akan ikut membantumu untuk belajar sholat. Insya Allah, kamu pasti bisa melakukan sholat, karena Allah pasti akan menghargai niat tulusmu untuk belajar sholat dan pasti membantumu, pasti.
Dan tanpa sengaja saat ia melirik ke arah Alif yang masih khusyuk dengan zikrullah, dilihatnya tubuh Alif seperti mengeluarkan cahaya. Cahaya? Ah, sepertinya bukan, tapi....tubuhnya seperti agak terang, apakah itu pantulan cahaya lampu, ah tidak, cahaya lampu nggak kayak gitu. Allahu Akbar, hanya engkau yang mengetahui siapa sesungguhnya orang ini, aku tak berani menduga-duga, ya Allah. Tapi aku percaya ini adalah salah satu rahasiaMu, ya Allah, dan aku  yang bodoh dan tak tahu apa-apa ini tentu tak akan mengerti akan semua rahasiaMu ini, aku berserah diri kepadaMu, ya Rabbi.
Saat azan yang menandakan waktu sholat Isya telah masuk, berkumandang, segera mereka berempat kembali bersiap untuk menunaikan sholat Isya berjamaah. Kali ini mereka merasa lebih menikmati pelaksaan sholat yang diimami Alif. Sungguh nikmat sekali, jangan pernah hilangkan kenikmatan ini, ya Allah.
Setelah usai sholat mereka berkumpul di ruang depan.
“Kalian pasti lapar, bukan? Tunggu sebentar, biar saya belikan nasi,” ujar Alif sambil berjalan menuju pintu.
“Tunggu, biar aku saja yang membeli nasi, nanti kalau orang-orang yang mengejar kamu tadi melihatmu, bisa-bisa mereka mencelakaimu,” Roki segera berdiri menyusul Alif yang sudah berada di depan pintu.
“Jangan kuatir, Allah melindungiku, kalian tunggu di sini saja,” ujar Alif lagi sambil tersenyum. Mereka bertiga tidak bisa menahan langkah pemuda itu ataupun berbicara, hanya terpaku melihat Alif keluar dari pintu dan menghilang dalam kegelapan malam. Mereka bertiga seakan merasakan ada desiran angin lembut yang ditinggalkan Alif. Dan mereka  masih terpaku di tempat semula saat Alif sudah kembali masuk rumah dan meletakkan empat bungkus nasi lengkap dengan air minum di hadapan mereka.
“Ayo, kita makan,” ajak Alif.
“Kamu beli nasi di mana, Lif, kok cepat sekali sampainya,” tanya Roki sedikit merasa ada keanehan pada diri Alif. Romeo dan Joni juga merasakannya.
“Allah yang memberiku nasi, untuk kita semua,” jawab Alif mantap. “Sekarang mari kita makan, setelah itu kita kita akan berdiskusi panjang, ayo makan, tunggu apalagi.”
Sungguh, sangat sulit untuk kupercaya, tapi....hanya Allah yang tau siapa pemuda ini sebenarnya, gumam batin Romeo.
Tapi rasa lapar yang memang sudah mulai mengamuk membuat mereka bertiga dengan cepat melupakan aura keanehan yang sempat menghinggapi mereka, dan segera mengambil jatah bungkus nasi masing-masing.
 “Jangan lupa cuci tangan dan berdoa dulu,” Alif mengingatkan, masih dengan senyum dan sorot matanya yang teduh, menyejukkan hati.
Setelah selesai makan bergantian ucapan hamdallah meluncur dari mulut mereka. Romeo merasa itu adalah makan paling nikmat yang pernah dirasakannya. Makan malam yang sungguh nikmat. Tadi Alif bilang, Allah yang memberinya nasi, subhanallah, pantas aja nikmat sekali, tidak seperti makanan haram yang selama hampir empat bulan terakhir memasuki perutku, menjadi darah dan daging. Ugh, aku masih kotor, ya Allah. Tentu butuh waktu untuk membersihkan tubuh ini dari kekotoran itu. Tapi sekali lagi, aku lega, sangat.
“Sekarang kita sudah bisa saling bertukar pikiran, berdiskusi. Siapa saja yang ingin bertanya silahkan,”ujar Alif kemudian.
Roki menggeser posisi duduknya, lebih menghadap kepada Alif. “Apakah semudah ini saja kita bertaubat kepada Allah, hanya dengan menangis dan mengakui dosa, maka Allah akan memberikan ampunannya dan menerima taubat kita?” ujarnya memberikan pertanyaan awal.
“Saudaraku, taubat adalah mengakui dan menyesal karena telah berbuat dosa, kemudian harus diikuti dengan tekad yang kuat untuk tidak mengulanginya lagi serta menjauhkan diri dari dosa,” jawab Alif, lalu terdiam sejenak dalam tatapan lembutnya ke arah ketiga pemuda di depannya. “Jadi taubat yang kalian lakukan tidak hanya sebatas ucapan di lidah dan tekad di hati saja tapi juga harus di buktikan dengan tingkah laku dan perbuatan kalian setelah bertaubat. Dan satu hal yang paling utama yang harus kalian ingat, syarat utama taubat adalah keikhlasan, melakukan taubat hanya karena Allah. Selanjutnya, setelah pertaubatan ini, kalian harus lebih kuat lagi daripada sebelumnya, karena syetan-syetan yang terkutuk pasti akan mengerahkan kekuatan yang lebih hebat lagi untuk mengembalikan kalian ke jalan mereka yang sesat,” lanjutnya lebih jelas.
“Tapi apakah Allah akan membiarkan hambanya yang telah bertaubat di serang terus menerus oleh syetan yang terkutuk,” tanya Romeo.
Ia tahu benar betapa dahsyatnya serangan makhluk terkutuk itu karena ia sering merasakan godaaan makhluk laknat itu selama umur hidupnya. Ia juga tahu bahwa makhluk itu memang telah bersumpah untuk menjerumuskan manusia ke jalan golongan mereka yang sesat, dan itu akan terjadi selama masih ada kehidupan di dunia ini.
“Romeo, saudaraku, berjuanglah terus tanpa henti, dan Allah pasti akan menolongmu,” jawab Alif penuh keyakinan.
Romeo mengangguk. Insya Allah, Alif, aku tak kan pernah berhenti untuk memenangkan perjuangan ini, karena kalau aku kalah dalam perjuangan ini, berarti nerakalah buatku kelak. Tidak! Aku tak mau masuk neraka, dan akan terus berjuang untuk mendapatkan surgaku kelak, tekad batinnya.
“Maksudnya apa?” tanya Joni yang tidak memahami arti jawaban Alif.
Alif memandang Joni dengan tatapan sabar. “Begini saudaraku, mengapa kalian mampu melakukan taubat? Karena sesugguhnya kalian mampu bertaubat disebabkan oleh perjuangan kalian yang sangat hebat untuk melakukannya. Ingat! Hidayah tidak datang dengan sendirinya, hidayah tidak akan datang hanya dengan berpasrah diri dan berharap akan di datangkan Allah dengan cuma-cuma, berjuanglah untuk mendapatkannya. Itulah yang kalian dapatkan sekarang, karena selama ini, sejauh apapun kalian terbenam di dalam kemaksiatan, tapi jauh di lubuk hati kalian yang paling dalam selalu ada niat untuk bertaubat, berarti kalian percaya akan adanya Allah, kalian takut akan azab Allah, dan inilah buah perjuangan kalian,” jelasnya. Lalu ia terdiam sejenak.
Batin Romeo mengiyakan lagi. Sungguh, benar sekali, Alif. Itulah yang sedang kurasakan saat ini.
Alif berkata lagi. “Tapi seperti yang saya katakan tadi, perjuangan kalian, kita, sampai akhir hayat kita tidak akan pernah berhenti, karena syetan yang terkutuk itu telah bersumpah bahwa mereka akan terus menggoda dan menjerumuskan kita ke jalan kesesatan. Percayalah, hanya kepada Allah kita menyembah dan hanya kepada Allah kita mohon pertolongan, karena itu berusahalah sekuat daya upaya yang kita miliki untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah dengan ikhlas, pasti pertolongan Allah akan datang.”
Batin Romeo tiada henti bergetar. Ya, hanya Allah bisa menolong kita, karena Allah yang telah menciptakan syetan dan Allah yang berkuasa atas mereka, aku percaya itu, sangat yakin.
Joni mengangguk-angguk, mencoba memahami penjelasan Alif. “Maaf, Alif, mengapa orang-orang tadi sore begitu beringas memburumu dan mengatakan kamu sebagai penyebar aliran sesat,” Joni mencoba mencari tahu penyebab Alif diuber-uber oleh banyak orang sore itu.
Sejenak Alif menampakkan senyumnya, lalu berkata, “Aku tiba di sini beberapa hari yang lalu, dan menumpang tinggal di masjid. Beberapa hari terakhir ini juga aku selalu menyempatkan diri mendatangi rumah-rumah warga sekadar bersilaturahim sebagai sesama muslim. Kita, sesama muslim bersaudara, kita wajib saling mengingatkan. Itulah yang aku lakukan.”
Mereka bertiga kembali mendengarkannya dengan seksama tanpa melepaskan pandangan kepada pemuda bersahaja itu. Pintu hati mereka terbuka lebar-lebar menerima pencerahan yang di sampaikan Alif.
Alif melanjutkan lagi perkataannya. “Saat mengunjungi mereka, pertama sekali aku mencoba membahas sholat, sholat yang benar, sholat yang mampu mencegah dan menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar. Tapi aku ditentang habis-habisan,  mereka malah berdalih, “Kami bukan Nabi atau kaum salafus saleh, tidak mungkin kami bisa berlama-lama berada diatas sajadah, kami orang yang sibuk, kerja, kalau tidak kerja kami tidak bisa hidup.” Seakan mereka lupa atau mungkin tidak tahu sama sekali, bahwa Allah yang menjamin hidup mereka, Allah yang mencukupi segala kebutuhan mereka. Seakan mereka tidak menyadari bahwa Allah adalah Rabb yang maha agung yang tidak ada bandingan dan tandingannya,” terdengar jelas nada keyakinan dalam penjelasan Alif.
Sejenak Alif terdiam, menghela nafas dan berkata lagi, “Mungkin kita memang tidak akan pernah mampu beribadah seperti para nabi dan rasul atau kaum salafus saleh, tapi kita tidak boleh berputus asa, kita harus terus berjuang untuk mengabdikan diri kepada Allah dengan penuh keikhlasan, Allah maha tahu beratnya perjuangan kita dalam menegakkan agamanya dan sekecil apapun usaha kita itu, Allah pasti akan membalas dengan imbalan yang setimpal.”
“Sholat yang seperti apa yang kamu maksud, Alif,” tanya Roki. Ia semakin tampak bersemangat.
Alif tersenyum lagi sambil menatap ketiga pemuda itu bergantian. “Pertama kali kita harus menyadari sepenuh hati, bahwa saat sholat kita sedang menghadap, dan berkomunikasi dengan Allah, Rabb penguasa seluruh alam semesta, penguasa seluruh kerajaan, yang menghidupkan dan mematikan sehingga hanya Allah yang ada dalam ingatan kita saat sholat, bukan yang lainnya. Walaupun secara kasat mata kita tidak bisa melihat Allah, hadirkanlah hati saat menghadap Allah di dalam sholat, seakan-akan kita bisa merasakan kehadirannya dan tundukkan hati hanya kepada Allah.”
“Bagaimana cara menghadirkan hati dan menundukkan hati kepada Allah dalam sholat?” tanya Romeo segera, karena sesungguhnya hal itu yang paling ingin diketahuinya.
Alif menjawab. “Kita harus memahami semua bacaan-bacaan dalam sholat. Mulai dari awal sholat yaitu Takbiratul ikhram hingga akhir sholat yaitu salam. Karena bagaimana mungkin kita bisa merasakan bahwa kita sedang berkomunikasi dengan Allah jika kita tidak mengerti makna apa yang kita baca di dalam sholat.
“Selanjutnya, tundukkan hati hanya kepada Allah. Hati yang tunduk kepada Allah akan membuat seluruh anggota badan tunduk kepada Allah, merendah sepenuh jiwa, sehingga gerakan dan bacaan mampu kita lakukan dengan perlahan, tidak terburu-buru.
Sesaat Alif menghela nafas dan berkata lagi. “Saya contohkan, kita meminta atau memohon sesuatu kepada orang lain dengan sikap yang tidak sopan, pembicaraan yang tidak jelas, dan terburu-buru, pasti orang yang kita mintai sesuatu itu tidak akan mau memberikan apa yang kita minta, bahkan mungkin akan memarahi kita. Hal itu hanya kalau kita meminta kepada sesama manusia, bagaimana seharusnya adab kita jika kita meminta atau memohon kepada Rabb yang menciptakan manusia? Yaitu Allah Yang Maha Agung, penguasa alam semesta, tentu kalau kita menyadari dengan sepenuh hati bahwa kita sedang meminta dan memohon di dalam sholat kepada Allah, kita pasti malu, takut, dan tidak akan berani melakukan sholat dengan ala kadarnya saja, seperti orang yang hanya hendak menyelesaikan hutangnya saja, tidak ada keikhlasan!”
Hati Romeo semakin tersentuh dan bergetar tiada henti mendengar penjelasan yang menggambarkan kondisi sholatnya selama ini, membuatnya semakin malu kepada Allah.
 Pintu hati ketiga pemuda itu semakin terbuka lebar menerima lanjutan pencerahan yang disampaikan Alif. “Dalam kehidupan nyata, sebagian besar orang selalu menjaga sikap, gaya bicara, bahkan atribut yang dipakai jika menghadap pimpinan atau orang yang dianggap terhormat yang nyata-nyata hanya seorang manusia biasa, ini membuktikan banyak orang yang lebih hormat dan lebih takut kepada manusia yang lemah dan setiap saat hidup dari belas kasihan Allah dari pada takut dan hormat kepada Allah yang selalu memenuhi segala kebutuhan kita. Oleh karena itu hanya kepada Allah kita pantas menundukkan hati dan merendahkan diri, tidak kepada makhluk lain.
Alif diam lagi sejenak, lalu melanjutkan perkataannya. “Jika kita mampu melakukan hal-hal yang saya jelaskan tadi, Insya Allah kita bisa sholat dengan khusyuk dan yakinlah bahwa Allah akan menerima sholat kita. Jika Allah menerima sholat kita maka kita tidak akan berhasrat lagi untuk berbuat keji, mungkar, maksiat dan dosa, bahkan hasrat kita untuk mengerjakan amal ibadah lainnya akan bertambah besar. Maka tidak heran, mengapa di saat bumi ini sudah semakin renta, masjid-masjid tanpa henti dibangun dengan sangat indah dan megah, orang-orang yang masih sholat juga masih banyak, orang-orang berbondong-bondong untuk naik haji setiap tahun bahkan sampai melebihi quota yang ditetapkan, sehingga orang yang ingin berhaji harus antri beberapa tahun untuk mendapatkan kesempatan berhaji. Tapi mengapa tindak kejahatan semakin menggila. Segala cara di halalkan untuk mencapai tujuan. Korupsi dan suap menyuap merajalela. Para abdi negara yang terhormat dengan suka rela menggunakan harta milik rakyatnya untuk kepentingan pribadi, menganggap uang negara adalah milik pribadinya yang bisa digunakannya sesuka hatinya. Manusia dengan terang-terangan berbuat maksiat dan memamerkan dosanya. Alam di eksploitasi habis-habisan tanpa diiringi niat yang tulus untuk menjaganya. Perintah Allah di abaikan, larangan Allah dianggap remeh. Tidakkah kita sadar mengapa bencana seakan tidak pernah surut menimpa negeri ini, seharusnya kita sadari itu. Maka jawabannya, tegakkan sholat, peliharalah dan lakukan dengan benar, penuh keikhalasan dan kekhusyukan, sehingga hal itu akan menghalangi kita untuk berbuat maksiat dan dosa, maka insya Allah, bencana-bencana itu tidak akan menghampiri negeri ini lagi.”
Penjelasan panjang yang disampaikan Alif membuat mereka bertiga semakin tersadar, bahwa apa yang disampaikannya itu benar-benar terjadi di dalam kehidupan nyata saat ini. mereka bertiga hanya hanyut dalam diam, terus mendengarkan penjelasan Alif dengan penuh perhatian.
“Ingat!” seru Alif. “Allah tidak akan menghisab amalan orang yang sholatnya sudah benar saat di akhirat kelak, karena orang yang sholatnya benar tidak akan mampu dan kehilangan hasrat untuk berbuat dosa dan menebar maksiat.
“Kemudian setelah selesai sholat, hendaknya kita berzikir, mengingat Allah dengan memuji kesuciannya, mengucap syukur atas rahmat dan nikmatnya, dan mengagungkan kebesarannya. Zikir yang kita lakukan juga dilakukan dengan sepenuh hati, ikhlas, dan tidak terburu-buru. Setelah itu kita bisa berdoa dan memohon dengan sepuas hati kepada Allah untuk apa yang kita inginkan. Satu hal lagi yang harus kalian ketahui, zikir sebenar-benar zikir adalah saat kita selalu mengingat Allah dalam kondisi apapun, sehingga setiap kali akan berbuat dosa, maka kita akan ingat kepada Allah, malu padanya, dan takut untuk melakukannya, itulah zikir yang sebenarnya.
Romeo berdecak kagum. Penjelasan yang sangat hebat, Alif. Sungguh, aku masih merasa semua ini adalah  mimpi, ah tidak, ini nyata, ini pertolongan Allah, hidayah Allah.
“Kemudian, karena saya menumpang tinggal di Masjid, saya dapat menyaksikan tingkah laku para jemaah yang biasa melakukan sholat berjamaah di masjid itu,” sambung Alif. “Awalnya saya menjadi makmum dalam sholat, namun, Astaghfirullaahal ‘azhiim, pelaksanaan sholatnya sangat terburu-buru. Lalu, usai sholat berjamaah, para jemaah hanya sanggup bertahan tidak lebih dari lima menit di dalam Masjid, bagaimana zikir mereka? Kemudian saya memberanikan diri menjadi imam, tapi usai sholat saya di protes habis-habisan, katanya sholat yang saya imami seperti kura-kura tua yang sedang berlomba lari, saya coba memberi pengertian, mereka tidak mau mengerti, malah marah.”
“Jadi itu yang memancing kemarahan mereka padamu,” selidik Roki sambil sedikit mengernyitkan dahinya.
Alif menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. “Ya, dan kemarahan mereka semakin berlanjut saat saya melakukan kunjungan rutin ke rumah-rumah mereka, saya membahas mengenai pola hidup Islami, mulai cara mendapatkan rezeki yang halal hingga cara berpakaian. Jangan meniru cara berpakaian orang-orang non muslim yang serampangan dalam menutup auratnya, karena harus jujur kita akui sebagian besar umat muslim di negeri ini berpakaian selayaknya orang-orang non muslim yang tanpa malu mempertontonkan auratnya. Saya dicap terlalu fanatik dan fundamentalis, padahal dalam Islam tidak ada istilah fanatik atau fundamentalis, karena istilah itu berasal dari orang-orang yang tidak suka akan keberadaan dan kemajuan Islam, yang ada dalam Islam hanyalah kepatuhan dan keikhlasan dengan sepenuh hati menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Tapi saya tetap di cap sebagai orang yang sok fanatik dan entah siapa yang memulai, saya di tuduh melakukan penyebaran ajaran sesat, hingga mereka mengusir saya dari masjid dan mencoba mengusir saya dengan paksa dari tempat ini seperti tadi sore, hingga Allah memberikan pertolongannya, kalian membantu saya.”   
Tapi itulah awal terbukanya pintu keberanian Romeo, Roki dan Joni untuk bertaubat. Sungguh, mereka sangat tidak mengetahui rencana dan rahasia Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatunya. Allahu Akbar.
“Tapi harus jujur kami akui, bahwa ini adalah cara Allah mempertemukan kami dengan kamu, Alif, dan melalui pertemuan inilah Allah membuka jalan bagi kami untuk bertaubat,” ujar Bang Roki agak terbata-bata, keharuan menyelimuti dirinya, betapa mudahnya sekarang ia meneteskan air mata, semakin menyadari kesesatannya selama ini, betapa banyaknya dosa dan kemaksiatan yang ditumpuknya. Tapi ia bahagia bisa mengakhiri semua itu. Demikian juga hanya dengan Romeo dan Joni. Mereka merasa Allah telah memberi kesempatan kepada mereka untuk bertaubat, karena Allah memang senantiasa membukakan pintu taubatnya selagi nafas masih ada dan selagi matahari masih terbit dari ufuk timur, Allahu Akbar.
Romeo mendongakkan wajahnya ke atas, memandang langit-langit rumah, kemudian meratakan pandangannya kepada Alif. Ia menarik nafasnya perlahan hingga memenuhi paru-parunya, lalu berkata, “Alif, aku juga menyadari bahwa betapa compang-campingnya kondisi sholat yang aku dirikan selama ini, jauh dari kekhusyukan, apalagi sejak aku memasrahkan diri untuk memasuki dunia hitam, sholatku semakin payah dan kacau, bahkan hatiku semakin tak bisa tenang. Saat menghadap Allah dalam sholat aku malu sekali, karena aku sangat menyadari kehina dinaanku, kekotoranku. Tapi aku tetap tak bisa meninggalkan sholat. Sholat telah mendarah daging di dalam diriku. Alhamdulillah, Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, masih terus memberikan belas kasihannya dengan memberiku kesempatan untuk bertaubat.”
Joni kemudian berujar dengan linangan air matanya. “Alif, tolong ajari aku sholat, aku masih kosong, tak tau apa-apa tentang Islam, tolong Alif, ajari aku mengenal Allah supaya aku mampu mencintainya sepenuh hati, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya dengan ikhlas.”
“Insya Allah saudaraku, aku akan penuhi permintaanmu itu, karena itu memang kewajibanku,” jawab Alif masih dengan ucapannya yang lembut dan sorot matanya yang teduh. “Inti dari semua pembicaraan kita barusan, dalam ber-Islam, kita harus mempunyai ilmu, ilmu yang akan menuntun kita untuk mengenal Allah dan Rasulnya. Ilmu itu bisa kita dapatkan dengan membaca dan mempelajari Alqur’an, juga dari kumpulan hadist Rasulullah SAW atau juga melalui wadah-wadah pendidikan Islami, sehingga kita bisa memahami bahwa ajaran Islam yang di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW bertujuan untuk memberi keselamatan dan kebahagiaan di kehidupan dunia dan di akhirat kelak. Kita jangan hanya berpasrah diri dengan kondisi iman kita yang pas-pasan, tapi kita harus berjuang untuk mempertahankan iman kita, berjuang untuk meningkatkannya hingga mencapai tingkat terbaik, karena itulah perjuangan yang terhebat dalam kehidupan kita. Menjauhlah terus dari dosa!” serunya penuh semangat.
Dan batin Romeo segera menyambutnya. Ya, perjuangan yang sangat hebat, dan pemenangnya juga akan mendapat hadiah yang sangat hebat, tiada tandingannya, yaitu surga yang penuh kenikmatan. Dan para pecundang dari perjuangan itu pasti akan mendapat ganjaran yang sangat mengerikan, tiada tara, yaitu neraka yang penuh siksaan dan kepedihan.
“Tapi saat ini aku masih gelisah dengan tato yang melekat di kedua tanganku ini, aku merasa masih kotor, hhh,” tiba-tiba Roki menggaruk lengannya dengan kuat hingga menimbulkan goresan luka.
Alif menghampiri Roki, “Saudaraku, tolong ulurkan dan luruskan kedua tanganmu ke arahku.”
Roki menurut, dan segera melakukan apa yang diminta Alif.
 “Allah akan membebaskanmu dari belitan tato ini,” ujar Alif, sejenak ia diam, bertafakur, ”Bismillaahirrahmaanirrahiim.”
Lalu seberkas cahaya tampak keluar dari semua ujung jari Alif, cahaya tersebut lalu menyentuh kulit kedua tangan Roki. Roki berteriak keras ketika cahaya-cahaya itu menarik lukisan tato di kedua tangannya, lukisan tato itu terlepas seperti ular yang berganti kulit. Cahaya itu terus meletakkan lukisan tato itu di lantai, dan tercium bau gosong saat lukisan tato itu terbakar habis di lantai.
Kekaguman dan ketakjuban dengan cepat memenuhi Romeo, semakin meneguhkan keyakinannya bahwa Allah Maha Kuasa melakukan apapun yang di kehendakinya. Ya, Allah, Engkau tunjukkan lagi kuasaMu yang maha hebat itu. Allahu Akbar. Sungguh,  tak ada yang bisa menandingi kebesaranMu, ya Allah.
“Ohhh,” hanya itu yang keluar dari mulut Joni yang nampak terperangah.
“Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar,” tahmid dan takbir meluncur deras dari mulut Roki, air matanya tumpah ruah begitu melihat kedua tangan bersih tak bersisa dari tato.
Romeo dan Joni yang tercengang melihat peristiwa itu pun ikut memuji kebesaran Allah, Rabb Yang Maha Kuasa atas segala sesuatunya.
 “Aku bebas, ya Allah, aku bersih, ya Allah.…” segera Roki tersungkur dalam sujudnya yang dalam. Keharuan memenuhi ruangan itu.
Tiba-tiba Roki berdiri, berjalan dengan setengah berlari menuju kamarnya, beberapa saat kemudian ia sudah keluar dengan menenteng sebuah kotak besi, membawanya keluar rumah, dan menyulutkan api ke dalam kotak yang sudah terbuka itu, dengan segera isinya terbakar habis. “Itulah semua uang haram yang aku kumpulkan, telah kubakar habis. Tapi bagaimana dengan pakaian ini dan makanan haram yang telah menjadi darah dan daging?”
Romeo kembali bertakbir. Ya Allah…
Joni terperangah dalam diamnya.
Alif menyentuh bahu Roki, “Saudaraku, nanti, di saat kamu merasakan betapa berat dan pedihnya menjalani ketaatan seperti saat kamu dulu merasakan kenikmatan dosa, maka Insya Allah darah dan dagingmu akan menjadi bersih kembali. Jangan khawatir, sesungguhnya Allah sangat bergembira menyambut pertaubatan hambanya.”
Perkataan Alif sangat meresap di dalam hati Romeo, Roki dan Joni. Sekarang, mereka merasakan tubuh mereka lebih enteng, ringan tanpa beban.
Alif menarik buntelannya yang tergeletak di sudut ruangan, lalu memasukkan tangannya ke dalam buntelan itu. “Ini ada sedikit uang, besok kalian bisa beli baju baru dan membeli berbagai keperluan lainnya, kalian mulailah lembaran hidup baru di esok hari,” ujarnya sambil menyerahkan setumpuk uang kepada Romeo.
“Bagaimana kamu bisa punya uang sebanyak ini, Alif?” tanya Romeo keheranan.
“Allah Maha Kaya, Dia yang memberiku uang,” jawab Alif yakin, sangat yakin.
Allahu Akbar, Sungguh sulit dipercaya dan diterima oleh akalku. Tapi, inilah kehendak Allah, aku yakin itu, batin Romeo mengakui.
“Sebenarnya aku masih mempunyai rumah peninggalan orang tuaku, aku terkadang suka pergi ke sana di saat rindu dan teringat pada ibu,” ujar Roki “Memang, rumah itu sudah sangat reot dan terletak jauh di pinggir kota. Aku berniat pindah ke sana. Aku harap kalian semua mau ikut ke sana. Kita mulai dan bangun hidup baru di sana bersama,” wajahnya tampak puas penuh semangat. Mereka pun menyatakan setuju untuk mengikuti ajakan Roki.
Di dalam hati mereka yang jujur, awam,  dan sebagai manusia biasa, sangat sulit bagi Romeo, Roki dan Joni mempercayai segala yang terjadi malam itu. Mereka merasa sebagai hamba Allah yang bodoh, ilmu mereka terlalu sempit untuk memahami dan menerima kenyataan yang datangnya seperti mimpi yang mengunjungi mereka malam ini, dan akan berlalu seiring usainya lelap mereka di esok pagi. Mereka seperti baru saja mengalami mimpi menakjubkan! Tapi ternyata tidak, ini bukanlah mimpi, ini nyata, kenyataan yang akan disambut dengan hati yang terang, dan kenyataan yang seterusnya akan menjadi bagian dari perjuangan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan kesetiaan kepada Allah SWT, Penguasa sekalian alam semesta.***

Bersambung Ke Bagian 8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar